Rabu, 15 Desember 2010

Life Goes On

Tadi malam, insomnia saya sedikit kambuh. Jadilah saya browsing gak jelas, dan setelah sekian lama, akhirnya saya membuka kembali blognya salah satu penulis favorit saya ini. Tadinya sih saya ngakak jaya aja pas baca imajinasi dia tentang komentator pertandingan bola yang baru diputusin (read it here). Tapi lalu, postingan dia yang ini membuat saya diem, dan mikir.

Tiba-tiba saja saya inget gimana saya waktu SMA dulu. Generally, saya bisa dikategorikan jadi siswa yang cupu. Beneran.Saya yang kurus dan berkacamata. Not to be snobbish, tapi saya hitungannya termasuk siswa yang selalu masuk rangking di kelas. Bukannya memang niatan pengen jadi siswa paling pinter atau gimana sih, yang pasti pola pikir saya dulu itu sederhana. Kalau saya gak belajar, saya gak bisa jawab ulangan. Kalau saya gak bisa jawab ulangan. Kalau saya gak bisa jawab ulangan, nanti nilai saya jelek. Kalau nilai saya jelek, saya gak dapat rangking. Kalau gak dapet rangking, saya gak bisa daftar PMDK. Kalau gak daftar PMDK, saya sulit masuk PTN. Kalau ujung-ujungnya saya gagal masuk PTN, terpaksa masuk PTS. Padahal di jaman saya itu dulu yang namanya PTS itu adalah cara legal untuk jadi bangkrut dengan alasan akademik.

Aaaanyway… Here I am rite now. I don’t know how other people see me rite now, but overall, I’m happy enough with who I am. But still, that piece of writing makes me wonder, apakah saya yang sekarang ini sama dengan ekspektasi orang terhadap saya waktu saya SMA dulu? This, is a question that I find hard to answer. For I never really know what do people think of me, how they see me.
Kemudian saya jadi inget temen-temen saya dulu. Mengingat image mereka waktu SMA dulu. Dan membandingkannya dengan mereka saat ini. Truth to say, sebagian besar tidak terlalu mengejutkan. Sebagian besar punya pola hidup yang sama setelah lulus SMA. You know, going to college, find a job, get married and now having a family. Not really much surprises there.

Lalu saya mikir lagi, life does not just go on. From time to time, life offers choices. And which choices being chosen that makes a difference. Contoh paling dekat, adik saya sendiri. Teman-temannya sebagian besar memilih untuk tetap tinggal di Banjarmasin, for it seems that they kinda afraid to move out from their comfort zone. Sementara adik saya memilih untuk mengejar cita-citanya, meskipun dia harus menjadi seekor ikan kecil dalam kolam yang besar. And look at her right now, a lady with bright path ahead of her. A person that we would talk about proudly as a member of our family.

Baru-baru ini, salah seorang sahabat saya juga membuat pilihan penting itu. Dia meninggalkan posisinya yang sudah cukup mapan di salah satu bank di Jakarta (dia sudah jadi Pincapem), dan memilih untuk jadi PNS di kota tempat suaminya bekerja di Bangka sana. Now, that’s a choice that people would question about. But I won’t. I know her, that’s why I know that she only chose what she thinks is best for her.

Adik kelas saya juga membuat pilihan yang sama, setelah berada dalam posisi manager di salah satu perusahaan telekomunikasi terbesar di dunia, she resigned from her job to be a full time mom.

Teman saya yang lain malah memutuskan untuk menitipkan anaknya pada orang tuanya, dan terus mengejar karirnya, meskipun untuk itu dia harus ditempatkan di pulau lain, dan berpisah tempat tinggal dari suami dan anaknya.

See? Kinda same situation, different kind of choices taken.

The bottom line is, it’s the choice that you make in this life that makes a difference :)

Choices is everywhere. Bahkan saat membuka mata, kita langsung dihadapkan pada pilihan: get up and have a big yawn, atau dengan mata tertutup mematikan alarm sambil membatin ’five more minutes..and I’ll get up’ *walopun biasanya end up terbangun 30 menit kemudian*

Me myself juga beberapa kali harus menghadapi berbagai pilihan itu. Setiap kali harus menghadapi berbagai pilihan itu, pertimbangan utama saya: pilihan mana yang kelak tidak akan saya sesali? And so far, most of my choices are not something for me to regret for :)

Minggu, 05 Desember 2010

That Mistake

Wuhuuu…

It’s been so very long. Too long. Seperti biasa, saya tenggelam dalam kesibukan akhir semester. Day off dua hari seminggu itu juga berasa becanda banget, secara tetep saja selama waktu dua hari yang kosong itu saya masih harus jungkir balik menyiapkan materi kuliah.

