Selasa, 16 April 2013

30 Day Challenge | Day 19


Day 19 - Name The Places that You Have Lived

Ahahahaha…. Jadi semacam bernostalgia gini ih temanya. Anyway, saya udah sempet tinggal di beberapa kota berbeda.

Banjarmasin


Kota tempat saya lahir. Tempat saya dibesarkan (berasa lirik lagu nasional gituuuu…hahahaha) sampe akhirnya lulus SMA. Banjarmasin ini… how should I describe it? 

Kota tua yang berusaha mengikuti zaman. And ended up dengan ribuan ruko disana-sini. Sering mati lampu. The public transport sucks.
Still, its my hometown. Kota dimana masih ada tukang jualan sayur yang bisa bergosip dengan para ibu-ibu. Masih ada tukang kredit keliling yang pembayarannya per hari. Yang dalam angkot tiba-tiba bisa ngobrol dengan sok akrabnya.It’s an old city anyway. An old city that will always be my hometown.

Not a perfect one, for sure. But it’s a place where I will always fond those familiar face with those familiar smiles, even from strangers on the street. Oh, and have I told you, bahwa yang namanya Soto Banjar itu adalah soto paling enak di antara berjenis-jenis soto se Nusantara?

Yogyakarta
 Lulus SMA, saya keterima PBUD di UGM. That’s one of my turning point in life: living in Yogyakarta. Satu yang paling saya suka dari Yogya: it’s a miniature of Indonesia. Begitu majemuk. Saya belajar banyak dari kota ini, terutama tentang perbedaan, tentang realitas hidup. Tentang persahabatan. Tentang gebetan.
Bagi saya, hidup selama di Yogya ini salah satu yang paling dominan dalam membentuk kepribadiannya saya.
Banyaaaak banget yang saya suka dari Yogya. Gampang nyari buku. Banyak acara musik. Banyak tontonan gratis. MURAH. Serius. Yogya itu, salah satu kota yang paling bersahabat dengan kantong.

Banjarbaru
Sempet tinggal disini, nge-kost, pas awal-awal nge-dosen. Secara rutenya waktu itu cuma Banjarmasin – kampus – kost – kampus –kost – Banjarmasin lagi, gak terlalu berasa aja tinggal disini. Ingetnya cuma seru-seruan bareng sama anak kost. Nyahahahaha….

Melbourne
Waktu S2 kemaren, I had this chance to live in this vibrant city. And I LOOOOVEEE this city. Great public transportation system. Dan seperti Jogja, I was amazed by how the city is so rich in cultural differences.


There’s something for everyone in the city. Di kota ini saya belajar banyak hal (di luar soal doing assignments for my study lho yaaa…). Dan salah satunya: respecting each other.

Oh, dan secara disini saya jadi Sekretaris MIIS, semacam organisasi untuk mahasiswa Indonesia di Monash, kampusnya saya, jadilah saya semakin banyak belajar tentang menghadapi berbagai macam orang yang berbeda-beda. Termasuk jadi ketua kelompengkargo alias pengiriman barang waktu kita pada balik ke Indonesia. Living in Jogja have  shaped my personality, I think that living in Mebourne added up some finishing touches on it =)

So, Day 19, FINISHED!

Rabu, 10 April 2013

Random Posts

Look. I am bored. So I just want to post about some random shallow thoughts of mine.

If you don’t find Adam Levine attractive, you’re doing it wrong.

He’s absolutely one of the hottest man alive on earth. Dan secara saya memang addicted to talent shows, him being one of the mentors for The Voice bener-bener perpaduan komplit. I squealed everytime he smiled or he laughed. And his banter with the other mentors is not helping me at all in this helpless obsession on him.

Taking on requests.
I’ve been writing football fics for about 4 months or so. And since about 3 weeks ago, saya memberanikan diri to take request. It’s a simple one, actually. Jadi bukan hanya menulis fic dengan tokoh salah seorang footballer, the footballer that I am writing about is not on my choice, but is based on people’s request. On one side, it’s a bit challenging. Apalagi kalo orang nge-requestnya adalah football player yang saya gak tau. Okay, one confession: I have no interest on Bundes Liga. At all. For one and some reasons, gak suka aja. Kekna Mesut Ozil dan Sami Kheidira doang pemain dari Jerman yang saya suka. And they’re not even playing in Bundes Liga. Jadi kebayang dong waktu ada yang request tentang pemain dari Liga Jerman yang saya ngucapin namanya aja susaaaah??? I find it easier to write on player from the club that I like. Karena chemistry-nya saya lebih dapet, dan saya seneng membuatnya agak-agak bernuansa domestic-fic gitu. But, despite the challenge, still, the positive feedbacks coming still give me those feelings :). The nice feeling of knowing that some people really do appreciate what I did. Say, like these kind of comments:

Still, I find this particular request is challenging. 

Saya sebenernya agak geli juga sih. The person insulted my club (which means, also an insult for ME). But on the other hand, she still respect my writings. Oh, and I managed to write a one-shot on Robin van Persie that the person asked me to.

Derby Manchester!

Pertandingannya disiarkan Selasa subuh. Dan dari Senin pagi, saya udah gak-karu-karuan rasanya. We were 15 points behind them. Pressures were mounting. And it’s an away game. To make things worse, Senin pagi itu saya bangun dalam keadaan sakit tenggorokan, dan hidung yang mulai tersumbat. And of course, as if it was not enough, sorenya, dokter gigi memutuskan bahwa solusi terbaik bagi gigi saya adalah dengan mencabutnya.
Selama si dokter gigi mengutak-atik gigi saya, saya cuma mikir: “Silva, Zabaleta, Kun, please don’t make this day be the worst day ever. Please win the game. Please please pretty please?”
And guess what?




WE WIN THE GAME! WE WIN THAT FREAKIN’ GAME OVER MANCHESTER UNITED!

Gigi oh gigi.
Saya udah pernah cerita kan betapa bencinya saya ke dokter gigi? Well, apa daya, saya harus ke dokter gigi lagi. Waktu kunjungan pertama, si dokter gigi mengambil kesimpulan bahwa ada dua opsi. Saraf gigi saya ada yang dimatikan, atau gigi saya dicabut sekalian. Pas kunjungan kedua, di awal dia bilang, “Oke. Kayaknya bisa kok cuma dirawat aja. Jadi giginya bisa kita pertahankan, gak usah dicabut. Eh, begitu saya duduk di kursi panas itu dan dia mulai bekerja, kok ya ujung-ujungnya dia menatap saya dengan prihatin sambil ngomong: “Bu, kayaknya sekarang pilihannya 50-50 ya. Giginya sebagian udah hancur. Kok kayaknya mending dicabut aja ya?”.
Saya baru tau kalo dokter gigi juga bisa PHP.
Kunjungan ketiga, si dokter gigi menyatakan: “Oke. Dicabut aja ya?”
SERAH DEH DOK. TERSERAH!

Saya mungkin satu-satunya pasien yang minta supaya bisa melewati proses eksekusi pencabutan itu sambil dengerin I-Pod. At least, suara bor yang intimidatif itu bisa sedikit teredam dengan suara musik. Akhirnya tercabutlah gigi sialan itu. Dan si gigi kekna belum rela untuk pergi, karena si dokter gigi harus membelah dirinya dulu untuk bisa dicabut dengan sukses. Saya sempat menghitung, ada 4 potongan gigi yang akhirnya tercabut.
Belum selesai di situ. Efek anestesi bikin saya selama berjam-jam gak bisa ngomong normal. Dan semalaman, karena perpaduan demam akibat flu, hidung tersumbat, gusi dan gigi yang berasa gak karu-karuan, plus rasa tegang karena derby Manchester, saya gak bisa tidur. Bolak-balik gak jelas selama 3 jam di tempat tidur itu bener-bener sangat tidak menyenangkan. Saya lho, saya! Yang biasanya menyentuh tempat rata aja udah bisa langsung pules.

Eyang Subur itu siapa sih?
Kayaknya sekarang gak gaul ya kalo gak tau sama Eyang Subur. Eh tapi saya masih gak ngerti aja kenapa sih dia sampe pengikutnya banyak gituuuu…. Haha. Penting abis.

Recent song on playlist
Secrets – One Republic
Suit and Tie – Justin Timberlake
Just Give Me  A Reason – Pink
Celebrate - Embrace
Gemilang – Andien
If I Lose Myself – One Republic
Weakness – The Wanted

Sabtu, 06 April 2013

30 Day Challenge | Day 18


Day 18 – Name the TV Shows that You Have Been Addicted to

Wah, gampang kalo ini mah. Nyahahahaha…

Saya gak begitu suka nonton TV. Secara TV di kamar gak disambungin ke TV kabel. Jadi bisanya cuma TV lokal. Dan TV lokal isinya apa sodara-sodara? Tentu saja…sinetron!
Beuh.
Apaan sih pada ribut soal konser Lady Gaga lah, santet di masukin hukum pidana lah, infotainment lah diharamkan. Sinetron noh, diurusin. Sinetron Indonesia, entah karena tuntutan pasar apa tuntutan production house atau mungkin tuntutan jaksa, gak pernah masuk akal. Jalan ceritanya yang ajaib, zoom-in zoom-out wajah pemain yang harus banget disertai dengan sound effect. Enggak aja deh pokoknya. Dan tentu saja, sinteron Indonesia jarang banget ada yang realistis. Take for example, kalo memang beneran ada orang kayak gitu, mbok ya si Madun yang hobi main bola itu sama temen-temennya dimasukin jadi Timnas Indonesia deh. Dijamin deh, Timans negara lain juga bakal keder mau melawan Madun and friends.

Tapi toh, saya tetep nonton TV kalau acaranya… reality shows!


X Factor, Indonesian Idol (dimana saya menemukan si pria-Tegal-penuh-pesona), Master  Chef, ya pokoknya yang begitu deh. Oh, dan tentu saja Idola Cilik! Nyahahaha… Eh, tapi yang Idola Cilik 2013 ini saya udah gak nonton, secara Om Duta udah gak jadi komentator lagiii… Tapi biasanya sih saya lebih suka yang reality show produk luar, atau yang diadaptasi dari reality show luar. Yang paling suka itu dulu Amazing Race, sama The Apprentice. Dulu saya inget, Amazing Race Season 1 pernah ditayangkan di salah satu TV loka, dan saya sama adek saya yang nontonnya semangat banget, secara kita mendukung pasangan pengacara yang gantengnya bikin istigfar itu. 
Dan The Apprentice! 

Mulai dari The Apprentice yang reguler (eh, istilahnya berasa gak enak sih…) sama yang The Apprentice Celebrity. Biasanya saya dan adek saya bakal terbengong-bengong liat betapa Ivanka Trump itu terlihat begitu flawless sampe bikin saya pengen operasi plastik aja biar kayak die -_-.
Ivanka Trump as one of the judges. She's just too gorgeous.
Trus American Next Top Model juga saya sukaaaa… Saya pernah lho sampe beli set DVD nya yang season kapan itu. Seneng aja. Apalagi kalo para kontestannya udah pada berantem. 
Mhuahahaha…. Seru tuh, seruuu… Daripada berantemnya sepak bola Indonesia, hayooo?

Reality show yang asli Indonesia kadang-kadang ada sih yang saya tonton. Tapi ya tetep aja ujunng-ujungnya ya-gitu-deh. Pernah nih ya saya bengong kuadrat liat acara pemilihan Little Miss Indonesia. Dan Chibi cari Twibi (ngakak jaya). Astaga. Astaga banget deh pokoknya.

Aaanywaaay… Ya itu tadi. Saya senengnya acara reality show slash talent sho macam gini. Yang dibela-belain ngikutin gitu. Lagian talent show semacam X Factor atau Idol bikin saya bisa dengan sok pedenya ngasih-ngasih komentar ke kontestan.
Recently, talent show yang saya ikutin: X Factor Indonesia. Dan mungkin karena reputasi saya sebagai tukang begadang dan a devoted fan of this show, tiap Sabtu kalo saya kerja, itu temen-temen di kampus suka nanya ke saya siapa yang ter-eliminasi, siapa aja yang masuk bottpm two, siapa nyanyi lagu apa.
Beuh.
Emang ya, saya ini adalah sumber berita terpercaya.

Sebenernya, ada lagi sih acara TV yang saya juga suka dibela-belain nonton.
Siaran olahraga. Sepak bola, atau bulu tangkis.

Eh, gak masuk definisi disini ya? Oh well. Anyway, challenge day 18: FINISHED :D

Senin, 01 April 2013

Momen "Indonesia" Saya

Minggu lalu, sebagai tante yang baik hati dan paling disayangi sama keponakan, saya nganterin Dian, ponakan saya itu untuk nonton. Filmnya judulnya Hasduk Berpola. Yang excited sih dia, secara dia adalah anggota regu Pramuka yang sangat mencintai acara-acara pramukanya itu. Sementara saya yang dari dulu emang gak suka dan gak bisa baris berbaris ini malah kepikirannya cuma ah-ntar-palingan-ketiduran. Eh, ternyata…filmnya baguuusss… Ahahahaha.. Pertama, tokoh utamanya bandel. Si Budi itu bukan tipe klise anak baik. Malah dia berantem mulu. Tapi tetap saja, saya nangis habis-habisan waktu dia naik ke gedung hotel Majapahit untuk mengibarkan bendera punya Mbah-nya. 
Dan salah satu dialog yang bikin saya tertampar, adalah waktu Mbah-nya Budi (yang diperankan oleh sang maestro biola Indonesia: Idris Sardi) mendengar berita tentang anggota dewan yang tidak hafal lagu Indonesia Raya.

"Ndak menghargai perjuangan, blas!” ujar beliau dengan nada kecewa.
Deg!
Berasa ditampar. 

Iya ih, saya mah gitu banget ya… Sekarang sih udah enak banget. Bangun gak usah mikir apakah bakal kejatuhan bom atau kena peluru tentara atau gimana. Saya sudah bener-bener tinggal menikmati apa yang dulu diperjuangkan para veteran itu dengan mengorbankan jiwa mereka.

I am one of those people, that becomes more and more sceptic everyday on how this country is being managed. Bahkan waktu Farhat Abbas mencalonkan diri jadi calon presiden, I was at the edge of thinking on changing my nationality. (somebody please please pleaaaseee tell me that him going for a candidate for president is nothing but a joke).

Iya. I complain about the government. I know that it’s not something easy to do, to govern this country. But at least would you please show us that you are seriouly trying your best to do it??
Ada saat-saat dimana saya merasa, it is hopeless to be a part of this country.

Tapi toh, banyak sekali momen-momen dimana saya ngerasa, ini Indonesia, dan saya bangga jadi orang Indonesia!

Salah satu momen “Indonesia” saya: kalau lihat para veteran perang.
Outside, mungkin kita cuma melihat mereka sebaga para aki yang sudah masuk kategori lansia. Tapi lihatlah mereka berpuluh-puluh tahun yang lalu. Waktu bagi mereka, merdeka bukan hanya sekedar pilihan, tapi suatu harga mati.

Kemerdekaan Indonesia itu diperjuangkan. Oleh mereka. Di atas darah mereka. Di atas air mata yang tumpah akibat kepergian mereka.
Saya bangga atas perjuangan mereka. Saya bangga, bahwa Indonesia punya pahlawan: mereka. Melihat mereka, selalu membuat saya sadar, masih ada alasan bagi saya untuk terus berusaha dan mencintai negeri mereka. Tidak membiarkan perjuangan mereka hanya sekedar cerita sejarah belaka, adalah salah satu alasan tersebut.

Momen “Indonesia” saya yang lain: olahraga.

One key point of it: Barcelona, 1992.

It was like, yeaaarrrsss ago. Tapi saya masih inget. Minggu siang. Abah dengan wajah tegang duduk di depan TV. Saya yang belum terlalu ngerti juga ikut-ikutan deg-degan, dan gak bisa mengalihkan pandangan. Ikut teriak setiap kali smes Susi Susanti masuk. Ikut mengerang kalau ada bola yang lepas. Dan akhirnya… Akhirnya…
We won it. Our very first gold medal, in the Olympic.

Melihat air mata Susi Susanti, kumandang Indonesia Raya, Merah-Putih yang berkibar. 
Nothing. Nothing beats the feeling.
Atlanta, 1996. Setelah perjuangan tiga set yang menegangkan

Ricky Subagja- Rexy Mainaky. Gold Medal for Indonesia in Atlanta, 1996

Saya cukup beruntung, karena pernah menyaksikan masa-masa dimana Indonesia adalah penguasa dunia bulutangkis. 
Rexy Mainaky sebagai pembawa bendera. He will always, always be my all-time favorite player.  I remember once, he won the title, dan dia lari keliling lapangan dengan berjubahkan bendera merah-putih.
Bahkan sampai sekarang, saya masih emosional aja, masih teriak-teriak aja kalo Indonesia tanding bulutangkis. 

Iya, saya gak ngikutin liga sepak bolanya Indonesia. Apa yang terjadi di PSSI terlalu memusingkan untuk dipahami. Tapi tetap saja, kalo Timnas Indonesia main, saya menyempatkan diri untuk menonton. Walaupun jujur ya, saya mulai agak jengah melihat rasio pemain naturalisasi. I mean, come on!!!
Wah, apalagi kalo yang dilawan Malaysia. Secara nih ya, when it comes to against that country, it’s no longer just a game of sport. It’s about pride. 

Bukan cuma pertandingannya sih. Kalau Indonesia tanding, saya seneng liat para suporter :D. Mau dukung siapapun juga, begitu Timnas main, kita semua sama: merah putih. And it gives me hope. Bahwa mau segimanapun negara kita, tetap ada satu dan beberapa hal lain yang bisa membuat kita merasa sama sebagai bangsa Indonesia.

I know. There are too many absurdity in this country. Tapi masih, selalu masih ada momen-momen dimana saya merasa, ini negara saya, ini bangsa saya: INDONESIA.
Taufik Hidayat. Yep, I cried to see this picture.

And for reasons that me myself cannot really explain, I still stubbornly love this country.

Selasa, 16 April 2013

30 Day Challenge | Day 19


Day 19 - Name The Places that You Have Lived

Ahahahaha…. Jadi semacam bernostalgia gini ih temanya. Anyway, saya udah sempet tinggal di beberapa kota berbeda.

Banjarmasin


Kota tempat saya lahir. Tempat saya dibesarkan (berasa lirik lagu nasional gituuuu…hahahaha) sampe akhirnya lulus SMA. Banjarmasin ini… how should I describe it? 

Kota tua yang berusaha mengikuti zaman. And ended up dengan ribuan ruko disana-sini. Sering mati lampu. The public transport sucks.
Still, its my hometown. Kota dimana masih ada tukang jualan sayur yang bisa bergosip dengan para ibu-ibu. Masih ada tukang kredit keliling yang pembayarannya per hari. Yang dalam angkot tiba-tiba bisa ngobrol dengan sok akrabnya.It’s an old city anyway. An old city that will always be my hometown.

Not a perfect one, for sure. But it’s a place where I will always fond those familiar face with those familiar smiles, even from strangers on the street. Oh, and have I told you, bahwa yang namanya Soto Banjar itu adalah soto paling enak di antara berjenis-jenis soto se Nusantara?

Yogyakarta
 Lulus SMA, saya keterima PBUD di UGM. That’s one of my turning point in life: living in Yogyakarta. Satu yang paling saya suka dari Yogya: it’s a miniature of Indonesia. Begitu majemuk. Saya belajar banyak dari kota ini, terutama tentang perbedaan, tentang realitas hidup. Tentang persahabatan. Tentang gebetan.
Bagi saya, hidup selama di Yogya ini salah satu yang paling dominan dalam membentuk kepribadiannya saya.
Banyaaaak banget yang saya suka dari Yogya. Gampang nyari buku. Banyak acara musik. Banyak tontonan gratis. MURAH. Serius. Yogya itu, salah satu kota yang paling bersahabat dengan kantong.

Banjarbaru
Sempet tinggal disini, nge-kost, pas awal-awal nge-dosen. Secara rutenya waktu itu cuma Banjarmasin – kampus – kost – kampus –kost – Banjarmasin lagi, gak terlalu berasa aja tinggal disini. Ingetnya cuma seru-seruan bareng sama anak kost. Nyahahahaha….

Melbourne
Waktu S2 kemaren, I had this chance to live in this vibrant city. And I LOOOOVEEE this city. Great public transportation system. Dan seperti Jogja, I was amazed by how the city is so rich in cultural differences.


There’s something for everyone in the city. Di kota ini saya belajar banyak hal (di luar soal doing assignments for my study lho yaaa…). Dan salah satunya: respecting each other.

Oh, dan secara disini saya jadi Sekretaris MIIS, semacam organisasi untuk mahasiswa Indonesia di Monash, kampusnya saya, jadilah saya semakin banyak belajar tentang menghadapi berbagai macam orang yang berbeda-beda. Termasuk jadi ketua kelompengkargo alias pengiriman barang waktu kita pada balik ke Indonesia. Living in Jogja have  shaped my personality, I think that living in Mebourne added up some finishing touches on it =)

So, Day 19, FINISHED!

Rabu, 10 April 2013

Random Posts

Look. I am bored. So I just want to post about some random shallow thoughts of mine.

If you don’t find Adam Levine attractive, you’re doing it wrong.

He’s absolutely one of the hottest man alive on earth. Dan secara saya memang addicted to talent shows, him being one of the mentors for The Voice bener-bener perpaduan komplit. I squealed everytime he smiled or he laughed. And his banter with the other mentors is not helping me at all in this helpless obsession on him.

Taking on requests.
I’ve been writing football fics for about 4 months or so. And since about 3 weeks ago, saya memberanikan diri to take request. It’s a simple one, actually. Jadi bukan hanya menulis fic dengan tokoh salah seorang footballer, the footballer that I am writing about is not on my choice, but is based on people’s request. On one side, it’s a bit challenging. Apalagi kalo orang nge-requestnya adalah football player yang saya gak tau. Okay, one confession: I have no interest on Bundes Liga. At all. For one and some reasons, gak suka aja. Kekna Mesut Ozil dan Sami Kheidira doang pemain dari Jerman yang saya suka. And they’re not even playing in Bundes Liga. Jadi kebayang dong waktu ada yang request tentang pemain dari Liga Jerman yang saya ngucapin namanya aja susaaaah??? I find it easier to write on player from the club that I like. Karena chemistry-nya saya lebih dapet, dan saya seneng membuatnya agak-agak bernuansa domestic-fic gitu. But, despite the challenge, still, the positive feedbacks coming still give me those feelings :). The nice feeling of knowing that some people really do appreciate what I did. Say, like these kind of comments:

Still, I find this particular request is challenging. 

Saya sebenernya agak geli juga sih. The person insulted my club (which means, also an insult for ME). But on the other hand, she still respect my writings. Oh, and I managed to write a one-shot on Robin van Persie that the person asked me to.

Derby Manchester!

Pertandingannya disiarkan Selasa subuh. Dan dari Senin pagi, saya udah gak-karu-karuan rasanya. We were 15 points behind them. Pressures were mounting. And it’s an away game. To make things worse, Senin pagi itu saya bangun dalam keadaan sakit tenggorokan, dan hidung yang mulai tersumbat. And of course, as if it was not enough, sorenya, dokter gigi memutuskan bahwa solusi terbaik bagi gigi saya adalah dengan mencabutnya.
Selama si dokter gigi mengutak-atik gigi saya, saya cuma mikir: “Silva, Zabaleta, Kun, please don’t make this day be the worst day ever. Please win the game. Please please pretty please?”
And guess what?




WE WIN THE GAME! WE WIN THAT FREAKIN’ GAME OVER MANCHESTER UNITED!

Gigi oh gigi.
Saya udah pernah cerita kan betapa bencinya saya ke dokter gigi? Well, apa daya, saya harus ke dokter gigi lagi. Waktu kunjungan pertama, si dokter gigi mengambil kesimpulan bahwa ada dua opsi. Saraf gigi saya ada yang dimatikan, atau gigi saya dicabut sekalian. Pas kunjungan kedua, di awal dia bilang, “Oke. Kayaknya bisa kok cuma dirawat aja. Jadi giginya bisa kita pertahankan, gak usah dicabut. Eh, begitu saya duduk di kursi panas itu dan dia mulai bekerja, kok ya ujung-ujungnya dia menatap saya dengan prihatin sambil ngomong: “Bu, kayaknya sekarang pilihannya 50-50 ya. Giginya sebagian udah hancur. Kok kayaknya mending dicabut aja ya?”.
Saya baru tau kalo dokter gigi juga bisa PHP.
Kunjungan ketiga, si dokter gigi menyatakan: “Oke. Dicabut aja ya?”
SERAH DEH DOK. TERSERAH!

Saya mungkin satu-satunya pasien yang minta supaya bisa melewati proses eksekusi pencabutan itu sambil dengerin I-Pod. At least, suara bor yang intimidatif itu bisa sedikit teredam dengan suara musik. Akhirnya tercabutlah gigi sialan itu. Dan si gigi kekna belum rela untuk pergi, karena si dokter gigi harus membelah dirinya dulu untuk bisa dicabut dengan sukses. Saya sempat menghitung, ada 4 potongan gigi yang akhirnya tercabut.
Belum selesai di situ. Efek anestesi bikin saya selama berjam-jam gak bisa ngomong normal. Dan semalaman, karena perpaduan demam akibat flu, hidung tersumbat, gusi dan gigi yang berasa gak karu-karuan, plus rasa tegang karena derby Manchester, saya gak bisa tidur. Bolak-balik gak jelas selama 3 jam di tempat tidur itu bener-bener sangat tidak menyenangkan. Saya lho, saya! Yang biasanya menyentuh tempat rata aja udah bisa langsung pules.

Eyang Subur itu siapa sih?
Kayaknya sekarang gak gaul ya kalo gak tau sama Eyang Subur. Eh tapi saya masih gak ngerti aja kenapa sih dia sampe pengikutnya banyak gituuuu…. Haha. Penting abis.

Recent song on playlist
Secrets – One Republic
Suit and Tie – Justin Timberlake
Just Give Me  A Reason – Pink
Celebrate - Embrace
Gemilang – Andien
If I Lose Myself – One Republic
Weakness – The Wanted

Sabtu, 06 April 2013

30 Day Challenge | Day 18


Day 18 – Name the TV Shows that You Have Been Addicted to

Wah, gampang kalo ini mah. Nyahahahaha…

Saya gak begitu suka nonton TV. Secara TV di kamar gak disambungin ke TV kabel. Jadi bisanya cuma TV lokal. Dan TV lokal isinya apa sodara-sodara? Tentu saja…sinetron!
Beuh.
Apaan sih pada ribut soal konser Lady Gaga lah, santet di masukin hukum pidana lah, infotainment lah diharamkan. Sinetron noh, diurusin. Sinetron Indonesia, entah karena tuntutan pasar apa tuntutan production house atau mungkin tuntutan jaksa, gak pernah masuk akal. Jalan ceritanya yang ajaib, zoom-in zoom-out wajah pemain yang harus banget disertai dengan sound effect. Enggak aja deh pokoknya. Dan tentu saja, sinteron Indonesia jarang banget ada yang realistis. Take for example, kalo memang beneran ada orang kayak gitu, mbok ya si Madun yang hobi main bola itu sama temen-temennya dimasukin jadi Timnas Indonesia deh. Dijamin deh, Timans negara lain juga bakal keder mau melawan Madun and friends.

Tapi toh, saya tetep nonton TV kalau acaranya… reality shows!


X Factor, Indonesian Idol (dimana saya menemukan si pria-Tegal-penuh-pesona), Master  Chef, ya pokoknya yang begitu deh. Oh, dan tentu saja Idola Cilik! Nyahahaha… Eh, tapi yang Idola Cilik 2013 ini saya udah gak nonton, secara Om Duta udah gak jadi komentator lagiii… Tapi biasanya sih saya lebih suka yang reality show produk luar, atau yang diadaptasi dari reality show luar. Yang paling suka itu dulu Amazing Race, sama The Apprentice. Dulu saya inget, Amazing Race Season 1 pernah ditayangkan di salah satu TV loka, dan saya sama adek saya yang nontonnya semangat banget, secara kita mendukung pasangan pengacara yang gantengnya bikin istigfar itu. 
Dan The Apprentice! 

Mulai dari The Apprentice yang reguler (eh, istilahnya berasa gak enak sih…) sama yang The Apprentice Celebrity. Biasanya saya dan adek saya bakal terbengong-bengong liat betapa Ivanka Trump itu terlihat begitu flawless sampe bikin saya pengen operasi plastik aja biar kayak die -_-.
Ivanka Trump as one of the judges. She's just too gorgeous.
Trus American Next Top Model juga saya sukaaaa… Saya pernah lho sampe beli set DVD nya yang season kapan itu. Seneng aja. Apalagi kalo para kontestannya udah pada berantem. 
Mhuahahaha…. Seru tuh, seruuu… Daripada berantemnya sepak bola Indonesia, hayooo?

Reality show yang asli Indonesia kadang-kadang ada sih yang saya tonton. Tapi ya tetep aja ujunng-ujungnya ya-gitu-deh. Pernah nih ya saya bengong kuadrat liat acara pemilihan Little Miss Indonesia. Dan Chibi cari Twibi (ngakak jaya). Astaga. Astaga banget deh pokoknya.

Aaanywaaay… Ya itu tadi. Saya senengnya acara reality show slash talent sho macam gini. Yang dibela-belain ngikutin gitu. Lagian talent show semacam X Factor atau Idol bikin saya bisa dengan sok pedenya ngasih-ngasih komentar ke kontestan.
Recently, talent show yang saya ikutin: X Factor Indonesia. Dan mungkin karena reputasi saya sebagai tukang begadang dan a devoted fan of this show, tiap Sabtu kalo saya kerja, itu temen-temen di kampus suka nanya ke saya siapa yang ter-eliminasi, siapa aja yang masuk bottpm two, siapa nyanyi lagu apa.
Beuh.
Emang ya, saya ini adalah sumber berita terpercaya.

Sebenernya, ada lagi sih acara TV yang saya juga suka dibela-belain nonton.
Siaran olahraga. Sepak bola, atau bulu tangkis.

Eh, gak masuk definisi disini ya? Oh well. Anyway, challenge day 18: FINISHED :D

Senin, 01 April 2013

Momen "Indonesia" Saya

Minggu lalu, sebagai tante yang baik hati dan paling disayangi sama keponakan, saya nganterin Dian, ponakan saya itu untuk nonton. Filmnya judulnya Hasduk Berpola. Yang excited sih dia, secara dia adalah anggota regu Pramuka yang sangat mencintai acara-acara pramukanya itu. Sementara saya yang dari dulu emang gak suka dan gak bisa baris berbaris ini malah kepikirannya cuma ah-ntar-palingan-ketiduran. Eh, ternyata…filmnya baguuusss… Ahahahaha.. Pertama, tokoh utamanya bandel. Si Budi itu bukan tipe klise anak baik. Malah dia berantem mulu. Tapi tetap saja, saya nangis habis-habisan waktu dia naik ke gedung hotel Majapahit untuk mengibarkan bendera punya Mbah-nya. 
Dan salah satu dialog yang bikin saya tertampar, adalah waktu Mbah-nya Budi (yang diperankan oleh sang maestro biola Indonesia: Idris Sardi) mendengar berita tentang anggota dewan yang tidak hafal lagu Indonesia Raya.

"Ndak menghargai perjuangan, blas!” ujar beliau dengan nada kecewa.
Deg!
Berasa ditampar. 

Iya ih, saya mah gitu banget ya… Sekarang sih udah enak banget. Bangun gak usah mikir apakah bakal kejatuhan bom atau kena peluru tentara atau gimana. Saya sudah bener-bener tinggal menikmati apa yang dulu diperjuangkan para veteran itu dengan mengorbankan jiwa mereka.

I am one of those people, that becomes more and more sceptic everyday on how this country is being managed. Bahkan waktu Farhat Abbas mencalonkan diri jadi calon presiden, I was at the edge of thinking on changing my nationality. (somebody please please pleaaaseee tell me that him going for a candidate for president is nothing but a joke).

Iya. I complain about the government. I know that it’s not something easy to do, to govern this country. But at least would you please show us that you are seriouly trying your best to do it??
Ada saat-saat dimana saya merasa, it is hopeless to be a part of this country.

Tapi toh, banyak sekali momen-momen dimana saya ngerasa, ini Indonesia, dan saya bangga jadi orang Indonesia!

Salah satu momen “Indonesia” saya: kalau lihat para veteran perang.
Outside, mungkin kita cuma melihat mereka sebaga para aki yang sudah masuk kategori lansia. Tapi lihatlah mereka berpuluh-puluh tahun yang lalu. Waktu bagi mereka, merdeka bukan hanya sekedar pilihan, tapi suatu harga mati.

Kemerdekaan Indonesia itu diperjuangkan. Oleh mereka. Di atas darah mereka. Di atas air mata yang tumpah akibat kepergian mereka.
Saya bangga atas perjuangan mereka. Saya bangga, bahwa Indonesia punya pahlawan: mereka. Melihat mereka, selalu membuat saya sadar, masih ada alasan bagi saya untuk terus berusaha dan mencintai negeri mereka. Tidak membiarkan perjuangan mereka hanya sekedar cerita sejarah belaka, adalah salah satu alasan tersebut.

Momen “Indonesia” saya yang lain: olahraga.

One key point of it: Barcelona, 1992.

It was like, yeaaarrrsss ago. Tapi saya masih inget. Minggu siang. Abah dengan wajah tegang duduk di depan TV. Saya yang belum terlalu ngerti juga ikut-ikutan deg-degan, dan gak bisa mengalihkan pandangan. Ikut teriak setiap kali smes Susi Susanti masuk. Ikut mengerang kalau ada bola yang lepas. Dan akhirnya… Akhirnya…
We won it. Our very first gold medal, in the Olympic.

Melihat air mata Susi Susanti, kumandang Indonesia Raya, Merah-Putih yang berkibar. 
Nothing. Nothing beats the feeling.
Atlanta, 1996. Setelah perjuangan tiga set yang menegangkan

Ricky Subagja- Rexy Mainaky. Gold Medal for Indonesia in Atlanta, 1996

Saya cukup beruntung, karena pernah menyaksikan masa-masa dimana Indonesia adalah penguasa dunia bulutangkis. 
Rexy Mainaky sebagai pembawa bendera. He will always, always be my all-time favorite player.  I remember once, he won the title, dan dia lari keliling lapangan dengan berjubahkan bendera merah-putih.
Bahkan sampai sekarang, saya masih emosional aja, masih teriak-teriak aja kalo Indonesia tanding bulutangkis. 

Iya, saya gak ngikutin liga sepak bolanya Indonesia. Apa yang terjadi di PSSI terlalu memusingkan untuk dipahami. Tapi tetap saja, kalo Timnas Indonesia main, saya menyempatkan diri untuk menonton. Walaupun jujur ya, saya mulai agak jengah melihat rasio pemain naturalisasi. I mean, come on!!!
Wah, apalagi kalo yang dilawan Malaysia. Secara nih ya, when it comes to against that country, it’s no longer just a game of sport. It’s about pride. 

Bukan cuma pertandingannya sih. Kalau Indonesia tanding, saya seneng liat para suporter :D. Mau dukung siapapun juga, begitu Timnas main, kita semua sama: merah putih. And it gives me hope. Bahwa mau segimanapun negara kita, tetap ada satu dan beberapa hal lain yang bisa membuat kita merasa sama sebagai bangsa Indonesia.

I know. There are too many absurdity in this country. Tapi masih, selalu masih ada momen-momen dimana saya merasa, ini negara saya, ini bangsa saya: INDONESIA.
Taufik Hidayat. Yep, I cried to see this picture.

And for reasons that me myself cannot really explain, I still stubbornly love this country.