Jumat, 19 Februari 2010

Menyentuh Hati Para Perokok

Banyak misteri dunia yang sulit terpecahkan, dimana bagi saya, salah satunya adalah kenapa rokok, dengan segala atribut negative yang ada padanya, masih saja dicandui banyak orang. Dan statusnya masih aja legal.
Oke, masalah legal ga legal ini, mungkin masih rada rancu ya, karena sebetulnya kalo ga salah sudah ada Perda mengenai larangan merokok di tempat umum di beberapa daerah. Tapi bagi saya pemerintah sendiri sifatnya masih mendua dalam hal larang melarang rokok ini. Mau dibilang merestui dengan sepenuh hati, ya buktinya ada Perda itu. Mau dibilang melarang juga, kalau saya bilang sih pendekatannya belum pas aja.

Kalau dilihat-lihat lagi, kenapa masih banyak orang yang merokok, mungkin salah satu alasan para perokok itu adalah karena merokok juga merupakan hak mereka. Walaupun sebetulnya adalah hak lebih banyak orang lagi untuk bisa menikmati udara segar tanpa asap rokok. Apalagi sebagian besar orang berat banget untuk dengan gagah berani menanggalkan status perokok karena sudah bermesraan dengan rokok untuk jangka waktu yang duhai sebegitu lamanya. In a simpler word, it’s a matter of habit. Susah deh kalo udah berurusan dengan masalah kebiasaan. Untuk bisa membuat orang mengubah kebiasaan, sebenernya udah masuk ke urusan hati, sampai mana seseorang sebegitu tergugahnya untuk bisa mengubah kebiasaannya. Hanya sekedar melarang orang merokok sepertinya masih tidak menjanjikan untuk mengurangi jumlah perokok secara signifikan. Himbauan dengan bahasa yang tepat sepertinya akan jauh lebih mengena. Dan itu yang belum dilakukan pemerintah kita.

Coba deh, siapa sih yang sempat membaca tulisan himbauan pemerintah mengenai bahaya merokok yang muncul selama 2/3 detik setelah iklan rokok ditayangkan di TV? Ada ga sih orang yang tertarik membaca tulisan kecil-kecil ala kadarnya di bungkus rokok? Himbauan pemerintah yang terkesan “asal ada” itu jelas banget kebanting sama iklan rokok. Iklan rokok, walaupun tidak pernah menampilkan rokok sedikit pun, menanamkan kesan yang kuat. Entah menjual imej status, mengusung tema humor yang melekat di hati, sampai tag line yang menarik hati. Pernah ga sih liat iklan himbauan pemerintah yang bisa menyentuh hati? Atau setidaknya membuat kita betul-betul menaruh perhatian pada iklan itu? Kalau pernah, tolong beri tahu saya, for I’ve never seen one.

Saya pernah berkesempatan ke luar negeri beberapa waktu yang lalu, dan ada satu iklan TV yang sampai sekarang masih sangat terekam di benak saya. Iklan itu dimulai dengan menampilkan seorang anak kecil berusia sekitar 3-4 tahun yang awalnya sedang berjalan bergandengan tangan dengan orang tuanya di tengah keramaian. Entah kenapa, anak itu terlepas dari orang tuanya, dan berdiri sendirian, di antara orang-orang yang berseliweran. Wajah sang anak ditampilkan untuk menunjukkan perubahan ekspresinya, mulai dari kaget, kebingungan karena tiba-tiba sendirian, sampai akhirnya dia mulai menangis tersedu-sedu. Sementara si anak menangis, kamera di zoom out, menunjukkan betapa anak itu sendirian di tengah orang banyak. Layar kemudian berganti warna menjadi warna hitam dengan tulisan ini *kalau tidak salah ingat ya*: “That’s how your child feels when he lost you for five minutes”, disusul tulisan “Imagine how he would feel if he lost you forever”. Baru muncul himbauan : “Smoking kills”.
Buat saya, iklan itu ngena banget. Kalau cuma diingatkan soal bahaya merokok pada diri sendiri, mungkin para perokok bisa ngeyel dengan berkata bahwa mereka siap kok menangggung sendiri resikonya. Tapi kalau dihadapkan pada fakta bahwa orang-orang yang mereka cintai juga harus menanggung resiko, I’m sure that smokers would have a second thought.

Sebenernya sih bukan hanya tanggung jawab pemerintah untuk bisa membuat iklan himbauan yang bisa menyentuh semacam ini. Sudah banyak kan LSM yang juga concern dengan masalah rokok? Dan saya yakin, banyak anak muda Indonesia yang kreatif, bisa meramu dan mengembangkan konsep iklan yang membuat para perokok kembali mempertimbangkan pilihan hidup mereka sebagai perokok. Lha, wong iklan-iklan yang bertebaran di TV Indonesia banyak yang keren-keren kok. JAdi wahai para pembuat iklan, mari menyentuh hati para perokok!

Kamis, 18 Februari 2010

Mencari Hantu di Film Horor Indonesia

Kayaknya ada sentimen tak terbantahkan antara MUI dengan film horornya Indonesia. Setelah film Suster Keramas *yang trailernya aja bikin saya pengen nyembur menyan karena yakin produsernya lagi kerasukan waktu bikin film itu*, sekarang film Hantu Puncak Datang Bulan lagi yang diboikot MUI. Saya sempet kebaca di koran, katanya LSF udah bener-bener galak waktu membabat film itu. Yeee, cuma galak doang. Sekalian aja dong ga usah dilolosin.

