Jumat, 29 Januari 2010

100 Hari Emang Bisa Ngapain Aja?

Judulnya itu beneran pertanyaan lho, bukan suatu sindiran atau suatu sarkasme.

Terkait dengan berita demo *yang katanya* besar-besaran tanggal 28 Januari kemaren, saya malah mengerutkan kening. Dengan polosnya saya malah bertanya-tanya, kenapa mesti tanggal 28 Januari sih? Bukannya peristiwa besar di bulan Januari itu cuma yang Lima Belas Januari itu doang? Atau kenapa ga menjadikan lagunya Gigi yang 11 Januari itu sebagai inspirasi? Kan lebih unik tuh, demo di jalan, tapi bukannya teriak-teriak, peserta demonya malah nyanyi lagu 11 Januari itu rame-rame…

Setelah menekuni berita sedikit lebih lama lagi, baru saya nyadar, oh iya ya… 28 Januari itu artinya sudah 100 hari pemerintahan SBY ya? Ga berasa. Habisnyaaaa…. Perasaan isi berita ya kalo ga Century, kasus Antasari, penjaranya Arthalita, atau gosipnya Naysilla Mirdad dengan Dude Herlino *eh, yang terakhir ini rada OOT yak? Maaph…*.

Saya sama sekali tidak punya basic apapun tentang politik. Jadi pemikiran saya ya pemikiran orang awam yang, mohon maaph, sungguh apa adanya.

Pertama nih ya... demo itu katanya besar-besaran nih, artinya pesertanya banyak kan? Terus demonya tanggal 28 Januari, yang adalah hari Kamis. Kamis kan belum diitung weekend kan? Masih hari kerja kan? Lah, terus para peserta demo itu ga pada masuk kerja po’? Kalo mahasiswa, ga pada kuliah po’? Atau pada ijin ga masuk kerja bareng-bareng? Yaelah… Artinya banyak banget dong yang “unproductively busy” pas demo itu? Atau ada yang bayarin mereka buat demo? Eh, kalau uang bayaran demo itu dijadiin modal usaha kan kayaknya bakal lebih produktip tuh?

Terus, para peserta demo itu keren-keren banget sih, bisa tau program 100 harinya SBY, terus pada langsung menilai bahwa pemerintahan SBY itu gagal. Kalau misalnya saya balik nanya, mereka merasa berhasil ya sebagai rakyat? Apa mereka merasa berhasil sebagai orang baik? Buat para mahasiswa yang ikut demo, apa udah merasa sukses sebagai mahasiswa? IMHO ni yeeee…. Seratus hari itu kan tiga bulan lebih dikit. Dan Indonesia itu isinya berpuluh ribu pulau lebih banyak, dengan ratusan juta penduduk. Dengan waktu seratus hari, menurut saya lebay aja kalau udah ketok palu bahwa pemerintahan SBY gagal. Terus kalau sudah gagal mau diapain? Disuruh turun, gantinya siapa? Ribet lagi kan? Milih presiden lagi. Milih mentri lagi. Nyusun program lagi. Bikin action plan lagi. Dddooooh… Terus yang sempet dikerjain 100 hari kemaren mau diapain?

Berdasarkan sisa-sisa ilmu saya jaman SMA dulu, yang saya tau dalam tata negara nih ya, negara itu kan isinya bukan cuma pemerintah. Kalau ada pemerintah, artinya ada yang diperintah kan? Mesti ada rakyat juga dong? Nah, kalo misalnya demo ini merepresentasikan evaluasi kinerja pemerintah oleh rakyat, to make it fair, siapa nih yang harusnya mengevaluasi gimana rakyat mendukung program kerja pemerintah? Pemerintah bikin program layanan kesehatan gratis, tapi ya susah kalo petugas Puskesmasnya *yang tentu saja, adalah bagian dari rakyat* datengnya males-malesan. Udah gitu melayani pake acara cemberut. Kalo lagi sial, pasien suka dimintai uang lelah pula. Nah, yang kayak gini salah SBY juga bukan? Atau udah dibikinin sekolah gratis nih, taapi kalo lalu pihak sekolah mungut uang seragam segala macem yang memang adalah murni “kreativitas” pihak sekolah, masih pemerintah yang disalahkan? Pemerintah udah bikin program-program lingkungan hidup, tapi yang tinggal di pinggir sungai masih aja menganggap buang sampah ke sungai itu lebih gampang, apa kita lalu seharusnya bersama-sama menghujat Kabinet? Pemerintah udah berusaha melayani pasien TBC nih, tapi masih banyak aja orang yang dengan santainya menghirup rokok dan menghembuskan asapnya di dalam kendaraan umum, sementara penumpang lain udah megap-megap kehabisan udara bebas *ini sekalian curhat colongan, secara kemaren seangkot dengan pria perokok :D*. Mahasiswa banyak yang demo menuntut fasilitas perkuliahan yang lebih baik, tapi sambil demo, fasilitas yang sudah ada malah dipukuli, dihancurkan. Ddddooooohhh….

Waktu Pemilu kemaren, yang memilih SBY lebih dari 50% kan, makanya bisa satu putaran saja? Nah, sekarang, mana dukungan dari yang sudah memilih SBY itu?

Saya pikir sih, sebagus apapun program pemerintah yang dimaksudkan untuk rakyat, kalau rakyatnya sendiri tidak mendukung pelaksanaan program itu, we’re going nowhere.

Dan pemerintah bukan cuma SBY-Boediono kan? Okelah, mereka Presiden dan Wakil Presiden. Tapi kan masih ada Mentri. Masih ada Direktur Jendral di dalam berbagai Departemen. Masih ada Gubernur, Bupati, Kepala Dinas, Kepala Seksi, Kepala Sekolah, Ketua RT, Ketua Kelas *oke, yang terakhir ini mungkin ga bisa dimasukin itungan*. Kalau mislanya ada yang bertingkah menyebalkan, lalu apa SBY-Boediono yang harus disalahkan?

Kita teriak-teriak bahwa pemerintah telah gagal mengentaskan kemiskinan (bener ga sih istilahnya?). Tapi kalo diinget-inget lagi, waktu kemaren ada tetangga yang mau pinjem duit 50rebu buat nebus obat kita bilang ga punya duit. Padahal satu jam yang lalu kita baru saja hang out di café yang baru dibuka, dan membayar 30 rebu hanya untuk secangkir kopi. Kita mengeluh bahwa gaji si Mbak di rumah yang 450 rebu sebulan itu terlalu tinggi, padahal tas Fendi keluaran terbaru yang kita beli minggu lalu harganya 12 kali lipatnya.

Okelah, seratus hari memang waktu yang bisa dijadikan masa untuk evaluasi. Tapi sepertinya jauh terlalu dini untuk mengatakan bahwa Pemerintah sudah GAGAL. Sementara kita sendiri belum pernah mengevaluasi diri kita apakah sudah sukses untuk menjadi seseorang. Apalagi mengevaluasi diri kita sebagai rakyat yang mendukung Pemerintah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jumat, 29 Januari 2010

100 Hari Emang Bisa Ngapain Aja?

Judulnya itu beneran pertanyaan lho, bukan suatu sindiran atau suatu sarkasme.

Terkait dengan berita demo *yang katanya* besar-besaran tanggal 28 Januari kemaren, saya malah mengerutkan kening. Dengan polosnya saya malah bertanya-tanya, kenapa mesti tanggal 28 Januari sih? Bukannya peristiwa besar di bulan Januari itu cuma yang Lima Belas Januari itu doang? Atau kenapa ga menjadikan lagunya Gigi yang 11 Januari itu sebagai inspirasi? Kan lebih unik tuh, demo di jalan, tapi bukannya teriak-teriak, peserta demonya malah nyanyi lagu 11 Januari itu rame-rame…

Setelah menekuni berita sedikit lebih lama lagi, baru saya nyadar, oh iya ya… 28 Januari itu artinya sudah 100 hari pemerintahan SBY ya? Ga berasa. Habisnyaaaa…. Perasaan isi berita ya kalo ga Century, kasus Antasari, penjaranya Arthalita, atau gosipnya Naysilla Mirdad dengan Dude Herlino *eh, yang terakhir ini rada OOT yak? Maaph…*.

Saya sama sekali tidak punya basic apapun tentang politik. Jadi pemikiran saya ya pemikiran orang awam yang, mohon maaph, sungguh apa adanya.

Pertama nih ya... demo itu katanya besar-besaran nih, artinya pesertanya banyak kan? Terus demonya tanggal 28 Januari, yang adalah hari Kamis. Kamis kan belum diitung weekend kan? Masih hari kerja kan? Lah, terus para peserta demo itu ga pada masuk kerja po’? Kalo mahasiswa, ga pada kuliah po’? Atau pada ijin ga masuk kerja bareng-bareng? Yaelah… Artinya banyak banget dong yang “unproductively busy” pas demo itu? Atau ada yang bayarin mereka buat demo? Eh, kalau uang bayaran demo itu dijadiin modal usaha kan kayaknya bakal lebih produktip tuh?

Terus, para peserta demo itu keren-keren banget sih, bisa tau program 100 harinya SBY, terus pada langsung menilai bahwa pemerintahan SBY itu gagal. Kalau misalnya saya balik nanya, mereka merasa berhasil ya sebagai rakyat? Apa mereka merasa berhasil sebagai orang baik? Buat para mahasiswa yang ikut demo, apa udah merasa sukses sebagai mahasiswa? IMHO ni yeeee…. Seratus hari itu kan tiga bulan lebih dikit. Dan Indonesia itu isinya berpuluh ribu pulau lebih banyak, dengan ratusan juta penduduk. Dengan waktu seratus hari, menurut saya lebay aja kalau udah ketok palu bahwa pemerintahan SBY gagal. Terus kalau sudah gagal mau diapain? Disuruh turun, gantinya siapa? Ribet lagi kan? Milih presiden lagi. Milih mentri lagi. Nyusun program lagi. Bikin action plan lagi. Dddooooh… Terus yang sempet dikerjain 100 hari kemaren mau diapain?

Berdasarkan sisa-sisa ilmu saya jaman SMA dulu, yang saya tau dalam tata negara nih ya, negara itu kan isinya bukan cuma pemerintah. Kalau ada pemerintah, artinya ada yang diperintah kan? Mesti ada rakyat juga dong? Nah, kalo misalnya demo ini merepresentasikan evaluasi kinerja pemerintah oleh rakyat, to make it fair, siapa nih yang harusnya mengevaluasi gimana rakyat mendukung program kerja pemerintah? Pemerintah bikin program layanan kesehatan gratis, tapi ya susah kalo petugas Puskesmasnya *yang tentu saja, adalah bagian dari rakyat* datengnya males-malesan. Udah gitu melayani pake acara cemberut. Kalo lagi sial, pasien suka dimintai uang lelah pula. Nah, yang kayak gini salah SBY juga bukan? Atau udah dibikinin sekolah gratis nih, taapi kalo lalu pihak sekolah mungut uang seragam segala macem yang memang adalah murni “kreativitas” pihak sekolah, masih pemerintah yang disalahkan? Pemerintah udah bikin program-program lingkungan hidup, tapi yang tinggal di pinggir sungai masih aja menganggap buang sampah ke sungai itu lebih gampang, apa kita lalu seharusnya bersama-sama menghujat Kabinet? Pemerintah udah berusaha melayani pasien TBC nih, tapi masih banyak aja orang yang dengan santainya menghirup rokok dan menghembuskan asapnya di dalam kendaraan umum, sementara penumpang lain udah megap-megap kehabisan udara bebas *ini sekalian curhat colongan, secara kemaren seangkot dengan pria perokok :D*. Mahasiswa banyak yang demo menuntut fasilitas perkuliahan yang lebih baik, tapi sambil demo, fasilitas yang sudah ada malah dipukuli, dihancurkan. Ddddooooohhh….

Waktu Pemilu kemaren, yang memilih SBY lebih dari 50% kan, makanya bisa satu putaran saja? Nah, sekarang, mana dukungan dari yang sudah memilih SBY itu?

Saya pikir sih, sebagus apapun program pemerintah yang dimaksudkan untuk rakyat, kalau rakyatnya sendiri tidak mendukung pelaksanaan program itu, we’re going nowhere.

Dan pemerintah bukan cuma SBY-Boediono kan? Okelah, mereka Presiden dan Wakil Presiden. Tapi kan masih ada Mentri. Masih ada Direktur Jendral di dalam berbagai Departemen. Masih ada Gubernur, Bupati, Kepala Dinas, Kepala Seksi, Kepala Sekolah, Ketua RT, Ketua Kelas *oke, yang terakhir ini mungkin ga bisa dimasukin itungan*. Kalau mislanya ada yang bertingkah menyebalkan, lalu apa SBY-Boediono yang harus disalahkan?

Kita teriak-teriak bahwa pemerintah telah gagal mengentaskan kemiskinan (bener ga sih istilahnya?). Tapi kalo diinget-inget lagi, waktu kemaren ada tetangga yang mau pinjem duit 50rebu buat nebus obat kita bilang ga punya duit. Padahal satu jam yang lalu kita baru saja hang out di café yang baru dibuka, dan membayar 30 rebu hanya untuk secangkir kopi. Kita mengeluh bahwa gaji si Mbak di rumah yang 450 rebu sebulan itu terlalu tinggi, padahal tas Fendi keluaran terbaru yang kita beli minggu lalu harganya 12 kali lipatnya.

Okelah, seratus hari memang waktu yang bisa dijadikan masa untuk evaluasi. Tapi sepertinya jauh terlalu dini untuk mengatakan bahwa Pemerintah sudah GAGAL. Sementara kita sendiri belum pernah mengevaluasi diri kita apakah sudah sukses untuk menjadi seseorang. Apalagi mengevaluasi diri kita sebagai rakyat yang mendukung Pemerintah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar