Jumat, 29 Januari 2010

Percy Jackson and The Olympians – Ketika Olympus Pindah ke Empire State Building


Yunani. Banyak hal yang bisa diasosiasikan dari Yunani. Tapi mungkin salah satu yang paling terkenal dari Yunani adalaaaaahhh… mitologinya! Hah? Bukan? Ah, saya mah paling suka sama mitologinya. Beautiful stories. Mulai dari para dewa-dewa Yunani, mahluk-mahluk ajaibnya, sampai para pahlawan macam Hercules. Walaupun untung saja semua itu cuma mitos. Apalagi soal dewa-dewa itu. Because instead of taking care of this universe it seems that they spend more time on fighting each other. Dan itu semakin terlihat di serial Percy Jackson ini.

Sebenernya mungkin rada telat kali yak kalo saya baru bikin *semacam* resensi ini sekarang. Apalagi mengingat buku pertama dari serial ini, Percy Jackson and The Lightning Thief diterbitkan di Amerika Serikat pada tahun 2005. Ditulis oleh Rick Riordan yang memang pernah menjadi seorang guru yang mengajar tentang Mitologi Yunani. Edisi bahasa Indonesianya yang jilid pertama terbit kalau tidak salah November 2008 gitu. Buku ini ada lima jilid. Jilid terakhir, Percy Jackson and the Last Olympians, terbit Juni 2009 kemaren. Kalau tidak salah, di Indonesia baru diterbitkan sampai jilid keempat, Percy Jackson dan Pertempuran Labirin.

Dalam buku ini, diceritakan bahwa mitologi Yunani, mulai dari dewa-dewinya (Zeus, Artemis, Poseidon, Hades, you name it) sampai para mahluk mitologi semacam Minotaur sampai Circe sang Penyihir benar-benar ada. Tapi karena latar belakangnya adalah zaman modern sekarang ini, tentu saja kehidupan para tokoh ini “disesuaikan”. Olympus, misalnya, yang menjadi tempat tinggal para dewa, dikisahkan berada di lantai 600 Empire State Building di New York. Ares, sang Dewa Perang, digambarkan sebagai seorang preman berpakaian kulit yang mengendarai Harley Davidson. Sungai Styx, yang merupakan sungai yang harus dilalui arwah orang yang telah meninggal, diceritakan pintu masuknya berada di balik sebuar perusahaan rekaman di New York City. Cool.

Cerita dari serial ini berkisar tentang petualangan si tokoh utama *yang tentu saja bernama Percy Jackson as you might have guessed from the title* yang ternyata adalah setengah manusia, setengah dewa Yunani. Dan dia ternyata bukan satu-satunya blasteran semacam ini. Para anak-anak blasteran ini setiap musim panas dikumpulkan di semacam perkemahan musim panas. Dalam setiap serialnya, Percy harus menghadapi seorang (atau sesosok sih?) musuh utama, Kronos, yang berencana mengkudeta para dewa di Olympus dan mengambil alih dunia. Dan fakta bahwa meskipun pada dasarnya mereka saling berkeluarga, para dewa Olympus cenderung tidak rukun satu sama lain, sama sekali tidak membuat misi Percy untuk menghalangi Kronos menjadi lebih mudah. And believe me, these God and Goddeses can be more troublesome than mortals. Percy tidak sendirian, dalam petualangannya dia ditemani dua orang sahabat. Ada Annabeth, yang merupakan anak dari Athena sang Dewi Kebijaksanaan, dan juga Grover, seorang satyr, yang berwujud setengah manusia setengah kambing.

Mau tidak mau, dengan tema semacam ini, orang pasti membandingkan serial Percy Jackson ini dengan serial Harry Potter yang fenomenal itu. Dan memang banyak kesamaan antara kedua serial ini.

  1. Kesamaan tema. Keduanya bercerita tentang tema mistis. Harry Potter dengan dunia penyihirnya, dan Percy Jackson dengan Mitologi Yunaninya.
  2. Trio petualang. Kalau di Harry Potter ada Harry-Hermione-Ron, di serial ini ada Percy-Annabeth-Grover. Dan tokoh Annabeth betul-betul mirip karakternya dengan Hermione. Cerdas, dan cenderung cerewet.
  3. Sang tokoh jahat. Dalam serial ini, tokoh Kronos akan membuat pembaca teringat pada Dia Yang Namanya Tak Boleh Disebut *but I’ll say his name anyway. VOLDEMORT. There, I’ve said it :D*

Mungkin masih ada beberapa persamaan lain, tapi yang tiga itu yang bagi saya adalah yang paling menonjol.

Bagi saya sendiri, saya lebih menyukai serial ini. Maybe one of the reasons is because I always have a soft spot for Greek Mythology. Dari dulu saya suka cerita tentang Mitologi Yunani. Dan melihat cerita-cerita itu disajikan disini dalam sentuhan modern, I find it to be fascinating. Selain itu bagi saya tokoh-tokohnya malah terkesan lebih membumi dan realistis. Tidak pernah ada tokoh yang benar-benar baik. Selain itu, Harry Potter kadang-kadang digambarkan terkesan adalah seseorang yang sebetulnya menyimpan amarah terhadap dunia, atas ketidakadilan yang menimpanya, kenapa kedua orang tuanya harus meninggal. Kalau Percy, mungkin kasusnya sedikit berbeda ya. Kedua orangtuanya masih hidup, dan dia digambarkan sangat menyayangi ibunya yang manusia biasa. Terhadap ayahnya, Poseidon sang Dewa Laut, Percy seperti menghadapi dilema. Di satu sisi dia sangat merindukan figure sang ayah dan merasa bangga kalau sang ayah memujinya. Di sisi lain, dia juga merasa marah karena Poseidon tidak bisa menjadi ayah yang “normal”. But well, if you’re a Greek God, normal is not something that can correctly describe you,rite ;p? Pergolakan emosi Percy sebagai seorang remaja berusia 11 tahun terasa lebih realistis. Dan yang paling saya suka, his sense of humour. Sedikit sarkastik, tapi seringnya ngena. Well, bukan cuma si Percy ini sih. I think the whole book has this sense of humour. Contohnya saja, judul bab pertama di buku jilid pertamanya : “I Accidentally Vaporize My Maths Teacher”. Haha. Such an intriguing title. And let me tell you, Percy DID actually vaporized his teacher ^_^.

Another example of how things are written in these books is what’s written in the backcover of the first book:

Look, I didn’t want to be a half-blood. I never asked to be the son of a Greek God. I was just a normal kid, going to school, playing basketball, skateboarding. The usual. Until I accidentally vaporize my maths teacher. That’s when things really started going wrong. Now I spend my time fighting with swords, battling monsters with my friends and generally, trying to stay alive.

This is the one where Zeus, God of the Sky thinks I’ve stolen his lightning bolt – and making Zeus angry is a very bad idea.

Edisi Bahasa Indonesia juga lumayan. Walaupun mungkin beberapa joke jadi rada garing kalau diterjemahkan ke Bahasa Indonesa.

Oh iya, satu lagi. Buku ini juga akan diangkat ke layar lebar. Kalau tidak salah Februari ini akan mulai muncul di bioskop. Pierce Brosnan and Uma Thurman were said to be participated this movie!

Overall, I love Percy Jackson series. Love it. A LOT. Sedikit cerita tambahan, saya sempat deg-degan waktu sampai pertengahan Juli 2009 kemaren saya belum menemukan buku terakhir dari serial ini di toko-toko buku di Melbourne. Secara tanggal 25 Juli saya bakal back for good setelah menyelesaikan studi saya. Jadi saja saya berasa mau memeluk pegawai toko di Borders waktu dia menunjukkan bahwa buku yang saya cari-cari ini akhirnya datang, 5 hari sebelum tanggal kepulangan saya. That’s destiny :D.

