Senin, 01 April 2013

Momen "Indonesia" Saya

Minggu lalu, sebagai tante yang baik hati dan paling disayangi sama keponakan, saya nganterin Dian, ponakan saya itu untuk nonton. Filmnya judulnya Hasduk Berpola. Yang excited sih dia, secara dia adalah anggota regu Pramuka yang sangat mencintai acara-acara pramukanya itu. Sementara saya yang dari dulu emang gak suka dan gak bisa baris berbaris ini malah kepikirannya cuma ah-ntar-palingan-ketiduran. Eh, ternyata…filmnya baguuusss… Ahahahaha.. Pertama, tokoh utamanya bandel. Si Budi itu bukan tipe klise anak baik. Malah dia berantem mulu. Tapi tetap saja, saya nangis habis-habisan waktu dia naik ke gedung hotel Majapahit untuk mengibarkan bendera punya Mbah-nya. 
Dan salah satu dialog yang bikin saya tertampar, adalah waktu Mbah-nya Budi (yang diperankan oleh sang maestro biola Indonesia: Idris Sardi) mendengar berita tentang anggota dewan yang tidak hafal lagu Indonesia Raya.

"Ndak menghargai perjuangan, blas!” ujar beliau dengan nada kecewa.
Deg!
Berasa ditampar. 

Iya ih, saya mah gitu banget ya… Sekarang sih udah enak banget. Bangun gak usah mikir apakah bakal kejatuhan bom atau kena peluru tentara atau gimana. Saya sudah bener-bener tinggal menikmati apa yang dulu diperjuangkan para veteran itu dengan mengorbankan jiwa mereka.

I am one of those people, that becomes more and more sceptic everyday on how this country is being managed. Bahkan waktu Farhat Abbas mencalonkan diri jadi calon presiden, I was at the edge of thinking on changing my nationality. (somebody please please pleaaaseee tell me that him going for a candidate for president is nothing but a joke).

Iya. I complain about the government. I know that it’s not something easy to do, to govern this country. But at least would you please show us that you are seriouly trying your best to do it??
Ada saat-saat dimana saya merasa, it is hopeless to be a part of this country.

Tapi toh, banyak sekali momen-momen dimana saya ngerasa, ini Indonesia, dan saya bangga jadi orang Indonesia!

Salah satu momen “Indonesia” saya: kalau lihat para veteran perang.
Outside, mungkin kita cuma melihat mereka sebaga para aki yang sudah masuk kategori lansia. Tapi lihatlah mereka berpuluh-puluh tahun yang lalu. Waktu bagi mereka, merdeka bukan hanya sekedar pilihan, tapi suatu harga mati.

Kemerdekaan Indonesia itu diperjuangkan. Oleh mereka. Di atas darah mereka. Di atas air mata yang tumpah akibat kepergian mereka.
Saya bangga atas perjuangan mereka. Saya bangga, bahwa Indonesia punya pahlawan: mereka. Melihat mereka, selalu membuat saya sadar, masih ada alasan bagi saya untuk terus berusaha dan mencintai negeri mereka. Tidak membiarkan perjuangan mereka hanya sekedar cerita sejarah belaka, adalah salah satu alasan tersebut.

Momen “Indonesia” saya yang lain: olahraga.

One key point of it: Barcelona, 1992.

It was like, yeaaarrrsss ago. Tapi saya masih inget. Minggu siang. Abah dengan wajah tegang duduk di depan TV. Saya yang belum terlalu ngerti juga ikut-ikutan deg-degan, dan gak bisa mengalihkan pandangan. Ikut teriak setiap kali smes Susi Susanti masuk. Ikut mengerang kalau ada bola yang lepas. Dan akhirnya… Akhirnya…
We won it. Our very first gold medal, in the Olympic.

Melihat air mata Susi Susanti, kumandang Indonesia Raya, Merah-Putih yang berkibar. 
Nothing. Nothing beats the feeling.
Atlanta, 1996. Setelah perjuangan tiga set yang menegangkan

Ricky Subagja- Rexy Mainaky. Gold Medal for Indonesia in Atlanta, 1996

Saya cukup beruntung, karena pernah menyaksikan masa-masa dimana Indonesia adalah penguasa dunia bulutangkis. 
Rexy Mainaky sebagai pembawa bendera. He will always, always be my all-time favorite player.  I remember once, he won the title, dan dia lari keliling lapangan dengan berjubahkan bendera merah-putih.
Bahkan sampai sekarang, saya masih emosional aja, masih teriak-teriak aja kalo Indonesia tanding bulutangkis. 

Iya, saya gak ngikutin liga sepak bolanya Indonesia. Apa yang terjadi di PSSI terlalu memusingkan untuk dipahami. Tapi tetap saja, kalo Timnas Indonesia main, saya menyempatkan diri untuk menonton. Walaupun jujur ya, saya mulai agak jengah melihat rasio pemain naturalisasi. I mean, come on!!!
Wah, apalagi kalo yang dilawan Malaysia. Secara nih ya, when it comes to against that country, it’s no longer just a game of sport. It’s about pride. 

Bukan cuma pertandingannya sih. Kalau Indonesia tanding, saya seneng liat para suporter :D. Mau dukung siapapun juga, begitu Timnas main, kita semua sama: merah putih. And it gives me hope. Bahwa mau segimanapun negara kita, tetap ada satu dan beberapa hal lain yang bisa membuat kita merasa sama sebagai bangsa Indonesia.

I know. There are too many absurdity in this country. Tapi masih, selalu masih ada momen-momen dimana saya merasa, ini negara saya, ini bangsa saya: INDONESIA.
Taufik Hidayat. Yep, I cried to see this picture.