Nah, pernah nih saking jungkir baliknya saya, akhirnya saya melakukan kesalahan yang cukup..eh… bersifat aib.

Jadi ceritanya hari itu Jum’at, saya seharusnya ngajar Kimia Dasar I untuk pertama kalinya, setelah dari awal sampe mid semester yang ngajar Pak Budi. Saya udah bilang ke mahasiswa lewat SMS, kalo jadwalnya saya mundurkan dari jam 08.00 pagi jadi jam 08.30. Pas jam 08.30, naiklah saya ke lantai 2. Dengan penuh percaya diri saya maen masuk aja ke ruangan aula yang BIASANYA dipake untuk tempat kuliah. Saya bahkan sempet nanya kok sama mahasiswa: “Kimia dasar kan?”. Si mahasiswa yang ditanya juga ngangguk aja. Ya udah, saya dengan santai meletakkan buku-buku di meja. Dan langsung menuliskan materi hari itu di papan tulis. Nah, pas satu papan tulis sudah full dan saya mulai menulisi papan tulis keduaa….

“Ami?”

Saya langsung nengok ke pintu, dan bengong menatap Rosy yang lagi ngeliatin saya dengan wajah shock.

“Ha? Kenapa Ros?”

“Kamu ngapain disini? Bukannya kamu ngajar yang kelas Prodi Kimia sama Biologi?”

Saya mengangguk, masih bingung, Sedetik kemudian, baru saya nyadar. Saya lalu nengok ke mahasiswa dan nanya.

“Ini prodi apa sih?”

“Matematika sama Ilmu Komputer Bu…”.

Oh. Great.

“Jadi? Saya salah masuk kelas dong?”

“Oh, oke. Sorri, saya salah masuk…”

Jadi ya gitu. Saya. Salah masuk kelas. How embarassing -_-

Rabu, 15 Desember 2010

Life Goes On

Tadi malam, insomnia saya sedikit kambuh. Jadilah saya browsing gak jelas, dan setelah sekian lama, akhirnya saya membuka kembali blognya salah satu penulis favorit saya ini. Tadinya sih saya ngakak jaya aja pas baca imajinasi dia tentang komentator pertandingan bola yang baru diputusin (read it here). Tapi lalu, postingan dia yang ini membuat saya diem, dan mikir.

Tiba-tiba saja saya inget gimana saya waktu SMA dulu. Generally, saya bisa dikategorikan jadi siswa yang cupu. Beneran.Saya yang kurus dan berkacamata. Not to be snobbish, tapi saya hitungannya termasuk siswa yang selalu masuk rangking di kelas. Bukannya memang niatan pengen jadi siswa paling pinter atau gimana sih, yang pasti pola pikir saya dulu itu sederhana. Kalau saya gak belajar, saya gak bisa jawab ulangan. Kalau saya gak bisa jawab ulangan. Kalau saya gak bisa jawab ulangan, nanti nilai saya jelek. Kalau nilai saya jelek, saya gak dapat rangking. Kalau gak dapet rangking, saya gak bisa daftar PMDK. Kalau gak daftar PMDK, saya sulit masuk PTN. Kalau ujung-ujungnya saya gagal masuk PTN, terpaksa masuk PTS. Padahal di jaman saya itu dulu yang namanya PTS itu adalah cara legal untuk jadi bangkrut dengan alasan akademik.

Aaaanyway… Here I am rite now. I don’t know how other people see me rite now, but overall, I’m happy enough with who I am. But still, that piece of writing makes me wonder, apakah saya yang sekarang ini sama dengan ekspektasi orang terhadap saya waktu saya SMA dulu? This, is a question that I find hard to answer. For I never really know what do people think of me, how they see me.
Kemudian saya jadi inget temen-temen saya dulu. Mengingat image mereka waktu SMA dulu. Dan membandingkannya dengan mereka saat ini. Truth to say, sebagian besar tidak terlalu mengejutkan. Sebagian besar punya pola hidup yang sama setelah lulus SMA. You know, going to college, find a job, get married and now having a family. Not really much surprises there.

Lalu saya mikir lagi, life does not just go on. From time to time, life offers choices. And which choices being chosen that makes a difference. Contoh paling dekat, adik saya sendiri. Teman-temannya sebagian besar memilih untuk tetap tinggal di Banjarmasin, for it seems that they kinda afraid to move out from their comfort zone. Sementara adik saya memilih untuk mengejar cita-citanya, meskipun dia harus menjadi seekor ikan kecil dalam kolam yang besar. And look at her right now, a lady with bright path ahead of her. A person that we would talk about proudly as a member of our family.

Baru-baru ini, salah seorang sahabat saya juga membuat pilihan penting itu. Dia meninggalkan posisinya yang sudah cukup mapan di salah satu bank di Jakarta (dia sudah jadi Pincapem), dan memilih untuk jadi PNS di kota tempat suaminya bekerja di Bangka sana. Now, that’s a choice that people would question about. But I won’t. I know her, that’s why I know that she only chose what she thinks is best for her.

Adik kelas saya juga membuat pilihan yang sama, setelah berada dalam posisi manager di salah satu perusahaan telekomunikasi terbesar di dunia, she resigned from her job to be a full time mom.

Teman saya yang lain malah memutuskan untuk menitipkan anaknya pada orang tuanya, dan terus mengejar karirnya, meskipun untuk itu dia harus ditempatkan di pulau lain, dan berpisah tempat tinggal dari suami dan anaknya.

See? Kinda same situation, different kind of choices taken.

The bottom line is, it’s the choice that you make in this life that makes a difference :)

Choices is everywhere. Bahkan saat membuka mata, kita langsung dihadapkan pada pilihan: get up and have a big yawn, atau dengan mata tertutup mematikan alarm sambil membatin ’five more minutes..and I’ll get up’ *walopun biasanya end up terbangun 30 menit kemudian*

Me myself juga beberapa kali harus menghadapi berbagai pilihan itu. Setiap kali harus menghadapi berbagai pilihan itu, pertimbangan utama saya: pilihan mana yang kelak tidak akan saya sesali? And so far, most of my choices are not something for me to regret for :)

Minggu, 05 Desember 2010

That Mistake

Wuhuuu…

It’s been so very long. Too long. Seperti biasa, saya tenggelam dalam kesibukan akhir semester. Day off dua hari seminggu itu juga berasa becanda banget, secara tetep saja selama waktu dua hari yang kosong itu saya masih harus jungkir balik menyiapkan materi kuliah.

Nah, pernah nih saking jungkir baliknya saya, akhirnya saya melakukan kesalahan yang cukup..eh… bersifat aib.

Jadi ceritanya hari itu Jum’at, saya seharusnya ngajar Kimia Dasar I untuk pertama kalinya, setelah dari awal sampe mid semester yang ngajar Pak Budi. Saya udah bilang ke mahasiswa lewat SMS, kalo jadwalnya saya mundurkan dari jam 08.00 pagi jadi jam 08.30. Pas jam 08.30, naiklah saya ke lantai 2. Dengan penuh percaya diri saya maen masuk aja ke ruangan aula yang BIASANYA dipake untuk tempat kuliah. Saya bahkan sempet nanya kok sama mahasiswa: “Kimia dasar kan?”. Si mahasiswa yang ditanya juga ngangguk aja. Ya udah, saya dengan santai meletakkan buku-buku di meja. Dan langsung menuliskan materi hari itu di papan tulis. Nah, pas satu papan tulis sudah full dan saya mulai menulisi papan tulis keduaa….

“Ami?”

Saya langsung nengok ke pintu, dan bengong menatap Rosy yang lagi ngeliatin saya dengan wajah shock.

“Ha? Kenapa Ros?”

“Kamu ngapain disini? Bukannya kamu ngajar yang kelas Prodi Kimia sama Biologi?”

Saya mengangguk, masih bingung, Sedetik kemudian, baru saya nyadar. Saya lalu nengok ke mahasiswa dan nanya.

“Ini prodi apa sih?”

“Matematika sama Ilmu Komputer Bu…”.

Oh. Great.

“Jadi? Saya salah masuk kelas dong?”

“Oh, oke. Sorri, saya salah masuk…”

Jadi ya gitu. Saya. Salah masuk kelas. How embarassing -_-