Film horor Indonesia itu misterius. Karena tidak pernah jelas alasan kenapa ada yang mau membuat film dengan isi cerita yang sepertinya dicomot dari tabloid misteri atau semacamnya. Kenapa ada artis yang mau main di film semacam itu juga adalah rahasia dunia yang tidak memiliki jawaban pasti. And on top of that, beberapa dari film itu ada yang mampu mencapai jumlah penonton yang relatif spektakuler. Geez… Artinya misteri terbesarnya adalah, kok banyak yang mau nonton??

Film horor kayak gini, yang paling menyeramkan malah sebenernya bukan hantu yang muncul dan bertebaran di film itu. Bagi saya, yang lebih menyeramkan adalah kualitas dari film itu sendiri. Ga usah jauh-jauh deh… apa sih yang bisa diharapkan dari film dengan judul “Hantu Puncak Datang Bulan”? Atau “Hantu Jamu Gendong”? Bahkan pemilihan judulnya saja sudah menimbulkan kengerian.

Alur cerita? Ga usah dibahas. Karena ga bisa dibahas. Memangnya ada alur ceritanya?

Di dunia perfilman Indonesia, seringkali film horor cuma merupakan metafor dari film panas. Karena para pemainnya, terutama para wanita, sepertinya selalu merasa kepanasan sampai harus selalu menggunakan busana yang jauh lebih cocok dipakai saat berlibur di pantai. Dan busana semacam inilah yang mereka pakai dalam adegan-adegan menyelidiki kuburan tua atau rumah berhantu di malam hari.

Kalau ditinjau dari genrenya nih, horor nih ya… seharusnya kan yang namanya film horor itu menimbulkan ketakutan bagi yang menonton. The weird thing is, walaupun frekuensi penampakan para hantu di film horor Indonesia seringnya berlipat-lipat kali dibandingkan frekuensi kemunculan hantu di film hantu Jepang, ketakutan yang diharapkan muncul itu ya ga nongol. Padahal lho, make up para hantunya udah lebay jaya. Tapi bukannya takut, kemunculan para hantu itu justru membuat penonton *well, at least penonton semacam saya* cuma mengernyitkan alis dan ingin menawarkan kain pel untuk membersihkan ceceran darah yang lebih mirip saos untuk makan bakso itu.

Ketakutan itu tidak muncul, karena suasana yang membuat takut itu tidak terbangun. Semenjak awal cerita, seringkali penonton sudah disuguhi dengan para tokoh yang tidak jelas karakternya, dan tiba-tiba saja para tokoh tersebut sudah terjebak dalam situasi yang tidak logis. Saat penonton sedang jungkir balik berusaha memahami siapa saja para tokoh yang ada, apa hubungan mereka satu sama lain, dan kenapa mereka tiba-tiba saja bisa terjebak di sebuah rumah tua, tau-tau para hantu udah berseliweran. Bukannya takut, penonton malah bingung, kok tiba-tiba hantunya udah pada nongol aja sih?

Padahal kalau mau dibandingkan lho ya, film horor Jepang misalnya, frekuensi kemunculannya paling ½ - 1/3 dari frekuensi munculnya suster ngesot/keramas dan kawan-kawan. Tapi karena unsur ketakutan itu sudah disusun dengan rapi sejak awal, maka efeknya pun jauh lebih dahsyat daripada efek yang mungkin timbul dari sesosok manusia bergaun putih berambut tergerai tidak jelas bersimbah cat merah yang mengesot-ngesot…

Saya tidak pernah bisa menonton film horor Indonesia sampai tamat. Karena sekuat apapun tekad saya untuk meneguhkan diri menonton film itu, biasanya langsung pupus dalam setengah jam pertama begitu melihat bahwa alur film itu sama logisnya dengan keberadaan Bikini Bottom di dasar Samudra Indonesia.

Bagi saya, yang mengerikan dari film horor Indonesia bukanlah hantu yang ditampilkan di film itu. Bayangan akan jadi apa dunia perfilman Indonesia kalau terus memproduksi film horor semacam ini menjadi hantu yang jauh lebih mengerikan daripada nama-nama hantu yang dijadikan judul film-film horor itu.

Minggu, 14 Februari 2010

30 - 1

Setahun lebih dekat ke ujung umur.

Let’s see…

I haven’t traveled around the world yet, but that tiny part of the world that I have seen was truly memorable for me, for I went there with wonderful people…
Beberapa temen bekerja dengan penghasilan berlipat-lipat di atasku, sementara aku masih gitu-gitu aja dan seadanya. Bu, then again, it’s the job that I have passion about… Ini adalah pekerjaan yang aku cita-citakan semenjak aku bisa menulis kata “cita-cita”.

I haven’t met the other half of my soul. But half of it that I have right now, it’s already full with songs and colours about how beautiful life is, how brilliant the world is… So I’ll just keep on looking for that half part, while keep on singing about how I love my life and the people around me…

Some say that my life is not yet complete for still being alone against the world.
But still, I know that everytime I feel too tired to face this world, I know that I can always turn to people who care about me…
God hasn’t lead me to that knight in shining armour. But yet, He has blessed me with the most wonderful family and lovely friends…

So I won’t complain
I won’t hesitate…
Instead, I would smile and look up to the sky and have a little talk to God: “Thanks. I know You’re up there smiling back at me.”

Mari menyanyikan lagunya D’Massive: “Syukuri apa yang ada… Hidup adalah anugerah… Tetap jalani hidup ini… Melakukan yang terbaik…

Banjarmasin, when I am one year away from being 30 ^_^

Sinetron vs Reality Show: No Winner

Saya sempet bersyukur waktu reality show mulai muncul. Karena artinya isi TV bisa sedikit bervariasi selain sinetron. Tapi semakin kesini, kok ya malah para reality show yang bertebaran di Indonesia semakin menyaingi ke-unreal-an sinetron ya?

Mari meninjau kedua jenis penghuni TV ini satu persatu.

Sinetron Indonesia. What should I say about it? Oh, and please, sense my tone. Yang pasti, saya selalu mengantuk sekitar jam 7-11 malam, karena isi TV cuma sinetron *dengan TVOne dan Metro TV sebagai perkecualian, tentunya*. Kayaknya saya mending nonton iklan deh disbanding nonton sinetron. Soal jalan cerita, mau dibikin semelingkar dan sespiral apapun, teteup mah rumus utamanya sama. Ada tokoh yang baik sekali, ada tokoh yang jahatnya kebangetan. Si tokoh baik selalu sial, dan herannya, mau aja ditindas. Duh, itu mah bukan pasrah, tapi bego *mind the language, please, I just can’t help it*. Para tokoh baik ini punya kecenderungan selalu menitikkan air mata, dan terlalu sebegitu polosnya sampai tidak pernah curiga kalo ada tokoh jahat yang tersenyum MENCURIGAKAN. Bagi mereka, ga ada tuh yang namanya belajar dari pengalaman. Ga ada yang namanya waspada. Para tokoh baik ini ga pernah mau paham bahwa dunia itu kejam, dan berisikan tipe kedua tokoh utama dalam sinetron: para tokoh jahat. Nah, para tokoh jahat ini, kalo marah selalu melotot. Kalo tersenyum licik, selalu tersenyum sambil menaik-naikkan salah satu ujung bibir sambil melirik-lirik dan menaik-naikkan alis. Akhir-akhir ini, saking kuatnya stereotype para tokoh baik itu di benak saya, kalo liat artis-artis yang spesialisasinya jadi tokoh baik, saya bawaannya pengen nendang dia. Dan saya udah kebayang ekspresi mereka. Menatap saya dengan mata membesar, mulut sedikit menganga, sedikit menggeleng-gelengkan kepala, dan sama sekali tidak terpikir untuk membalas. Geez… Sabar kali pun orang-orang “baik” ini ya…
Soal make-up mah, udah ga usah dibahas kali ya. Bahwa bahkan di rumah pun, kalo pipi mereka dicolek pake ujung telunjuk, bakal ada selapis tebel bedak yang rontok. Dan entah kenapa, para wanitanya males banget mengikat rambut. Lagi memasak sekalipun, tetep aja rambutnya mesti digerai-geraikan ga penting.

Tapi ya mau gimana lagi? Para penonton setia sinetron sepertinya sudah punya keinginan tak terbantahkan. And, well, you know the rules. Para penonton inilah pelanggan para Production House, dan biar gimana, yang namanya pelanggan adalah raja. Saya kadang-kadang suka ketawa sendiri kalo baca surat pembaca di tabloid, yang intinya protes dengan ending sebuah sinetron.

Reality Show? Duh. Ini lagi satu. They’re just SO unreal. Ada yang 3 tahun ga ketemu orang yang dia cari, hanya dalam waktu 3 hari bersama tim reality show tiba-tiba udah ketemu. Dan mesti sangat dramatis. Misalnya Si A, kekasih si B yang sudah 3 tahun ga kedengeran kabarnya, ternyata adalah adik si B sendiri. Dan ekspresi para “artis”, entah posisi mereka sebagai klien, target, ataupun informan, sama naturalnya dengan kuda yang menari cha-cha. Semua kejadian yang fenomenal, pasti terjadi saat klien sedang bersama tim. Duh. Acara-acara perjodohan model reality show yang sekarang lagi ngetop pun berasa ajaib. Oh, well, at least untuk salah satu acaa perjodohan itu, Choky Sitohang masih enak diliat =D.
To make it fair, beberapa reality show dimaksudkan untuk tujuan yang baik. Say, acara-acara semacam Rumah Hadiah, Bedah Rumah, Selebritis Berbagi… Terlepas dari bagaimana eksekusinya di lapangan, paling tidak ada dua hal yang menurut saya relatif dari acara semacam ini. Satu, ada nuansa sosial disana. Dua, para seleb yang terlibat di acara itu paling tidak jadi pernah punya pengalaman untuk melihat, bahwa dunia tidak hanya sekedar dunia bernuansa hedonisme yang lekat dengan kehidupan artis.

Jujur saja, ada beberapa reality show yang saya suka benget: The Apprentice, Amazing Race, The Scholar, bahkan Beauty and the Geek pun pernah menjadi guilty pleasurenya saya. Oh,okay, and America’s Next Top Model is also on the list. Tapi entah kenapa, reality show semacam ini kalo dijadiin versi Indonesia, jatuhnya malah berasa aneh aja. Kalo ga salah, The Apprentice dan The Scholar pernah dibikin versi Indonesianya, dan hasilnya terasa janggal di mata dan di hati. Amazing Race, yang versi Asia, berasa banget ketunggangan iklan… Yah, agak susah sih memang kalo mau mengadaptasi sesuatu yang sudah sukses ya?

Eh, tapi kalo boleh jujur, ada satu acara semacam reality show yang saya suka dan tidak mau ketinggalan: Idola Cilik! Heuheueheueheu… Sebenernya lebih karena saya dari dulu suka sama Duta SO7 kali ya, dan karena sekarang Sheila On 7 udah jarang muncul di TV, jadilah menonton Om Duta sebagai komentator bisa memuaskan kerinduan saya pada pria beranak dua yang saya anggap sebagai cowok paling cakep se Indonesia raya… Selain itu, terlepas dari anggapan bahwa acara itu adalah eksploitasi anak *doh, susah juga kalo sedikit-sedikit acara anak langsung dituduh mengeksploitasi anak*, seneng aja ngeliat bahwa Indonesia masih memiliki anak-anak berbakat.

But, oh well, kembali ke topik bahasan utama… Kalo soal disuruh memilih nonton sinetron atau reality show, mendingan juga saya nonton DVD…

Jumat, 05 Februari 2010

Akhirnya Kecopetan Juga…

Saya sebelum beberapa hari yang lalu hitungannya masih lumayan beruntung dari usaha-usaha pencopetan. Waktu di Jogja padahal tas saya udah bolong karena disilet, tapi dompet saya masih aman. Di Banjar sini pun pernah juga tas saya disilet orang juga, tapi ya Alhamdulillah isi dompet saya masih jadi rejeki saya, bukan rejeki si tukang copet. Bahkan saya pernah bermasalah dengan rombongan tukang tipu dalam angkot (yang saya anggap berada dalam kasta yang sama dengan kaum copet), bukan karena saya jadi korban, tapi karena saya berusaha memperingati korban, dan ujung-ujungnya saya malah berantem dengan rombongan tukang tipu itu.

Tapi ya, sepandai-pandainya tupai meloncat, akhirnya pasti pernah jatuh. Dan walopun saya ga ada mirip-miripnya dengan tupai *so why oh why I mention something about it?*, keberuntungan saya akhirnya berhenti sebentar.

Beberapa hari yang lalu, saya kecopetan. Beuh, ngetiknya aja udah berasa pait. Jadi begini sodara-sodara, mari menyimak pemaparan saya berikut ini, supaya ini tidak terjadi pada anda.

Just an ordinary day with of course, the usual routine, termasuk rute angkot biasa yang saya lalui. Waktu di dalam angkot menuju Pal 6, seorang lelaki berusia 30-35 tahun yang duduk di depan saya tiba-tiba berlagak mabuk darat. Sampe yang kayak mau muntah gitu. Yikes. Nah, orang yang tadinya duduk di sebelah dia langsung loncat menghindar dari dia, nemplok di sebelah saya. Nah, sebenernya waktu itu dia udah mepet banget ke saya. Seharusnya sih waktu itu saya udah curiga ya, ngapain coba mepet-mepet gitu. Tapi ya mau curiga gimanaaa? Secara saya juga agak-agak menghindar gitu dari si Bapak yang *berlagak* mau muntah itu. Toh itu reaksi yang wajar kan? Nah, kesalahan saya yang kedua selain tidak menyempatkan untuk curiga, saya membuka tas saya untuk mengambil plastik yang sekarang saya bawa kemana-mana *baidewei, saya sekarang punya kebiasaan bawa plastik sendiri, jadi kalo belanja ga usah minta plastik lagi, lumayan untuk mengurangi sampah plastik kan :D*. Saya kasihkanlah plastik itu ke si Bapak. Setelah berakting muntah-muntah, si Bapak pun berakting turun dari angkot. Eh, kalo part ini mah ga usah pake acting segala yak? Anyway, sekitar 200 meter kemudian, si Mas-mas yang duduknya di sebelah saya lalu ikut turun juga. Nah, beberapa detik kemudian, saya lalu mau menyiapkan ongkos. Pas saya buka tas, terpanalah saya. Isi tas saya sudah berkurang satu item, yaitu dompet saya! Euh, sebenernya, itu dompet pinjeman pula. Dompet itu sebenernya dompet Mama yang lagi saya pinjem untuk jangka waktu tak berbatas. *Eh, tapi isi dompetnya punya saya sendiri lhooo*. Menyadari bahwa dompet saya udah berpindah lokasi dari yang seharusnya, paniklah saya menyetopkan si angkot. Untungnya si sopir angkot mau ngerti kalo saya ga bisa bayar ongkos. Dalam keadaan panik dan tidak ber-uang sedikit pun, Alhamdulillah… ada mobil Polantas yang lewat. Setelah mengadukan nasib saya, kedua bapak polisi itupun berbaik hati mengantarkan saya ke kantor Polsek Banjar Timur.

Hiks.

Sebenernya yang bikin mangkel adalah, saya udah pernah baca modus semacam ini kooook… Tapi kok ya saya masih bisa tertipu.

Kalau soal isi dompet, mungkin tidak terlalu seberapa. Alhamdulillah banget, waktu dalam angkot itu saya baru saja menyetorkan uang ke rekening saya, jadi yang tersisa dalam dompet memang tinggal ongkos hidup selama seminggu, bukan gaji saya selama sebulan. Selain itu, KTP saya memang akan habis sekitar 2 minggu lagi, jadi mau ilang ga ilang, saya memang sudah waktunya bikin KTP baru. ATM juga, sudah langsung diblokir.

Setelah rasa kagetnya mulai ilang, saya baru bisa mikir lagi. Syukurlah sayanya ga kenapa-kenapa. Soal uang, toh saya masih punya pekerjaan tetap. Masih ada yang bisa saya harapkan setiap tanggal 1:D. Lagian, saya yakin kok, selama kita berusaha secara halal, Alloh akan membukakan pintu rizkinya untuk kita.

Saya kasian dengan keluarga si pencopet itu. Yang *terpaksa* dinafkahi dengan uang yang diperoleh dari cara yang tidak halal. Kalo kata orang Banjar mah, uang itu ga ada berkahnya. Duh…

Soal yang sudah hilang, ya sudahlah, mau diapain lagi. Saya lagi disentil Tuhan kok, supaya lebih hati-hati lagi. Lagi dididik supaya lebih sabar. Semoga saja para pencopet itu segera nyadar, uang yang mereka peroleh dengan cara semacam itu ga bakal bikin mereka sejahtera aman damai sentausa. Semoga saja hal yang semacam ini ga terjadi pada orang lain. Bagi saya jumlah uang yang hilang itu tidak seberapa. Tapi mungkin bagi orang lain, uang sejumlah itu bener-bener berarti buat mereka. Duh, Ya Alloh, lindungi mereka supaya tidak mesti mengalami kejadian semacam ini…

Jumat, 19 Februari 2010

Menyentuh Hati Para Perokok

Banyak misteri dunia yang sulit terpecahkan, dimana bagi saya, salah satunya adalah kenapa rokok, dengan segala atribut negative yang ada padanya, masih saja dicandui banyak orang. Dan statusnya masih aja legal.
Oke, masalah legal ga legal ini, mungkin masih rada rancu ya, karena sebetulnya kalo ga salah sudah ada Perda mengenai larangan merokok di tempat umum di beberapa daerah. Tapi bagi saya pemerintah sendiri sifatnya masih mendua dalam hal larang melarang rokok ini. Mau dibilang merestui dengan sepenuh hati, ya buktinya ada Perda itu. Mau dibilang melarang juga, kalau saya bilang sih pendekatannya belum pas aja.

Kalau dilihat-lihat lagi, kenapa masih banyak orang yang merokok, mungkin salah satu alasan para perokok itu adalah karena merokok juga merupakan hak mereka. Walaupun sebetulnya adalah hak lebih banyak orang lagi untuk bisa menikmati udara segar tanpa asap rokok. Apalagi sebagian besar orang berat banget untuk dengan gagah berani menanggalkan status perokok karena sudah bermesraan dengan rokok untuk jangka waktu yang duhai sebegitu lamanya. In a simpler word, it’s a matter of habit. Susah deh kalo udah berurusan dengan masalah kebiasaan. Untuk bisa membuat orang mengubah kebiasaan, sebenernya udah masuk ke urusan hati, sampai mana seseorang sebegitu tergugahnya untuk bisa mengubah kebiasaannya. Hanya sekedar melarang orang merokok sepertinya masih tidak menjanjikan untuk mengurangi jumlah perokok secara signifikan. Himbauan dengan bahasa yang tepat sepertinya akan jauh lebih mengena. Dan itu yang belum dilakukan pemerintah kita.

Coba deh, siapa sih yang sempat membaca tulisan himbauan pemerintah mengenai bahaya merokok yang muncul selama 2/3 detik setelah iklan rokok ditayangkan di TV? Ada ga sih orang yang tertarik membaca tulisan kecil-kecil ala kadarnya di bungkus rokok? Himbauan pemerintah yang terkesan “asal ada” itu jelas banget kebanting sama iklan rokok. Iklan rokok, walaupun tidak pernah menampilkan rokok sedikit pun, menanamkan kesan yang kuat. Entah menjual imej status, mengusung tema humor yang melekat di hati, sampai tag line yang menarik hati. Pernah ga sih liat iklan himbauan pemerintah yang bisa menyentuh hati? Atau setidaknya membuat kita betul-betul menaruh perhatian pada iklan itu? Kalau pernah, tolong beri tahu saya, for I’ve never seen one.

Saya pernah berkesempatan ke luar negeri beberapa waktu yang lalu, dan ada satu iklan TV yang sampai sekarang masih sangat terekam di benak saya. Iklan itu dimulai dengan menampilkan seorang anak kecil berusia sekitar 3-4 tahun yang awalnya sedang berjalan bergandengan tangan dengan orang tuanya di tengah keramaian. Entah kenapa, anak itu terlepas dari orang tuanya, dan berdiri sendirian, di antara orang-orang yang berseliweran. Wajah sang anak ditampilkan untuk menunjukkan perubahan ekspresinya, mulai dari kaget, kebingungan karena tiba-tiba sendirian, sampai akhirnya dia mulai menangis tersedu-sedu. Sementara si anak menangis, kamera di zoom out, menunjukkan betapa anak itu sendirian di tengah orang banyak. Layar kemudian berganti warna menjadi warna hitam dengan tulisan ini *kalau tidak salah ingat ya*: “That’s how your child feels when he lost you for five minutes”, disusul tulisan “Imagine how he would feel if he lost you forever”. Baru muncul himbauan : “Smoking kills”.
Buat saya, iklan itu ngena banget. Kalau cuma diingatkan soal bahaya merokok pada diri sendiri, mungkin para perokok bisa ngeyel dengan berkata bahwa mereka siap kok menangggung sendiri resikonya. Tapi kalau dihadapkan pada fakta bahwa orang-orang yang mereka cintai juga harus menanggung resiko, I’m sure that smokers would have a second thought.

Sebenernya sih bukan hanya tanggung jawab pemerintah untuk bisa membuat iklan himbauan yang bisa menyentuh semacam ini. Sudah banyak kan LSM yang juga concern dengan masalah rokok? Dan saya yakin, banyak anak muda Indonesia yang kreatif, bisa meramu dan mengembangkan konsep iklan yang membuat para perokok kembali mempertimbangkan pilihan hidup mereka sebagai perokok. Lha, wong iklan-iklan yang bertebaran di TV Indonesia banyak yang keren-keren kok. JAdi wahai para pembuat iklan, mari menyentuh hati para perokok!

Kamis, 18 Februari 2010

Mencari Hantu di Film Horor Indonesia

Kayaknya ada sentimen tak terbantahkan antara MUI dengan film horornya Indonesia. Setelah film Suster Keramas *yang trailernya aja bikin saya pengen nyembur menyan karena yakin produsernya lagi kerasukan waktu bikin film itu*, sekarang film Hantu Puncak Datang Bulan lagi yang diboikot MUI. Saya sempet kebaca di koran, katanya LSF udah bener-bener galak waktu membabat film itu. Yeee, cuma galak doang. Sekalian aja dong ga usah dilolosin.

Film horor Indonesia itu misterius. Karena tidak pernah jelas alasan kenapa ada yang mau membuat film dengan isi cerita yang sepertinya dicomot dari tabloid misteri atau semacamnya. Kenapa ada artis yang mau main di film semacam itu juga adalah rahasia dunia yang tidak memiliki jawaban pasti. And on top of that, beberapa dari film itu ada yang mampu mencapai jumlah penonton yang relatif spektakuler. Geez… Artinya misteri terbesarnya adalah, kok banyak yang mau nonton??

Film horor kayak gini, yang paling menyeramkan malah sebenernya bukan hantu yang muncul dan bertebaran di film itu. Bagi saya, yang lebih menyeramkan adalah kualitas dari film itu sendiri. Ga usah jauh-jauh deh… apa sih yang bisa diharapkan dari film dengan judul “Hantu Puncak Datang Bulan”? Atau “Hantu Jamu Gendong”? Bahkan pemilihan judulnya saja sudah menimbulkan kengerian.

Alur cerita? Ga usah dibahas. Karena ga bisa dibahas. Memangnya ada alur ceritanya?

Di dunia perfilman Indonesia, seringkali film horor cuma merupakan metafor dari film panas. Karena para pemainnya, terutama para wanita, sepertinya selalu merasa kepanasan sampai harus selalu menggunakan busana yang jauh lebih cocok dipakai saat berlibur di pantai. Dan busana semacam inilah yang mereka pakai dalam adegan-adegan menyelidiki kuburan tua atau rumah berhantu di malam hari.

Kalau ditinjau dari genrenya nih, horor nih ya… seharusnya kan yang namanya film horor itu menimbulkan ketakutan bagi yang menonton. The weird thing is, walaupun frekuensi penampakan para hantu di film horor Indonesia seringnya berlipat-lipat kali dibandingkan frekuensi kemunculan hantu di film hantu Jepang, ketakutan yang diharapkan muncul itu ya ga nongol. Padahal lho, make up para hantunya udah lebay jaya. Tapi bukannya takut, kemunculan para hantu itu justru membuat penonton *well, at least penonton semacam saya* cuma mengernyitkan alis dan ingin menawarkan kain pel untuk membersihkan ceceran darah yang lebih mirip saos untuk makan bakso itu.

Ketakutan itu tidak muncul, karena suasana yang membuat takut itu tidak terbangun. Semenjak awal cerita, seringkali penonton sudah disuguhi dengan para tokoh yang tidak jelas karakternya, dan tiba-tiba saja para tokoh tersebut sudah terjebak dalam situasi yang tidak logis. Saat penonton sedang jungkir balik berusaha memahami siapa saja para tokoh yang ada, apa hubungan mereka satu sama lain, dan kenapa mereka tiba-tiba saja bisa terjebak di sebuah rumah tua, tau-tau para hantu udah berseliweran. Bukannya takut, penonton malah bingung, kok tiba-tiba hantunya udah pada nongol aja sih?

Padahal kalau mau dibandingkan lho ya, film horor Jepang misalnya, frekuensi kemunculannya paling ½ - 1/3 dari frekuensi munculnya suster ngesot/keramas dan kawan-kawan. Tapi karena unsur ketakutan itu sudah disusun dengan rapi sejak awal, maka efeknya pun jauh lebih dahsyat daripada efek yang mungkin timbul dari sesosok manusia bergaun putih berambut tergerai tidak jelas bersimbah cat merah yang mengesot-ngesot…

Saya tidak pernah bisa menonton film horor Indonesia sampai tamat. Karena sekuat apapun tekad saya untuk meneguhkan diri menonton film itu, biasanya langsung pupus dalam setengah jam pertama begitu melihat bahwa alur film itu sama logisnya dengan keberadaan Bikini Bottom di dasar Samudra Indonesia.

Bagi saya, yang mengerikan dari film horor Indonesia bukanlah hantu yang ditampilkan di film itu. Bayangan akan jadi apa dunia perfilman Indonesia kalau terus memproduksi film horor semacam ini menjadi hantu yang jauh lebih mengerikan daripada nama-nama hantu yang dijadikan judul film-film horor itu.

Minggu, 14 Februari 2010

30 - 1

Setahun lebih dekat ke ujung umur.

Let’s see…

I haven’t traveled around the world yet, but that tiny part of the world that I have seen was truly memorable for me, for I went there with wonderful people…
Beberapa temen bekerja dengan penghasilan berlipat-lipat di atasku, sementara aku masih gitu-gitu aja dan seadanya. Bu, then again, it’s the job that I have passion about… Ini adalah pekerjaan yang aku cita-citakan semenjak aku bisa menulis kata “cita-cita”.

I haven’t met the other half of my soul. But half of it that I have right now, it’s already full with songs and colours about how beautiful life is, how brilliant the world is… So I’ll just keep on looking for that half part, while keep on singing about how I love my life and the people around me…

Some say that my life is not yet complete for still being alone against the world.
But still, I know that everytime I feel too tired to face this world, I know that I can always turn to people who care about me…
God hasn’t lead me to that knight in shining armour. But yet, He has blessed me with the most wonderful family and lovely friends…

So I won’t complain
I won’t hesitate…
Instead, I would smile and look up to the sky and have a little talk to God: “Thanks. I know You’re up there smiling back at me.”

Mari menyanyikan lagunya D’Massive: “Syukuri apa yang ada… Hidup adalah anugerah… Tetap jalani hidup ini… Melakukan yang terbaik…

Banjarmasin, when I am one year away from being 30 ^_^

Sinetron vs Reality Show: No Winner

Saya sempet bersyukur waktu reality show mulai muncul. Karena artinya isi TV bisa sedikit bervariasi selain sinetron. Tapi semakin kesini, kok ya malah para reality show yang bertebaran di Indonesia semakin menyaingi ke-unreal-an sinetron ya?

Mari meninjau kedua jenis penghuni TV ini satu persatu.

Sinetron Indonesia. What should I say about it? Oh, and please, sense my tone. Yang pasti, saya selalu mengantuk sekitar jam 7-11 malam, karena isi TV cuma sinetron *dengan TVOne dan Metro TV sebagai perkecualian, tentunya*. Kayaknya saya mending nonton iklan deh disbanding nonton sinetron. Soal jalan cerita, mau dibikin semelingkar dan sespiral apapun, teteup mah rumus utamanya sama. Ada tokoh yang baik sekali, ada tokoh yang jahatnya kebangetan. Si tokoh baik selalu sial, dan herannya, mau aja ditindas. Duh, itu mah bukan pasrah, tapi bego *mind the language, please, I just can’t help it*. Para tokoh baik ini punya kecenderungan selalu menitikkan air mata, dan terlalu sebegitu polosnya sampai tidak pernah curiga kalo ada tokoh jahat yang tersenyum MENCURIGAKAN. Bagi mereka, ga ada tuh yang namanya belajar dari pengalaman. Ga ada yang namanya waspada. Para tokoh baik ini ga pernah mau paham bahwa dunia itu kejam, dan berisikan tipe kedua tokoh utama dalam sinetron: para tokoh jahat. Nah, para tokoh jahat ini, kalo marah selalu melotot. Kalo tersenyum licik, selalu tersenyum sambil menaik-naikkan salah satu ujung bibir sambil melirik-lirik dan menaik-naikkan alis. Akhir-akhir ini, saking kuatnya stereotype para tokoh baik itu di benak saya, kalo liat artis-artis yang spesialisasinya jadi tokoh baik, saya bawaannya pengen nendang dia. Dan saya udah kebayang ekspresi mereka. Menatap saya dengan mata membesar, mulut sedikit menganga, sedikit menggeleng-gelengkan kepala, dan sama sekali tidak terpikir untuk membalas. Geez… Sabar kali pun orang-orang “baik” ini ya…
Soal make-up mah, udah ga usah dibahas kali ya. Bahwa bahkan di rumah pun, kalo pipi mereka dicolek pake ujung telunjuk, bakal ada selapis tebel bedak yang rontok. Dan entah kenapa, para wanitanya males banget mengikat rambut. Lagi memasak sekalipun, tetep aja rambutnya mesti digerai-geraikan ga penting.

Tapi ya mau gimana lagi? Para penonton setia sinetron sepertinya sudah punya keinginan tak terbantahkan. And, well, you know the rules. Para penonton inilah pelanggan para Production House, dan biar gimana, yang namanya pelanggan adalah raja. Saya kadang-kadang suka ketawa sendiri kalo baca surat pembaca di tabloid, yang intinya protes dengan ending sebuah sinetron.

Reality Show? Duh. Ini lagi satu. They’re just SO unreal. Ada yang 3 tahun ga ketemu orang yang dia cari, hanya dalam waktu 3 hari bersama tim reality show tiba-tiba udah ketemu. Dan mesti sangat dramatis. Misalnya Si A, kekasih si B yang sudah 3 tahun ga kedengeran kabarnya, ternyata adalah adik si B sendiri. Dan ekspresi para “artis”, entah posisi mereka sebagai klien, target, ataupun informan, sama naturalnya dengan kuda yang menari cha-cha. Semua kejadian yang fenomenal, pasti terjadi saat klien sedang bersama tim. Duh. Acara-acara perjodohan model reality show yang sekarang lagi ngetop pun berasa ajaib. Oh, well, at least untuk salah satu acaa perjodohan itu, Choky Sitohang masih enak diliat =D.
To make it fair, beberapa reality show dimaksudkan untuk tujuan yang baik. Say, acara-acara semacam Rumah Hadiah, Bedah Rumah, Selebritis Berbagi… Terlepas dari bagaimana eksekusinya di lapangan, paling tidak ada dua hal yang menurut saya relatif dari acara semacam ini. Satu, ada nuansa sosial disana. Dua, para seleb yang terlibat di acara itu paling tidak jadi pernah punya pengalaman untuk melihat, bahwa dunia tidak hanya sekedar dunia bernuansa hedonisme yang lekat dengan kehidupan artis.

Jujur saja, ada beberapa reality show yang saya suka benget: The Apprentice, Amazing Race, The Scholar, bahkan Beauty and the Geek pun pernah menjadi guilty pleasurenya saya. Oh,okay, and America’s Next Top Model is also on the list. Tapi entah kenapa, reality show semacam ini kalo dijadiin versi Indonesia, jatuhnya malah berasa aneh aja. Kalo ga salah, The Apprentice dan The Scholar pernah dibikin versi Indonesianya, dan hasilnya terasa janggal di mata dan di hati. Amazing Race, yang versi Asia, berasa banget ketunggangan iklan… Yah, agak susah sih memang kalo mau mengadaptasi sesuatu yang sudah sukses ya?

Eh, tapi kalo boleh jujur, ada satu acara semacam reality show yang saya suka dan tidak mau ketinggalan: Idola Cilik! Heuheueheueheu… Sebenernya lebih karena saya dari dulu suka sama Duta SO7 kali ya, dan karena sekarang Sheila On 7 udah jarang muncul di TV, jadilah menonton Om Duta sebagai komentator bisa memuaskan kerinduan saya pada pria beranak dua yang saya anggap sebagai cowok paling cakep se Indonesia raya… Selain itu, terlepas dari anggapan bahwa acara itu adalah eksploitasi anak *doh, susah juga kalo sedikit-sedikit acara anak langsung dituduh mengeksploitasi anak*, seneng aja ngeliat bahwa Indonesia masih memiliki anak-anak berbakat.

But, oh well, kembali ke topik bahasan utama… Kalo soal disuruh memilih nonton sinetron atau reality show, mendingan juga saya nonton DVD…

Jumat, 05 Februari 2010

Akhirnya Kecopetan Juga…

Saya sebelum beberapa hari yang lalu hitungannya masih lumayan beruntung dari usaha-usaha pencopetan. Waktu di Jogja padahal tas saya udah bolong karena disilet, tapi dompet saya masih aman. Di Banjar sini pun pernah juga tas saya disilet orang juga, tapi ya Alhamdulillah isi dompet saya masih jadi rejeki saya, bukan rejeki si tukang copet. Bahkan saya pernah bermasalah dengan rombongan tukang tipu dalam angkot (yang saya anggap berada dalam kasta yang sama dengan kaum copet), bukan karena saya jadi korban, tapi karena saya berusaha memperingati korban, dan ujung-ujungnya saya malah berantem dengan rombongan tukang tipu itu.

Tapi ya, sepandai-pandainya tupai meloncat, akhirnya pasti pernah jatuh. Dan walopun saya ga ada mirip-miripnya dengan tupai *so why oh why I mention something about it?*, keberuntungan saya akhirnya berhenti sebentar.

Beberapa hari yang lalu, saya kecopetan. Beuh, ngetiknya aja udah berasa pait. Jadi begini sodara-sodara, mari menyimak pemaparan saya berikut ini, supaya ini tidak terjadi pada anda.

Just an ordinary day with of course, the usual routine, termasuk rute angkot biasa yang saya lalui. Waktu di dalam angkot menuju Pal 6, seorang lelaki berusia 30-35 tahun yang duduk di depan saya tiba-tiba berlagak mabuk darat. Sampe yang kayak mau muntah gitu. Yikes. Nah, orang yang tadinya duduk di sebelah dia langsung loncat menghindar dari dia, nemplok di sebelah saya. Nah, sebenernya waktu itu dia udah mepet banget ke saya. Seharusnya sih waktu itu saya udah curiga ya, ngapain coba mepet-mepet gitu. Tapi ya mau curiga gimanaaa? Secara saya juga agak-agak menghindar gitu dari si Bapak yang *berlagak* mau muntah itu. Toh itu reaksi yang wajar kan? Nah, kesalahan saya yang kedua selain tidak menyempatkan untuk curiga, saya membuka tas saya untuk mengambil plastik yang sekarang saya bawa kemana-mana *baidewei, saya sekarang punya kebiasaan bawa plastik sendiri, jadi kalo belanja ga usah minta plastik lagi, lumayan untuk mengurangi sampah plastik kan :D*. Saya kasihkanlah plastik itu ke si Bapak. Setelah berakting muntah-muntah, si Bapak pun berakting turun dari angkot. Eh, kalo part ini mah ga usah pake acting segala yak? Anyway, sekitar 200 meter kemudian, si Mas-mas yang duduknya di sebelah saya lalu ikut turun juga. Nah, beberapa detik kemudian, saya lalu mau menyiapkan ongkos. Pas saya buka tas, terpanalah saya. Isi tas saya sudah berkurang satu item, yaitu dompet saya! Euh, sebenernya, itu dompet pinjeman pula. Dompet itu sebenernya dompet Mama yang lagi saya pinjem untuk jangka waktu tak berbatas. *Eh, tapi isi dompetnya punya saya sendiri lhooo*. Menyadari bahwa dompet saya udah berpindah lokasi dari yang seharusnya, paniklah saya menyetopkan si angkot. Untungnya si sopir angkot mau ngerti kalo saya ga bisa bayar ongkos. Dalam keadaan panik dan tidak ber-uang sedikit pun, Alhamdulillah… ada mobil Polantas yang lewat. Setelah mengadukan nasib saya, kedua bapak polisi itupun berbaik hati mengantarkan saya ke kantor Polsek Banjar Timur.

Hiks.

Sebenernya yang bikin mangkel adalah, saya udah pernah baca modus semacam ini kooook… Tapi kok ya saya masih bisa tertipu.

Kalau soal isi dompet, mungkin tidak terlalu seberapa. Alhamdulillah banget, waktu dalam angkot itu saya baru saja menyetorkan uang ke rekening saya, jadi yang tersisa dalam dompet memang tinggal ongkos hidup selama seminggu, bukan gaji saya selama sebulan. Selain itu, KTP saya memang akan habis sekitar 2 minggu lagi, jadi mau ilang ga ilang, saya memang sudah waktunya bikin KTP baru. ATM juga, sudah langsung diblokir.

Setelah rasa kagetnya mulai ilang, saya baru bisa mikir lagi. Syukurlah sayanya ga kenapa-kenapa. Soal uang, toh saya masih punya pekerjaan tetap. Masih ada yang bisa saya harapkan setiap tanggal 1:D. Lagian, saya yakin kok, selama kita berusaha secara halal, Alloh akan membukakan pintu rizkinya untuk kita.

Saya kasian dengan keluarga si pencopet itu. Yang *terpaksa* dinafkahi dengan uang yang diperoleh dari cara yang tidak halal. Kalo kata orang Banjar mah, uang itu ga ada berkahnya. Duh…

Soal yang sudah hilang, ya sudahlah, mau diapain lagi. Saya lagi disentil Tuhan kok, supaya lebih hati-hati lagi. Lagi dididik supaya lebih sabar. Semoga saja para pencopet itu segera nyadar, uang yang mereka peroleh dengan cara semacam itu ga bakal bikin mereka sejahtera aman damai sentausa. Semoga saja hal yang semacam ini ga terjadi pada orang lain. Bagi saya jumlah uang yang hilang itu tidak seberapa. Tapi mungkin bagi orang lain, uang sejumlah itu bener-bener berarti buat mereka. Duh, Ya Alloh, lindungi mereka supaya tidak mesti mengalami kejadian semacam ini…