Anyway, I would recommend this series to other people, terutama yang gemar menikmati cerita-cerita fantasi.

Ada lima jilid dalam serial ini:

  1. Percy Jackson and the Lightning Thief
  2. Percy Jackson and the Sea of Monsters
  3. Percy Jackson and the Titan’s Curse
  4. Percy Jackson and the Battle of the Labyrinth
  5. Percy Jackson and the Last Olympians

Go and grab one from the bookstore!

100 Hari Emang Bisa Ngapain Aja?

Judulnya itu beneran pertanyaan lho, bukan suatu sindiran atau suatu sarkasme.

Terkait dengan berita demo *yang katanya* besar-besaran tanggal 28 Januari kemaren, saya malah mengerutkan kening. Dengan polosnya saya malah bertanya-tanya, kenapa mesti tanggal 28 Januari sih? Bukannya peristiwa besar di bulan Januari itu cuma yang Lima Belas Januari itu doang? Atau kenapa ga menjadikan lagunya Gigi yang 11 Januari itu sebagai inspirasi? Kan lebih unik tuh, demo di jalan, tapi bukannya teriak-teriak, peserta demonya malah nyanyi lagu 11 Januari itu rame-rame…

Setelah menekuni berita sedikit lebih lama lagi, baru saya nyadar, oh iya ya… 28 Januari itu artinya sudah 100 hari pemerintahan SBY ya? Ga berasa. Habisnyaaaa…. Perasaan isi berita ya kalo ga Century, kasus Antasari, penjaranya Arthalita, atau gosipnya Naysilla Mirdad dengan Dude Herlino *eh, yang terakhir ini rada OOT yak? Maaph…*.

Saya sama sekali tidak punya basic apapun tentang politik. Jadi pemikiran saya ya pemikiran orang awam yang, mohon maaph, sungguh apa adanya.

Pertama nih ya... demo itu katanya besar-besaran nih, artinya pesertanya banyak kan? Terus demonya tanggal 28 Januari, yang adalah hari Kamis. Kamis kan belum diitung weekend kan? Masih hari kerja kan? Lah, terus para peserta demo itu ga pada masuk kerja po’? Kalo mahasiswa, ga pada kuliah po’? Atau pada ijin ga masuk kerja bareng-bareng? Yaelah… Artinya banyak banget dong yang “unproductively busy” pas demo itu? Atau ada yang bayarin mereka buat demo? Eh, kalau uang bayaran demo itu dijadiin modal usaha kan kayaknya bakal lebih produktip tuh?

Terus, para peserta demo itu keren-keren banget sih, bisa tau program 100 harinya SBY, terus pada langsung menilai bahwa pemerintahan SBY itu gagal. Kalau misalnya saya balik nanya, mereka merasa berhasil ya sebagai rakyat? Apa mereka merasa berhasil sebagai orang baik? Buat para mahasiswa yang ikut demo, apa udah merasa sukses sebagai mahasiswa? IMHO ni yeeee…. Seratus hari itu kan tiga bulan lebih dikit. Dan Indonesia itu isinya berpuluh ribu pulau lebih banyak, dengan ratusan juta penduduk. Dengan waktu seratus hari, menurut saya lebay aja kalau udah ketok palu bahwa pemerintahan SBY gagal. Terus kalau sudah gagal mau diapain? Disuruh turun, gantinya siapa? Ribet lagi kan? Milih presiden lagi. Milih mentri lagi. Nyusun program lagi. Bikin action plan lagi. Dddooooh… Terus yang sempet dikerjain 100 hari kemaren mau diapain?

Berdasarkan sisa-sisa ilmu saya jaman SMA dulu, yang saya tau dalam tata negara nih ya, negara itu kan isinya bukan cuma pemerintah. Kalau ada pemerintah, artinya ada yang diperintah kan? Mesti ada rakyat juga dong? Nah, kalo misalnya demo ini merepresentasikan evaluasi kinerja pemerintah oleh rakyat, to make it fair, siapa nih yang harusnya mengevaluasi gimana rakyat mendukung program kerja pemerintah? Pemerintah bikin program layanan kesehatan gratis, tapi ya susah kalo petugas Puskesmasnya *yang tentu saja, adalah bagian dari rakyat* datengnya males-malesan. Udah gitu melayani pake acara cemberut. Kalo lagi sial, pasien suka dimintai uang lelah pula. Nah, yang kayak gini salah SBY juga bukan? Atau udah dibikinin sekolah gratis nih, taapi kalo lalu pihak sekolah mungut uang seragam segala macem yang memang adalah murni “kreativitas” pihak sekolah, masih pemerintah yang disalahkan? Pemerintah udah bikin program-program lingkungan hidup, tapi yang tinggal di pinggir sungai masih aja menganggap buang sampah ke sungai itu lebih gampang, apa kita lalu seharusnya bersama-sama menghujat Kabinet? Pemerintah udah berusaha melayani pasien TBC nih, tapi masih banyak aja orang yang dengan santainya menghirup rokok dan menghembuskan asapnya di dalam kendaraan umum, sementara penumpang lain udah megap-megap kehabisan udara bebas *ini sekalian curhat colongan, secara kemaren seangkot dengan pria perokok :D*. Mahasiswa banyak yang demo menuntut fasilitas perkuliahan yang lebih baik, tapi sambil demo, fasilitas yang sudah ada malah dipukuli, dihancurkan. Ddddooooohhh….

Waktu Pemilu kemaren, yang memilih SBY lebih dari 50% kan, makanya bisa satu putaran saja? Nah, sekarang, mana dukungan dari yang sudah memilih SBY itu?

Saya pikir sih, sebagus apapun program pemerintah yang dimaksudkan untuk rakyat, kalau rakyatnya sendiri tidak mendukung pelaksanaan program itu, we’re going nowhere.

Dan pemerintah bukan cuma SBY-Boediono kan? Okelah, mereka Presiden dan Wakil Presiden. Tapi kan masih ada Mentri. Masih ada Direktur Jendral di dalam berbagai Departemen. Masih ada Gubernur, Bupati, Kepala Dinas, Kepala Seksi, Kepala Sekolah, Ketua RT, Ketua Kelas *oke, yang terakhir ini mungkin ga bisa dimasukin itungan*. Kalau mislanya ada yang bertingkah menyebalkan, lalu apa SBY-Boediono yang harus disalahkan?

Kita teriak-teriak bahwa pemerintah telah gagal mengentaskan kemiskinan (bener ga sih istilahnya?). Tapi kalo diinget-inget lagi, waktu kemaren ada tetangga yang mau pinjem duit 50rebu buat nebus obat kita bilang ga punya duit. Padahal satu jam yang lalu kita baru saja hang out di café yang baru dibuka, dan membayar 30 rebu hanya untuk secangkir kopi. Kita mengeluh bahwa gaji si Mbak di rumah yang 450 rebu sebulan itu terlalu tinggi, padahal tas Fendi keluaran terbaru yang kita beli minggu lalu harganya 12 kali lipatnya.

Okelah, seratus hari memang waktu yang bisa dijadikan masa untuk evaluasi. Tapi sepertinya jauh terlalu dini untuk mengatakan bahwa Pemerintah sudah GAGAL. Sementara kita sendiri belum pernah mengevaluasi diri kita apakah sudah sukses untuk menjadi seseorang. Apalagi mengevaluasi diri kita sebagai rakyat yang mendukung Pemerintah.

Senin, 25 Januari 2010

Heaven on Earth…

Pernah denger istilah “content” ga? Kalo menurut istilah baku dari kamus Collins nya saya, definisinya adalah: “satisfied with things as they are”. Dengan kata lain, content itu mah bisa merasa berbahagia cukup dengan apa yang ada. Ga usah minta yang muluk-muluk. Ga usah yang aneh-aneh. Saya dan adek saya, misalnya, dengan rendah hatinya kami berdua merasa bahwa salah satu saat yang paling menyenangkan segalaksi raya adalah kalo bisa tidur siang dengan nyaman tanpa merasa dibebani dan dikejar-kejar kerjaan.

Pernah ga merhatiin bahwa anak kecil itu umumnya terlihat begitu damai dan bahagia*kalo dibandingkan kita para orang berumur banyak*? Karena mereka begitu mudah terpesona dengan hal-hal yang bagi kita sepele. Hal-hal kecil yang luput dari perhatian. Kapan terakhir kali kita kagum dengan rintik air hujan? Kapan terakhir kali kita heran kenapa kupu-kupu itu tidak bosen terbang? Kapan terakhir kali kita tertawa melihat kucing yang menguap di pinggir jalan?

Apalagi sekarang ini, berasa ga sih kok kayaknya hidup itu penuh dengan hal-hal yang ga beres? Kasus Century yang malah diselingi acara berantemnya si mantan artis sinetron Gerhana, soal pembobolan rekening yang bikin orang-orang jadi parno dan pada ngeganti PIN ATM, sampai soal rebonding dan foto pre-wedding yang katanya mau diharamkan *lah, itu fatwa soal rokok terus apa kabar ya, kok tiba-tiba udah pada ngurusin poto orang mau kawin?*…

Kayaknya susah banget mau ngerasa seneng…

Tapi, apa memang sesulit itu sih?

Saya bisa merasa senang saat bisa diam sejenak barang semenit untuk menikmati secangkir Nescafe/coffemis panas di pagi hari. Atau minum teh kotak dingin di dalam angkot pas lagi panas-panasnya. Saya berasa seneng kalo ponakan saya memeluk saya sambil menyodorkan pipinya. Saya merasa waktu-waktu saya minum teh panas di malam hari bersama Mama sambil mendengarkan curhatan beliau soal hari itu tak tergantikan oleh apapun. Bahkan, saya tersenyum dan ikut merasakan kebahagiaan waktu melihat foto seseorang yang dulu pernah saya sayangi segenap hati selama bertahun-tahun sedang tertawa bahagia bersama istrinya sambil menggendong anaknya *Tsaaahhh…disempet-sempetin curhat :D*.

Hari saya bisa berasa lebih ceria jaya kalo tiba-tiba lagu jaman dulu yang saya senengin muncul di TV ato di radio. Saya bisa nyengir seharian kalo ada temen yang mengomentari bahwa penampilan saya hari itu cantik. Saya bisa semangat kerja kalo angkot andalan saya langsung berangkat tanpa ngetem terlalu lama. Simple things. Dan itu semua bisa kita temui di setiap hari kita. Kita cuma sering lupa untuk menyadari bahwa hal-hal sederhana semacam itu bisa mengembalikan senyum kita di hari itu.

Our heaven on earth is not that difficult to find. We just need to open our eyes, our ear, and most of all, our heart, to feel that this world is full with things that can make us happier.

Jadi, apa yang membuat anda merasa senang di hari ini?

Rabu, 20 Januari 2010

Ternyata Dia Tidak Seterkenal Itu…

Jujur saja, saya termasuk salah satu dari sekian ribu orang yang tahun lalu memilih Pak Boediono untuk mendampingi SBY memimpin negara ini sampai dengan 5 tahun ke depan. Bahkan sampai saat ini pun, saya tidak mau langsung menuduh beliau paling bersalah lah lah dalam kasus Bank Century. Tapi tetep saja, waktu Pak Boediono datang mengunjungi Banjarmasin hari Sabtu tanggal 16 Januari kemaren, saya ngomel. Karena bagi saya, kedatangan beliau merepotkan. Jalan gede terdekat dari rumah saya ditutup demi kunjungan beliau ke SMKN 4 *yang jaraknya cuma sekitar 200 meter dari rumah saya*. Dan sebagai hasilnya, kalo dalam kondisi normal tentram sejahtera saya cuma jalan sekitar 150 meter udah dapet angkot, sekarang mesti jalan muter sampe SATU SETENGAH KILOMETER demi mendapatkan angkot kuning kebanggaan kota saya itu. Hilang deh usaha saya mencerahkan kulit wajah di hari itu, secara mentari bersinar ceria tralala trilili sementara saya sambil merutuk-rutuk berjalan di bawah payung hitam. Belum lagi jadi banyak tentara-tentara dan para polisi yang tiba-tiba bertebaran dengan selisih jarak 3 depa satu sama lain. Setelah sekitar 1,5 km, akhirnya bersua juga saya dengan angkot kuning terang itu. Selang sekitar 200 meter, ada tiga orang dari satu keluarga dengan perbedaan usia 3 generasi. Jadi ada si Nenek (mari kita sebut dia sebagai si Nini), ada anaknya (yang akan saya sebut sebagai si Acil) dan sang cucu perempuan yang masih ada dalam gendongan si Acil. Selisih 300 meter lagi, ada lagi nih dua orang ibu-ibu yang masuk (selanjutnya akan disebut sebagai Ibu I dan Ibu II). Maka terlibatlah para penumpang angkot ini dalam suatu percakapan berikut. Baidewei, dengan pertimbangan kemudahan membaca, dialog yang seharusnya berlangsung dalam bahasa Banjar yang sangat medok sudah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia sehari-hari.

Ibu I : Banyak polisi ya kalo sudah jam segini

Si Nini: Iya, biasanya ga banyak, apalagi kalo Sabtu gini

Ibu II : Tapi saya seneng lho kalo banyak polisi begini. Rasanya jadi lebih aman.

Si Nini: Bener tuh, jadi maling ga ada yang berani.

Saya: Anu, ini Bu, lagi ada Boediono datang ke Banjar.

Ibu I dan Ibu II: O ya?

Si Nini: Oh, orang penting ya dia? Dia mentri ya?

Saya: *setelah terbatuk-batuk*. Enggak Ni. Pak Boediono itu wakil presiden kita.

Ibu I: Iya, wakilnya SBY

Si Nini: Lho? Jusuf Kalla itu sudah diganti toh?

Ibu II: Um. Iya Bu. Jusuf Kalla sudah ga jadi wakil lagi.

Si Nini: O ya? Sejak kapan? Terus si Boediono ini yang menggantikan Jusuf Kalla itu?

Ibu I: Iya

Saya:… *speechless… Mau ketawa tapi takut kualat sama orang tua*


Ternyata, menjadi RI II pun tidak menjamin popularitas seseorang…

Sabtu, 09 Januari 2010

Dari Sidang ke Sidang…

Enggak. Saya tidak sedang menghadapi tuntutan pencemaran nama baik seperti Luna Maya ataupun perbuatan tidak menyenangkan *entah kenapa, artis Andi Soraya yang muncul di benak saya kalo soal perbuatan tidak menyenangkan ini*. Ini menyangkut soal lulus tidaknya mahasiswa, alias sidang skripsi. Waktu jaman saya masih berstatus mahasiswa dulu sih, ngetopnya dengan judul sidang pendadaran. Waktu sekolah kemaren, *FORTUNATELY* di kampus saya ga ada tuh yang namanya oral defence. Terus, apakah saya sekarang mesti menghadapi sidang skripsi? Enggak. Saya MENGURUSI sidang.

Begitu saya mulai nongol ria di kantor setelah menunaikan tugas belajar *yang lebih banyak diisi dengan main dan jalan-jalan sih, sebenernya*, salah satu tugas yang dialihkan ke saya adalah jadi panitia Tugas Akhir. Kalo di PS Kimia Unlam sini mah namanya PK I dan PK II, PK itu singkatan dari Penelitian Kimia. Nah, ada 3 sidang yang mengiringi kewajiban mahasiswa dalam menunaikan tugasnya di PK I dan II ini. Mulai dari Sidang Proposal, Seminar Tugas Akhir, dan “gong”nya tentu saja, Sidang Skripsi. Tugas saya selaku panitia TA ini mulai dari mengurus pendaftaran mahasiswa yang mau maju sidang, mencarikan penguji, mengkonfimasikan tanggal kepada penguji, menyediakan berkas lembar penilaian sidang, sampai menghitung nilai sidang yang diperoleh mahasiswa.

Sebenernya sih panitia TA ini ada 2 orang, saya sama Dahlena. Tapi karena Dahlena kemaren lagi cuti hamil, saya yang wanita tangguh inipun jadi single fighter buat ngurusin sidang. Salah satu perbedaan kunci antara saya dan Dahlena adalah: tingkat ketegaan yang berbeda secara menyolok. Dahlena biasanya bisa luluh kalo liat mahasiswa yang pasang aksi sedikit mengenaskan. Makanya, kadang-kadang ada aja mahasiswa yang bisa daftar untuk maju sidang rada molor. Kalo saya? Hohohoho…, saya akan melipat kedua tangan di dada, mengangkat alis dan berkata dengan nada beberapa oktaf lebih tinggi daripa Whitney Houston: “Enggak. Kalau kamu memang mau maju sidang tanggal segitu, mestinya kamu daftar ke saya SEPULUH hari sebelumnya, dan sudah masukin naskah kamu 7 hari sebelum tanggal itu. Sekarang liat kalender deh, sorry to say, kamu udah telat. BANGET.”. Dan mungkin karena reputasi saya sebagai dosen yang tidak mudah terbujuk rayuan, mahasiswa tiba-tiba jadi lebih tertib buat daftar TA. Selain itu, saya juga punya suatu senjata andalan untuk “memotivasi” mahasiswa biar daftar sidangnya ga molor. Saya tinggal mengancam mereka: “Kalo daftarnya telat, terpaksa saya yang jadi dosen penguji kamu.”. Biasanya, mereka dengan penuh kesadaran langsung mengumpulkan berkas pendaftaran yang diperlukan. Kenapa ini bisa jadi senjata andalan? Karena saya juga punya reputasi sebagai dosen “berbisa” kalo lagi jadi penguji… Akahahahahahaha… In other words, saya dikenal sebagai dosen dengan senyum dan pertanyaan yang sungguh intimidatif bagi mahasiswa yang disidang. Padahal perasaan saya nanyanya gitu-gitu aja kooook :D.

Anyway, jadi inget. Ada satu naskah yang harus say abaca untuk diujikan hari Selasa nanti.
I’m outta here for now!

Jumat, 01 Januari 2010

Another (New) Year *and other unrelated things*

So. It’s 2010 now. Beuh, udah tahun baru lagi. Udah mesti ganti kalender lagi. Oh iya, sampai lupa… Selamat Tahun Baru semuanyaaaaa!!! Halah. Mestinya itu mah kalimat pembuka ya? Well, to tell you the truth, for the last 3-4 years, I seem to lose the interest to New Year’s Eve. Ga tau kenapa, perasaan mah lempeng aja kalo Tahun Baru. It’s just another year that pass by, followed with another year. That’s it. Bukannya saya ga optimis, bukan berarti ga berharap akan tahun yang lebih baik. Tapi kenapa mesti nunggu pas Tahun Baru doang sih? Akhahakahahaha… Now it sounds that I am as sceptic as I can be. To be fair, semua orang perlu momentum. Bagi banyak orang, mungkin momentum buat memulai harapan baru *or to use the popular term: to have a resolution* adalah ya pas Tahun Baru ini. Saya? Kalo inget. Akahahahaha… Sering kok ingetnyaaa…. Ngelakuinnya doang yang patut dipertanyain nih.

Well, enough with NYE, resolution and things. Paling enggak, pas Tahun Baru, film di TV jadi bagus-bagus. Dan syukurlah, RCTI tidak memutar Ada Apa dengan Cinta atau 30 Hari Mencari Cinta untuk yang ke seratus tiga puluh empat kalinya… :D. Tapi kok ya Baby’s Day Out itu diputar lagi yaaaaaa???
Tahun lalu mah saya inget, di RCTI yang diputar Harry Potter and the Goblet of Fire. Tahun ini film tahun barunya lumayan.. Tadi saya habis nonton King. Dan, ada HARYANTO ARBI!!! Histeria jayalah saya… Sumpah, jadi bener-bener kangen jaman Indonesia masih jagoannya bulutangkis dunia. Zaman-zama Pandawa Lima: Joko Supriyanto – Hariyanto Arbi – Alan Budikusuma – Ardy B. Wiranata plus satu orang lagi yang sedang saya inget-inget namanya… Masih ada Ricky-Rexy, Finrasih-Lili Tampi. Beuh, pokoknya mah, jama itu, nonton badminton itu adalah hal paling seru dan menegangkan sejagad raya.

Selain nonton film di TV, seminggu terakhir di 2009 saya gunakan untuk marathon ngabisin DVD “America’s Next Top Model”. Saya kemaren beli 3 season, season 7, 10 dan 13. Adanya kemaren cuma itu sih. Tyra Banks itu memang keren ya. A real supermodel. Ga jauh beda lah ama saya kalo saya terjerembab ke dunia modeling.




Setelah saya baca lagi, kok isi postingan ini rada ga nyambung dengan tema Tahun Baru ya? Malah ngomongin tontonan dan TV. Ya udahlah, sekalian aja. Mari membahas salah satu tontonan TV sejuta umat: Infotainment! Beberapa tahun yang lalu kan pernah tuh infotainment mau dikategorikan “haram”. Denger-denger sekarang klaim itu didengungkan kembali ya? Oh puhliiiizzzz….!!! Mending fatwa haram rokok tuh yang diurusin! Pengen ketawa saya denger bahwa infotainment itu mau dicap haram. Let’s make it fair deh… Beberapa infotainment memang isi beritanya cenderung memojokkan seleb dan udah rada beraura kasih, eh, aura fitnah gitu. Nah, kalo itu, bolehlah dilarang. Cara pemberitaan dan narasi yang lebay tralala emang suka bikin kesel. Yang dengernya aja berasa mau nimpuk yang bikin berita. Apa lagi yang diberitakan ya? Tapi apakah setiap episode infotainment isinya gitu? Enggak kan? Enggak kan? Saya bukannya ngebelain infotainment. Tapi saya berbicara sebagai orang yang kerjaannya kalo sore ngopi-ngopi sambil nonton Cek dan Ricek, atau sarapan pagi hari sambil nonton Insert. Kadang-kadang malah kalo lagi ga ada skandal yang bisa diekspos, isi infotainment suka tipe berita yang membuat saya mengangkat alis sambil ngomong “Yeah, rite. Like I want to know.”. Misalnya, apa saja isi tas seleb yang lagi break syuting. Penting ya? And what do you expect? Nemuin ular albino dalam tas tangan mereka?
Atau ngikutin seleb yang lagi manicure-pedicure plus creambath di salon. Euh, apa serunya ngeliatin artis ABG duduk di bawah alat salon itu sambil baca majalah? Oh,well, anyway… Biarkanlah kasusnya bergulir terooosss…

Okay, enough mumbling for today, which is the first day in 2010.

Hello 2010!

Jumat, 29 Januari 2010

Percy Jackson and The Olympians – Ketika Olympus Pindah ke Empire State Building


Yunani. Banyak hal yang bisa diasosiasikan dari Yunani. Tapi mungkin salah satu yang paling terkenal dari Yunani adalaaaaahhh… mitologinya! Hah? Bukan? Ah, saya mah paling suka sama mitologinya. Beautiful stories. Mulai dari para dewa-dewa Yunani, mahluk-mahluk ajaibnya, sampai para pahlawan macam Hercules. Walaupun untung saja semua itu cuma mitos. Apalagi soal dewa-dewa itu. Because instead of taking care of this universe it seems that they spend more time on fighting each other. Dan itu semakin terlihat di serial Percy Jackson ini.

Sebenernya mungkin rada telat kali yak kalo saya baru bikin *semacam* resensi ini sekarang. Apalagi mengingat buku pertama dari serial ini, Percy Jackson and The Lightning Thief diterbitkan di Amerika Serikat pada tahun 2005. Ditulis oleh Rick Riordan yang memang pernah menjadi seorang guru yang mengajar tentang Mitologi Yunani. Edisi bahasa Indonesianya yang jilid pertama terbit kalau tidak salah November 2008 gitu. Buku ini ada lima jilid. Jilid terakhir, Percy Jackson and the Last Olympians, terbit Juni 2009 kemaren. Kalau tidak salah, di Indonesia baru diterbitkan sampai jilid keempat, Percy Jackson dan Pertempuran Labirin.

Dalam buku ini, diceritakan bahwa mitologi Yunani, mulai dari dewa-dewinya (Zeus, Artemis, Poseidon, Hades, you name it) sampai para mahluk mitologi semacam Minotaur sampai Circe sang Penyihir benar-benar ada. Tapi karena latar belakangnya adalah zaman modern sekarang ini, tentu saja kehidupan para tokoh ini “disesuaikan”. Olympus, misalnya, yang menjadi tempat tinggal para dewa, dikisahkan berada di lantai 600 Empire State Building di New York. Ares, sang Dewa Perang, digambarkan sebagai seorang preman berpakaian kulit yang mengendarai Harley Davidson. Sungai Styx, yang merupakan sungai yang harus dilalui arwah orang yang telah meninggal, diceritakan pintu masuknya berada di balik sebuar perusahaan rekaman di New York City. Cool.

Cerita dari serial ini berkisar tentang petualangan si tokoh utama *yang tentu saja bernama Percy Jackson as you might have guessed from the title* yang ternyata adalah setengah manusia, setengah dewa Yunani. Dan dia ternyata bukan satu-satunya blasteran semacam ini. Para anak-anak blasteran ini setiap musim panas dikumpulkan di semacam perkemahan musim panas. Dalam setiap serialnya, Percy harus menghadapi seorang (atau sesosok sih?) musuh utama, Kronos, yang berencana mengkudeta para dewa di Olympus dan mengambil alih dunia. Dan fakta bahwa meskipun pada dasarnya mereka saling berkeluarga, para dewa Olympus cenderung tidak rukun satu sama lain, sama sekali tidak membuat misi Percy untuk menghalangi Kronos menjadi lebih mudah. And believe me, these God and Goddeses can be more troublesome than mortals. Percy tidak sendirian, dalam petualangannya dia ditemani dua orang sahabat. Ada Annabeth, yang merupakan anak dari Athena sang Dewi Kebijaksanaan, dan juga Grover, seorang satyr, yang berwujud setengah manusia setengah kambing.

Mau tidak mau, dengan tema semacam ini, orang pasti membandingkan serial Percy Jackson ini dengan serial Harry Potter yang fenomenal itu. Dan memang banyak kesamaan antara kedua serial ini.

  1. Kesamaan tema. Keduanya bercerita tentang tema mistis. Harry Potter dengan dunia penyihirnya, dan Percy Jackson dengan Mitologi Yunaninya.
  2. Trio petualang. Kalau di Harry Potter ada Harry-Hermione-Ron, di serial ini ada Percy-Annabeth-Grover. Dan tokoh Annabeth betul-betul mirip karakternya dengan Hermione. Cerdas, dan cenderung cerewet.
  3. Sang tokoh jahat. Dalam serial ini, tokoh Kronos akan membuat pembaca teringat pada Dia Yang Namanya Tak Boleh Disebut *but I’ll say his name anyway. VOLDEMORT. There, I’ve said it :D*

Mungkin masih ada beberapa persamaan lain, tapi yang tiga itu yang bagi saya adalah yang paling menonjol.

Bagi saya sendiri, saya lebih menyukai serial ini. Maybe one of the reasons is because I always have a soft spot for Greek Mythology. Dari dulu saya suka cerita tentang Mitologi Yunani. Dan melihat cerita-cerita itu disajikan disini dalam sentuhan modern, I find it to be fascinating. Selain itu bagi saya tokoh-tokohnya malah terkesan lebih membumi dan realistis. Tidak pernah ada tokoh yang benar-benar baik. Selain itu, Harry Potter kadang-kadang digambarkan terkesan adalah seseorang yang sebetulnya menyimpan amarah terhadap dunia, atas ketidakadilan yang menimpanya, kenapa kedua orang tuanya harus meninggal. Kalau Percy, mungkin kasusnya sedikit berbeda ya. Kedua orangtuanya masih hidup, dan dia digambarkan sangat menyayangi ibunya yang manusia biasa. Terhadap ayahnya, Poseidon sang Dewa Laut, Percy seperti menghadapi dilema. Di satu sisi dia sangat merindukan figure sang ayah dan merasa bangga kalau sang ayah memujinya. Di sisi lain, dia juga merasa marah karena Poseidon tidak bisa menjadi ayah yang “normal”. But well, if you’re a Greek God, normal is not something that can correctly describe you,rite ;p? Pergolakan emosi Percy sebagai seorang remaja berusia 11 tahun terasa lebih realistis. Dan yang paling saya suka, his sense of humour. Sedikit sarkastik, tapi seringnya ngena. Well, bukan cuma si Percy ini sih. I think the whole book has this sense of humour. Contohnya saja, judul bab pertama di buku jilid pertamanya : “I Accidentally Vaporize My Maths Teacher”. Haha. Such an intriguing title. And let me tell you, Percy DID actually vaporized his teacher ^_^.

Another example of how things are written in these books is what’s written in the backcover of the first book:

Look, I didn’t want to be a half-blood. I never asked to be the son of a Greek God. I was just a normal kid, going to school, playing basketball, skateboarding. The usual. Until I accidentally vaporize my maths teacher. That’s when things really started going wrong. Now I spend my time fighting with swords, battling monsters with my friends and generally, trying to stay alive.

This is the one where Zeus, God of the Sky thinks I’ve stolen his lightning bolt – and making Zeus angry is a very bad idea.

Edisi Bahasa Indonesia juga lumayan. Walaupun mungkin beberapa joke jadi rada garing kalau diterjemahkan ke Bahasa Indonesa.

Oh iya, satu lagi. Buku ini juga akan diangkat ke layar lebar. Kalau tidak salah Februari ini akan mulai muncul di bioskop. Pierce Brosnan and Uma Thurman were said to be participated this movie!

Overall, I love Percy Jackson series. Love it. A LOT. Sedikit cerita tambahan, saya sempat deg-degan waktu sampai pertengahan Juli 2009 kemaren saya belum menemukan buku terakhir dari serial ini di toko-toko buku di Melbourne. Secara tanggal 25 Juli saya bakal back for good setelah menyelesaikan studi saya. Jadi saja saya berasa mau memeluk pegawai toko di Borders waktu dia menunjukkan bahwa buku yang saya cari-cari ini akhirnya datang, 5 hari sebelum tanggal kepulangan saya. That’s destiny :D.

Anyway, I would recommend this series to other people, terutama yang gemar menikmati cerita-cerita fantasi.

Ada lima jilid dalam serial ini:

  1. Percy Jackson and the Lightning Thief
  2. Percy Jackson and the Sea of Monsters
  3. Percy Jackson and the Titan’s Curse
  4. Percy Jackson and the Battle of the Labyrinth
  5. Percy Jackson and the Last Olympians

Go and grab one from the bookstore!

100 Hari Emang Bisa Ngapain Aja?

Judulnya itu beneran pertanyaan lho, bukan suatu sindiran atau suatu sarkasme.

Terkait dengan berita demo *yang katanya* besar-besaran tanggal 28 Januari kemaren, saya malah mengerutkan kening. Dengan polosnya saya malah bertanya-tanya, kenapa mesti tanggal 28 Januari sih? Bukannya peristiwa besar di bulan Januari itu cuma yang Lima Belas Januari itu doang? Atau kenapa ga menjadikan lagunya Gigi yang 11 Januari itu sebagai inspirasi? Kan lebih unik tuh, demo di jalan, tapi bukannya teriak-teriak, peserta demonya malah nyanyi lagu 11 Januari itu rame-rame…

Setelah menekuni berita sedikit lebih lama lagi, baru saya nyadar, oh iya ya… 28 Januari itu artinya sudah 100 hari pemerintahan SBY ya? Ga berasa. Habisnyaaaa…. Perasaan isi berita ya kalo ga Century, kasus Antasari, penjaranya Arthalita, atau gosipnya Naysilla Mirdad dengan Dude Herlino *eh, yang terakhir ini rada OOT yak? Maaph…*.

Saya sama sekali tidak punya basic apapun tentang politik. Jadi pemikiran saya ya pemikiran orang awam yang, mohon maaph, sungguh apa adanya.

Pertama nih ya... demo itu katanya besar-besaran nih, artinya pesertanya banyak kan? Terus demonya tanggal 28 Januari, yang adalah hari Kamis. Kamis kan belum diitung weekend kan? Masih hari kerja kan? Lah, terus para peserta demo itu ga pada masuk kerja po’? Kalo mahasiswa, ga pada kuliah po’? Atau pada ijin ga masuk kerja bareng-bareng? Yaelah… Artinya banyak banget dong yang “unproductively busy” pas demo itu? Atau ada yang bayarin mereka buat demo? Eh, kalau uang bayaran demo itu dijadiin modal usaha kan kayaknya bakal lebih produktip tuh?

Terus, para peserta demo itu keren-keren banget sih, bisa tau program 100 harinya SBY, terus pada langsung menilai bahwa pemerintahan SBY itu gagal. Kalau misalnya saya balik nanya, mereka merasa berhasil ya sebagai rakyat? Apa mereka merasa berhasil sebagai orang baik? Buat para mahasiswa yang ikut demo, apa udah merasa sukses sebagai mahasiswa? IMHO ni yeeee…. Seratus hari itu kan tiga bulan lebih dikit. Dan Indonesia itu isinya berpuluh ribu pulau lebih banyak, dengan ratusan juta penduduk. Dengan waktu seratus hari, menurut saya lebay aja kalau udah ketok palu bahwa pemerintahan SBY gagal. Terus kalau sudah gagal mau diapain? Disuruh turun, gantinya siapa? Ribet lagi kan? Milih presiden lagi. Milih mentri lagi. Nyusun program lagi. Bikin action plan lagi. Dddooooh… Terus yang sempet dikerjain 100 hari kemaren mau diapain?

Berdasarkan sisa-sisa ilmu saya jaman SMA dulu, yang saya tau dalam tata negara nih ya, negara itu kan isinya bukan cuma pemerintah. Kalau ada pemerintah, artinya ada yang diperintah kan? Mesti ada rakyat juga dong? Nah, kalo misalnya demo ini merepresentasikan evaluasi kinerja pemerintah oleh rakyat, to make it fair, siapa nih yang harusnya mengevaluasi gimana rakyat mendukung program kerja pemerintah? Pemerintah bikin program layanan kesehatan gratis, tapi ya susah kalo petugas Puskesmasnya *yang tentu saja, adalah bagian dari rakyat* datengnya males-malesan. Udah gitu melayani pake acara cemberut. Kalo lagi sial, pasien suka dimintai uang lelah pula. Nah, yang kayak gini salah SBY juga bukan? Atau udah dibikinin sekolah gratis nih, taapi kalo lalu pihak sekolah mungut uang seragam segala macem yang memang adalah murni “kreativitas” pihak sekolah, masih pemerintah yang disalahkan? Pemerintah udah bikin program-program lingkungan hidup, tapi yang tinggal di pinggir sungai masih aja menganggap buang sampah ke sungai itu lebih gampang, apa kita lalu seharusnya bersama-sama menghujat Kabinet? Pemerintah udah berusaha melayani pasien TBC nih, tapi masih banyak aja orang yang dengan santainya menghirup rokok dan menghembuskan asapnya di dalam kendaraan umum, sementara penumpang lain udah megap-megap kehabisan udara bebas *ini sekalian curhat colongan, secara kemaren seangkot dengan pria perokok :D*. Mahasiswa banyak yang demo menuntut fasilitas perkuliahan yang lebih baik, tapi sambil demo, fasilitas yang sudah ada malah dipukuli, dihancurkan. Ddddooooohhh….

Waktu Pemilu kemaren, yang memilih SBY lebih dari 50% kan, makanya bisa satu putaran saja? Nah, sekarang, mana dukungan dari yang sudah memilih SBY itu?

Saya pikir sih, sebagus apapun program pemerintah yang dimaksudkan untuk rakyat, kalau rakyatnya sendiri tidak mendukung pelaksanaan program itu, we’re going nowhere.

Dan pemerintah bukan cuma SBY-Boediono kan? Okelah, mereka Presiden dan Wakil Presiden. Tapi kan masih ada Mentri. Masih ada Direktur Jendral di dalam berbagai Departemen. Masih ada Gubernur, Bupati, Kepala Dinas, Kepala Seksi, Kepala Sekolah, Ketua RT, Ketua Kelas *oke, yang terakhir ini mungkin ga bisa dimasukin itungan*. Kalau mislanya ada yang bertingkah menyebalkan, lalu apa SBY-Boediono yang harus disalahkan?

Kita teriak-teriak bahwa pemerintah telah gagal mengentaskan kemiskinan (bener ga sih istilahnya?). Tapi kalo diinget-inget lagi, waktu kemaren ada tetangga yang mau pinjem duit 50rebu buat nebus obat kita bilang ga punya duit. Padahal satu jam yang lalu kita baru saja hang out di café yang baru dibuka, dan membayar 30 rebu hanya untuk secangkir kopi. Kita mengeluh bahwa gaji si Mbak di rumah yang 450 rebu sebulan itu terlalu tinggi, padahal tas Fendi keluaran terbaru yang kita beli minggu lalu harganya 12 kali lipatnya.

Okelah, seratus hari memang waktu yang bisa dijadikan masa untuk evaluasi. Tapi sepertinya jauh terlalu dini untuk mengatakan bahwa Pemerintah sudah GAGAL. Sementara kita sendiri belum pernah mengevaluasi diri kita apakah sudah sukses untuk menjadi seseorang. Apalagi mengevaluasi diri kita sebagai rakyat yang mendukung Pemerintah.

Senin, 25 Januari 2010

Heaven on Earth…

Pernah denger istilah “content” ga? Kalo menurut istilah baku dari kamus Collins nya saya, definisinya adalah: “satisfied with things as they are”. Dengan kata lain, content itu mah bisa merasa berbahagia cukup dengan apa yang ada. Ga usah minta yang muluk-muluk. Ga usah yang aneh-aneh. Saya dan adek saya, misalnya, dengan rendah hatinya kami berdua merasa bahwa salah satu saat yang paling menyenangkan segalaksi raya adalah kalo bisa tidur siang dengan nyaman tanpa merasa dibebani dan dikejar-kejar kerjaan.

Pernah ga merhatiin bahwa anak kecil itu umumnya terlihat begitu damai dan bahagia*kalo dibandingkan kita para orang berumur banyak*? Karena mereka begitu mudah terpesona dengan hal-hal yang bagi kita sepele. Hal-hal kecil yang luput dari perhatian. Kapan terakhir kali kita kagum dengan rintik air hujan? Kapan terakhir kali kita heran kenapa kupu-kupu itu tidak bosen terbang? Kapan terakhir kali kita tertawa melihat kucing yang menguap di pinggir jalan?

Apalagi sekarang ini, berasa ga sih kok kayaknya hidup itu penuh dengan hal-hal yang ga beres? Kasus Century yang malah diselingi acara berantemnya si mantan artis sinetron Gerhana, soal pembobolan rekening yang bikin orang-orang jadi parno dan pada ngeganti PIN ATM, sampai soal rebonding dan foto pre-wedding yang katanya mau diharamkan *lah, itu fatwa soal rokok terus apa kabar ya, kok tiba-tiba udah pada ngurusin poto orang mau kawin?*…

Kayaknya susah banget mau ngerasa seneng…

Tapi, apa memang sesulit itu sih?

Saya bisa merasa senang saat bisa diam sejenak barang semenit untuk menikmati secangkir Nescafe/coffemis panas di pagi hari. Atau minum teh kotak dingin di dalam angkot pas lagi panas-panasnya. Saya berasa seneng kalo ponakan saya memeluk saya sambil menyodorkan pipinya. Saya merasa waktu-waktu saya minum teh panas di malam hari bersama Mama sambil mendengarkan curhatan beliau soal hari itu tak tergantikan oleh apapun. Bahkan, saya tersenyum dan ikut merasakan kebahagiaan waktu melihat foto seseorang yang dulu pernah saya sayangi segenap hati selama bertahun-tahun sedang tertawa bahagia bersama istrinya sambil menggendong anaknya *Tsaaahhh…disempet-sempetin curhat :D*.

Hari saya bisa berasa lebih ceria jaya kalo tiba-tiba lagu jaman dulu yang saya senengin muncul di TV ato di radio. Saya bisa nyengir seharian kalo ada temen yang mengomentari bahwa penampilan saya hari itu cantik. Saya bisa semangat kerja kalo angkot andalan saya langsung berangkat tanpa ngetem terlalu lama. Simple things. Dan itu semua bisa kita temui di setiap hari kita. Kita cuma sering lupa untuk menyadari bahwa hal-hal sederhana semacam itu bisa mengembalikan senyum kita di hari itu.

Our heaven on earth is not that difficult to find. We just need to open our eyes, our ear, and most of all, our heart, to feel that this world is full with things that can make us happier.

Jadi, apa yang membuat anda merasa senang di hari ini?

Rabu, 20 Januari 2010

Ternyata Dia Tidak Seterkenal Itu…

Jujur saja, saya termasuk salah satu dari sekian ribu orang yang tahun lalu memilih Pak Boediono untuk mendampingi SBY memimpin negara ini sampai dengan 5 tahun ke depan. Bahkan sampai saat ini pun, saya tidak mau langsung menuduh beliau paling bersalah lah lah dalam kasus Bank Century. Tapi tetep saja, waktu Pak Boediono datang mengunjungi Banjarmasin hari Sabtu tanggal 16 Januari kemaren, saya ngomel. Karena bagi saya, kedatangan beliau merepotkan. Jalan gede terdekat dari rumah saya ditutup demi kunjungan beliau ke SMKN 4 *yang jaraknya cuma sekitar 200 meter dari rumah saya*. Dan sebagai hasilnya, kalo dalam kondisi normal tentram sejahtera saya cuma jalan sekitar 150 meter udah dapet angkot, sekarang mesti jalan muter sampe SATU SETENGAH KILOMETER demi mendapatkan angkot kuning kebanggaan kota saya itu. Hilang deh usaha saya mencerahkan kulit wajah di hari itu, secara mentari bersinar ceria tralala trilili sementara saya sambil merutuk-rutuk berjalan di bawah payung hitam. Belum lagi jadi banyak tentara-tentara dan para polisi yang tiba-tiba bertebaran dengan selisih jarak 3 depa satu sama lain. Setelah sekitar 1,5 km, akhirnya bersua juga saya dengan angkot kuning terang itu. Selang sekitar 200 meter, ada tiga orang dari satu keluarga dengan perbedaan usia 3 generasi. Jadi ada si Nenek (mari kita sebut dia sebagai si Nini), ada anaknya (yang akan saya sebut sebagai si Acil) dan sang cucu perempuan yang masih ada dalam gendongan si Acil. Selisih 300 meter lagi, ada lagi nih dua orang ibu-ibu yang masuk (selanjutnya akan disebut sebagai Ibu I dan Ibu II). Maka terlibatlah para penumpang angkot ini dalam suatu percakapan berikut. Baidewei, dengan pertimbangan kemudahan membaca, dialog yang seharusnya berlangsung dalam bahasa Banjar yang sangat medok sudah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia sehari-hari.

Ibu I : Banyak polisi ya kalo sudah jam segini

Si Nini: Iya, biasanya ga banyak, apalagi kalo Sabtu gini

Ibu II : Tapi saya seneng lho kalo banyak polisi begini. Rasanya jadi lebih aman.

Si Nini: Bener tuh, jadi maling ga ada yang berani.

Saya: Anu, ini Bu, lagi ada Boediono datang ke Banjar.

Ibu I dan Ibu II: O ya?

Si Nini: Oh, orang penting ya dia? Dia mentri ya?

Saya: *setelah terbatuk-batuk*. Enggak Ni. Pak Boediono itu wakil presiden kita.

Ibu I: Iya, wakilnya SBY

Si Nini: Lho? Jusuf Kalla itu sudah diganti toh?

Ibu II: Um. Iya Bu. Jusuf Kalla sudah ga jadi wakil lagi.

Si Nini: O ya? Sejak kapan? Terus si Boediono ini yang menggantikan Jusuf Kalla itu?

Ibu I: Iya

Saya:… *speechless… Mau ketawa tapi takut kualat sama orang tua*


Ternyata, menjadi RI II pun tidak menjamin popularitas seseorang…

Sabtu, 09 Januari 2010

Dari Sidang ke Sidang…

Enggak. Saya tidak sedang menghadapi tuntutan pencemaran nama baik seperti Luna Maya ataupun perbuatan tidak menyenangkan *entah kenapa, artis Andi Soraya yang muncul di benak saya kalo soal perbuatan tidak menyenangkan ini*. Ini menyangkut soal lulus tidaknya mahasiswa, alias sidang skripsi. Waktu jaman saya masih berstatus mahasiswa dulu sih, ngetopnya dengan judul sidang pendadaran. Waktu sekolah kemaren, *FORTUNATELY* di kampus saya ga ada tuh yang namanya oral defence. Terus, apakah saya sekarang mesti menghadapi sidang skripsi? Enggak. Saya MENGURUSI sidang.

Begitu saya mulai nongol ria di kantor setelah menunaikan tugas belajar *yang lebih banyak diisi dengan main dan jalan-jalan sih, sebenernya*, salah satu tugas yang dialihkan ke saya adalah jadi panitia Tugas Akhir. Kalo di PS Kimia Unlam sini mah namanya PK I dan PK II, PK itu singkatan dari Penelitian Kimia. Nah, ada 3 sidang yang mengiringi kewajiban mahasiswa dalam menunaikan tugasnya di PK I dan II ini. Mulai dari Sidang Proposal, Seminar Tugas Akhir, dan “gong”nya tentu saja, Sidang Skripsi. Tugas saya selaku panitia TA ini mulai dari mengurus pendaftaran mahasiswa yang mau maju sidang, mencarikan penguji, mengkonfimasikan tanggal kepada penguji, menyediakan berkas lembar penilaian sidang, sampai menghitung nilai sidang yang diperoleh mahasiswa.

Sebenernya sih panitia TA ini ada 2 orang, saya sama Dahlena. Tapi karena Dahlena kemaren lagi cuti hamil, saya yang wanita tangguh inipun jadi single fighter buat ngurusin sidang. Salah satu perbedaan kunci antara saya dan Dahlena adalah: tingkat ketegaan yang berbeda secara menyolok. Dahlena biasanya bisa luluh kalo liat mahasiswa yang pasang aksi sedikit mengenaskan. Makanya, kadang-kadang ada aja mahasiswa yang bisa daftar untuk maju sidang rada molor. Kalo saya? Hohohoho…, saya akan melipat kedua tangan di dada, mengangkat alis dan berkata dengan nada beberapa oktaf lebih tinggi daripa Whitney Houston: “Enggak. Kalau kamu memang mau maju sidang tanggal segitu, mestinya kamu daftar ke saya SEPULUH hari sebelumnya, dan sudah masukin naskah kamu 7 hari sebelum tanggal itu. Sekarang liat kalender deh, sorry to say, kamu udah telat. BANGET.”. Dan mungkin karena reputasi saya sebagai dosen yang tidak mudah terbujuk rayuan, mahasiswa tiba-tiba jadi lebih tertib buat daftar TA. Selain itu, saya juga punya suatu senjata andalan untuk “memotivasi” mahasiswa biar daftar sidangnya ga molor. Saya tinggal mengancam mereka: “Kalo daftarnya telat, terpaksa saya yang jadi dosen penguji kamu.”. Biasanya, mereka dengan penuh kesadaran langsung mengumpulkan berkas pendaftaran yang diperlukan. Kenapa ini bisa jadi senjata andalan? Karena saya juga punya reputasi sebagai dosen “berbisa” kalo lagi jadi penguji… Akahahahahahaha… In other words, saya dikenal sebagai dosen dengan senyum dan pertanyaan yang sungguh intimidatif bagi mahasiswa yang disidang. Padahal perasaan saya nanyanya gitu-gitu aja kooook :D.

Anyway, jadi inget. Ada satu naskah yang harus say abaca untuk diujikan hari Selasa nanti.
I’m outta here for now!

Jumat, 01 Januari 2010

Another (New) Year *and other unrelated things*

So. It’s 2010 now. Beuh, udah tahun baru lagi. Udah mesti ganti kalender lagi. Oh iya, sampai lupa… Selamat Tahun Baru semuanyaaaaa!!! Halah. Mestinya itu mah kalimat pembuka ya? Well, to tell you the truth, for the last 3-4 years, I seem to lose the interest to New Year’s Eve. Ga tau kenapa, perasaan mah lempeng aja kalo Tahun Baru. It’s just another year that pass by, followed with another year. That’s it. Bukannya saya ga optimis, bukan berarti ga berharap akan tahun yang lebih baik. Tapi kenapa mesti nunggu pas Tahun Baru doang sih? Akhahakahahaha… Now it sounds that I am as sceptic as I can be. To be fair, semua orang perlu momentum. Bagi banyak orang, mungkin momentum buat memulai harapan baru *or to use the popular term: to have a resolution* adalah ya pas Tahun Baru ini. Saya? Kalo inget. Akahahahaha… Sering kok ingetnyaaa…. Ngelakuinnya doang yang patut dipertanyain nih.

Well, enough with NYE, resolution and things. Paling enggak, pas Tahun Baru, film di TV jadi bagus-bagus. Dan syukurlah, RCTI tidak memutar Ada Apa dengan Cinta atau 30 Hari Mencari Cinta untuk yang ke seratus tiga puluh empat kalinya… :D. Tapi kok ya Baby’s Day Out itu diputar lagi yaaaaaa???
Tahun lalu mah saya inget, di RCTI yang diputar Harry Potter and the Goblet of Fire. Tahun ini film tahun barunya lumayan.. Tadi saya habis nonton King. Dan, ada HARYANTO ARBI!!! Histeria jayalah saya… Sumpah, jadi bener-bener kangen jaman Indonesia masih jagoannya bulutangkis dunia. Zaman-zama Pandawa Lima: Joko Supriyanto – Hariyanto Arbi – Alan Budikusuma – Ardy B. Wiranata plus satu orang lagi yang sedang saya inget-inget namanya… Masih ada Ricky-Rexy, Finrasih-Lili Tampi. Beuh, pokoknya mah, jama itu, nonton badminton itu adalah hal paling seru dan menegangkan sejagad raya.

Selain nonton film di TV, seminggu terakhir di 2009 saya gunakan untuk marathon ngabisin DVD “America’s Next Top Model”. Saya kemaren beli 3 season, season 7, 10 dan 13. Adanya kemaren cuma itu sih. Tyra Banks itu memang keren ya. A real supermodel. Ga jauh beda lah ama saya kalo saya terjerembab ke dunia modeling.




Setelah saya baca lagi, kok isi postingan ini rada ga nyambung dengan tema Tahun Baru ya? Malah ngomongin tontonan dan TV. Ya udahlah, sekalian aja. Mari membahas salah satu tontonan TV sejuta umat: Infotainment! Beberapa tahun yang lalu kan pernah tuh infotainment mau dikategorikan “haram”. Denger-denger sekarang klaim itu didengungkan kembali ya? Oh puhliiiizzzz….!!! Mending fatwa haram rokok tuh yang diurusin! Pengen ketawa saya denger bahwa infotainment itu mau dicap haram. Let’s make it fair deh… Beberapa infotainment memang isi beritanya cenderung memojokkan seleb dan udah rada beraura kasih, eh, aura fitnah gitu. Nah, kalo itu, bolehlah dilarang. Cara pemberitaan dan narasi yang lebay tralala emang suka bikin kesel. Yang dengernya aja berasa mau nimpuk yang bikin berita. Apa lagi yang diberitakan ya? Tapi apakah setiap episode infotainment isinya gitu? Enggak kan? Enggak kan? Saya bukannya ngebelain infotainment. Tapi saya berbicara sebagai orang yang kerjaannya kalo sore ngopi-ngopi sambil nonton Cek dan Ricek, atau sarapan pagi hari sambil nonton Insert. Kadang-kadang malah kalo lagi ga ada skandal yang bisa diekspos, isi infotainment suka tipe berita yang membuat saya mengangkat alis sambil ngomong “Yeah, rite. Like I want to know.”. Misalnya, apa saja isi tas seleb yang lagi break syuting. Penting ya? And what do you expect? Nemuin ular albino dalam tas tangan mereka?
Atau ngikutin seleb yang lagi manicure-pedicure plus creambath di salon. Euh, apa serunya ngeliatin artis ABG duduk di bawah alat salon itu sambil baca majalah? Oh,well, anyway… Biarkanlah kasusnya bergulir terooosss…

Okay, enough mumbling for today, which is the first day in 2010.

Hello 2010!