And for reasons that me myself cannot really explain, I still stubbornly love this country.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Senin, 01 April 2013

Momen "Indonesia" Saya

Minggu lalu, sebagai tante yang baik hati dan paling disayangi sama keponakan, saya nganterin Dian, ponakan saya itu untuk nonton. Filmnya judulnya Hasduk Berpola. Yang excited sih dia, secara dia adalah anggota regu Pramuka yang sangat mencintai acara-acara pramukanya itu. Sementara saya yang dari dulu emang gak suka dan gak bisa baris berbaris ini malah kepikirannya cuma ah-ntar-palingan-ketiduran. Eh, ternyata…filmnya baguuusss… Ahahahaha.. Pertama, tokoh utamanya bandel. Si Budi itu bukan tipe klise anak baik. Malah dia berantem mulu. Tapi tetap saja, saya nangis habis-habisan waktu dia naik ke gedung hotel Majapahit untuk mengibarkan bendera punya Mbah-nya. 
Dan salah satu dialog yang bikin saya tertampar, adalah waktu Mbah-nya Budi (yang diperankan oleh sang maestro biola Indonesia: Idris Sardi) mendengar berita tentang anggota dewan yang tidak hafal lagu Indonesia Raya.

"Ndak menghargai perjuangan, blas!” ujar beliau dengan nada kecewa.
Deg!
Berasa ditampar. 

Iya ih, saya mah gitu banget ya… Sekarang sih udah enak banget. Bangun gak usah mikir apakah bakal kejatuhan bom atau kena peluru tentara atau gimana. Saya sudah bener-bener tinggal menikmati apa yang dulu diperjuangkan para veteran itu dengan mengorbankan jiwa mereka.

I am one of those people, that becomes more and more sceptic everyday on how this country is being managed. Bahkan waktu Farhat Abbas mencalonkan diri jadi calon presiden, I was at the edge of thinking on changing my nationality. (somebody please please pleaaaseee tell me that him going for a candidate for president is nothing but a joke).

Iya. I complain about the government. I know that it’s not something easy to do, to govern this country. But at least would you please show us that you are seriouly trying your best to do it??
Ada saat-saat dimana saya merasa, it is hopeless to be a part of this country.

Tapi toh, banyak sekali momen-momen dimana saya ngerasa, ini Indonesia, dan saya bangga jadi orang Indonesia!

Salah satu momen “Indonesia” saya: kalau lihat para veteran perang.
Outside, mungkin kita cuma melihat mereka sebaga para aki yang sudah masuk kategori lansia. Tapi lihatlah mereka berpuluh-puluh tahun yang lalu. Waktu bagi mereka, merdeka bukan hanya sekedar pilihan, tapi suatu harga mati.

Kemerdekaan Indonesia itu diperjuangkan. Oleh mereka. Di atas darah mereka. Di atas air mata yang tumpah akibat kepergian mereka.
Saya bangga atas perjuangan mereka. Saya bangga, bahwa Indonesia punya pahlawan: mereka. Melihat mereka, selalu membuat saya sadar, masih ada alasan bagi saya untuk terus berusaha dan mencintai negeri mereka. Tidak membiarkan perjuangan mereka hanya sekedar cerita sejarah belaka, adalah salah satu alasan tersebut.

Momen “Indonesia” saya yang lain: olahraga.

One key point of it: Barcelona, 1992.

It was like, yeaaarrrsss ago. Tapi saya masih inget. Minggu siang. Abah dengan wajah tegang duduk di depan TV. Saya yang belum terlalu ngerti juga ikut-ikutan deg-degan, dan gak bisa mengalihkan pandangan. Ikut teriak setiap kali smes Susi Susanti masuk. Ikut mengerang kalau ada bola yang lepas. Dan akhirnya… Akhirnya…
We won it. Our very first gold medal, in the Olympic.

Melihat air mata Susi Susanti, kumandang Indonesia Raya, Merah-Putih yang berkibar. 
Nothing. Nothing beats the feeling.
Atlanta, 1996. Setelah perjuangan tiga set yang menegangkan

Ricky Subagja- Rexy Mainaky. Gold Medal for Indonesia in Atlanta, 1996

Saya cukup beruntung, karena pernah menyaksikan masa-masa dimana Indonesia adalah penguasa dunia bulutangkis. 
Rexy Mainaky sebagai pembawa bendera. He will always, always be my all-time favorite player.  I remember once, he won the title, dan dia lari keliling lapangan dengan berjubahkan bendera merah-putih.
Bahkan sampai sekarang, saya masih emosional aja, masih teriak-teriak aja kalo Indonesia tanding bulutangkis. 

Iya, saya gak ngikutin liga sepak bolanya Indonesia. Apa yang terjadi di PSSI terlalu memusingkan untuk dipahami. Tapi tetap saja, kalo Timnas Indonesia main, saya menyempatkan diri untuk menonton. Walaupun jujur ya, saya mulai agak jengah melihat rasio pemain naturalisasi. I mean, come on!!!
Wah, apalagi kalo yang dilawan Malaysia. Secara nih ya, when it comes to against that country, it’s no longer just a game of sport. It’s about pride. 

Bukan cuma pertandingannya sih. Kalau Indonesia tanding, saya seneng liat para suporter :D. Mau dukung siapapun juga, begitu Timnas main, kita semua sama: merah putih. And it gives me hope. Bahwa mau segimanapun negara kita, tetap ada satu dan beberapa hal lain yang bisa membuat kita merasa sama sebagai bangsa Indonesia.

I know. There are too many absurdity in this country. Tapi masih, selalu masih ada momen-momen dimana saya merasa, ini negara saya, ini bangsa saya: INDONESIA.
Taufik Hidayat. Yep, I cried to see this picture.

And for reasons that me myself cannot really explain, I still stubbornly love this country.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar