Minggu, 14 Februari 2010

Sinetron vs Reality Show: No Winner

Saya sempet bersyukur waktu reality show mulai muncul. Karena artinya isi TV bisa sedikit bervariasi selain sinetron. Tapi semakin kesini, kok ya malah para reality show yang bertebaran di Indonesia semakin menyaingi ke-unreal-an sinetron ya?

Mari meninjau kedua jenis penghuni TV ini satu persatu.

Sinetron Indonesia. What should I say about it? Oh, and please, sense my tone. Yang pasti, saya selalu mengantuk sekitar jam 7-11 malam, karena isi TV cuma sinetron *dengan TVOne dan Metro TV sebagai perkecualian, tentunya*. Kayaknya saya mending nonton iklan deh disbanding nonton sinetron. Soal jalan cerita, mau dibikin semelingkar dan sespiral apapun, teteup mah rumus utamanya sama. Ada tokoh yang baik sekali, ada tokoh yang jahatnya kebangetan. Si tokoh baik selalu sial, dan herannya, mau aja ditindas. Duh, itu mah bukan pasrah, tapi bego *mind the language, please, I just can’t help it*. Para tokoh baik ini punya kecenderungan selalu menitikkan air mata, dan terlalu sebegitu polosnya sampai tidak pernah curiga kalo ada tokoh jahat yang tersenyum MENCURIGAKAN. Bagi mereka, ga ada tuh yang namanya belajar dari pengalaman. Ga ada yang namanya waspada. Para tokoh baik ini ga pernah mau paham bahwa dunia itu kejam, dan berisikan tipe kedua tokoh utama dalam sinetron: para tokoh jahat. Nah, para tokoh jahat ini, kalo marah selalu melotot. Kalo tersenyum licik, selalu tersenyum sambil menaik-naikkan salah satu ujung bibir sambil melirik-lirik dan menaik-naikkan alis. Akhir-akhir ini, saking kuatnya stereotype para tokoh baik itu di benak saya, kalo liat artis-artis yang spesialisasinya jadi tokoh baik, saya bawaannya pengen nendang dia. Dan saya udah kebayang ekspresi mereka. Menatap saya dengan mata membesar, mulut sedikit menganga, sedikit menggeleng-gelengkan kepala, dan sama sekali tidak terpikir untuk membalas. Geez… Sabar kali pun orang-orang “baik” ini ya…
Soal make-up mah, udah ga usah dibahas kali ya. Bahwa bahkan di rumah pun, kalo pipi mereka dicolek pake ujung telunjuk, bakal ada selapis tebel bedak yang rontok. Dan entah kenapa, para wanitanya males banget mengikat rambut. Lagi memasak sekalipun, tetep aja rambutnya mesti digerai-geraikan ga penting.

Tapi ya mau gimana lagi? Para penonton setia sinetron sepertinya sudah punya keinginan tak terbantahkan. And, well, you know the rules. Para penonton inilah pelanggan para Production House, dan biar gimana, yang namanya pelanggan adalah raja. Saya kadang-kadang suka ketawa sendiri kalo baca surat pembaca di tabloid, yang intinya protes dengan ending sebuah sinetron.

Reality Show? Duh. Ini lagi satu. They’re just SO unreal. Ada yang 3 tahun ga ketemu orang yang dia cari, hanya dalam waktu 3 hari bersama tim reality show tiba-tiba udah ketemu. Dan mesti sangat dramatis. Misalnya Si A, kekasih si B yang sudah 3 tahun ga kedengeran kabarnya, ternyata adalah adik si B sendiri. Dan ekspresi para “artis”, entah posisi mereka sebagai klien, target, ataupun informan, sama naturalnya dengan kuda yang menari cha-cha. Semua kejadian yang fenomenal, pasti terjadi saat klien sedang bersama tim. Duh. Acara-acara perjodohan model reality show yang sekarang lagi ngetop pun berasa ajaib. Oh, well, at least untuk salah satu acaa perjodohan itu, Choky Sitohang masih enak diliat =D.
To make it fair, beberapa reality show dimaksudkan untuk tujuan yang baik. Say, acara-acara semacam Rumah Hadiah, Bedah Rumah, Selebritis Berbagi… Terlepas dari bagaimana eksekusinya di lapangan, paling tidak ada dua hal yang menurut saya relatif dari acara semacam ini. Satu, ada nuansa sosial disana. Dua, para seleb yang terlibat di acara itu paling tidak jadi pernah punya pengalaman untuk melihat, bahwa dunia tidak hanya sekedar dunia bernuansa hedonisme yang lekat dengan kehidupan artis.

Jujur saja, ada beberapa reality show yang saya suka benget: The Apprentice, Amazing Race, The Scholar, bahkan Beauty and the Geek pun pernah menjadi guilty pleasurenya saya. Oh,okay, and America’s Next Top Model is also on the list. Tapi entah kenapa, reality show semacam ini kalo dijadiin versi Indonesia, jatuhnya malah berasa aneh aja. Kalo ga salah, The Apprentice dan The Scholar pernah dibikin versi Indonesianya, dan hasilnya terasa janggal di mata dan di hati. Amazing Race, yang versi Asia, berasa banget ketunggangan iklan… Yah, agak susah sih memang kalo mau mengadaptasi sesuatu yang sudah sukses ya?

Eh, tapi kalo boleh jujur, ada satu acara semacam reality show yang saya suka dan tidak mau ketinggalan: Idola Cilik! Heuheueheueheu… Sebenernya lebih karena saya dari dulu suka sama Duta SO7 kali ya, dan karena sekarang Sheila On 7 udah jarang muncul di TV, jadilah menonton Om Duta sebagai komentator bisa memuaskan kerinduan saya pada pria beranak dua yang saya anggap sebagai cowok paling cakep se Indonesia raya… Selain itu, terlepas dari anggapan bahwa acara itu adalah eksploitasi anak *doh, susah juga kalo sedikit-sedikit acara anak langsung dituduh mengeksploitasi anak*, seneng aja ngeliat bahwa Indonesia masih memiliki anak-anak berbakat.

But, oh well, kembali ke topik bahasan utama… Kalo soal disuruh memilih nonton sinetron atau reality show, mendingan juga saya nonton DVD…

1 komentar:

  1. jangan lupa bahwa di sinetron orang suka ngomong sendiri, hihihihihi.....

    BalasHapus

Minggu, 14 Februari 2010

Sinetron vs Reality Show: No Winner

Saya sempet bersyukur waktu reality show mulai muncul. Karena artinya isi TV bisa sedikit bervariasi selain sinetron. Tapi semakin kesini, kok ya malah para reality show yang bertebaran di Indonesia semakin menyaingi ke-unreal-an sinetron ya?

Mari meninjau kedua jenis penghuni TV ini satu persatu.

Sinetron Indonesia. What should I say about it? Oh, and please, sense my tone. Yang pasti, saya selalu mengantuk sekitar jam 7-11 malam, karena isi TV cuma sinetron *dengan TVOne dan Metro TV sebagai perkecualian, tentunya*. Kayaknya saya mending nonton iklan deh disbanding nonton sinetron. Soal jalan cerita, mau dibikin semelingkar dan sespiral apapun, teteup mah rumus utamanya sama. Ada tokoh yang baik sekali, ada tokoh yang jahatnya kebangetan. Si tokoh baik selalu sial, dan herannya, mau aja ditindas. Duh, itu mah bukan pasrah, tapi bego *mind the language, please, I just can’t help it*. Para tokoh baik ini punya kecenderungan selalu menitikkan air mata, dan terlalu sebegitu polosnya sampai tidak pernah curiga kalo ada tokoh jahat yang tersenyum MENCURIGAKAN. Bagi mereka, ga ada tuh yang namanya belajar dari pengalaman. Ga ada yang namanya waspada. Para tokoh baik ini ga pernah mau paham bahwa dunia itu kejam, dan berisikan tipe kedua tokoh utama dalam sinetron: para tokoh jahat. Nah, para tokoh jahat ini, kalo marah selalu melotot. Kalo tersenyum licik, selalu tersenyum sambil menaik-naikkan salah satu ujung bibir sambil melirik-lirik dan menaik-naikkan alis. Akhir-akhir ini, saking kuatnya stereotype para tokoh baik itu di benak saya, kalo liat artis-artis yang spesialisasinya jadi tokoh baik, saya bawaannya pengen nendang dia. Dan saya udah kebayang ekspresi mereka. Menatap saya dengan mata membesar, mulut sedikit menganga, sedikit menggeleng-gelengkan kepala, dan sama sekali tidak terpikir untuk membalas. Geez… Sabar kali pun orang-orang “baik” ini ya…
Soal make-up mah, udah ga usah dibahas kali ya. Bahwa bahkan di rumah pun, kalo pipi mereka dicolek pake ujung telunjuk, bakal ada selapis tebel bedak yang rontok. Dan entah kenapa, para wanitanya males banget mengikat rambut. Lagi memasak sekalipun, tetep aja rambutnya mesti digerai-geraikan ga penting.

Tapi ya mau gimana lagi? Para penonton setia sinetron sepertinya sudah punya keinginan tak terbantahkan. And, well, you know the rules. Para penonton inilah pelanggan para Production House, dan biar gimana, yang namanya pelanggan adalah raja. Saya kadang-kadang suka ketawa sendiri kalo baca surat pembaca di tabloid, yang intinya protes dengan ending sebuah sinetron.

Reality Show? Duh. Ini lagi satu. They’re just SO unreal. Ada yang 3 tahun ga ketemu orang yang dia cari, hanya dalam waktu 3 hari bersama tim reality show tiba-tiba udah ketemu. Dan mesti sangat dramatis. Misalnya Si A, kekasih si B yang sudah 3 tahun ga kedengeran kabarnya, ternyata adalah adik si B sendiri. Dan ekspresi para “artis”, entah posisi mereka sebagai klien, target, ataupun informan, sama naturalnya dengan kuda yang menari cha-cha. Semua kejadian yang fenomenal, pasti terjadi saat klien sedang bersama tim. Duh. Acara-acara perjodohan model reality show yang sekarang lagi ngetop pun berasa ajaib. Oh, well, at least untuk salah satu acaa perjodohan itu, Choky Sitohang masih enak diliat =D.
To make it fair, beberapa reality show dimaksudkan untuk tujuan yang baik. Say, acara-acara semacam Rumah Hadiah, Bedah Rumah, Selebritis Berbagi… Terlepas dari bagaimana eksekusinya di lapangan, paling tidak ada dua hal yang menurut saya relatif dari acara semacam ini. Satu, ada nuansa sosial disana. Dua, para seleb yang terlibat di acara itu paling tidak jadi pernah punya pengalaman untuk melihat, bahwa dunia tidak hanya sekedar dunia bernuansa hedonisme yang lekat dengan kehidupan artis.

Jujur saja, ada beberapa reality show yang saya suka benget: The Apprentice, Amazing Race, The Scholar, bahkan Beauty and the Geek pun pernah menjadi guilty pleasurenya saya. Oh,okay, and America’s Next Top Model is also on the list. Tapi entah kenapa, reality show semacam ini kalo dijadiin versi Indonesia, jatuhnya malah berasa aneh aja. Kalo ga salah, The Apprentice dan The Scholar pernah dibikin versi Indonesianya, dan hasilnya terasa janggal di mata dan di hati. Amazing Race, yang versi Asia, berasa banget ketunggangan iklan… Yah, agak susah sih memang kalo mau mengadaptasi sesuatu yang sudah sukses ya?

Eh, tapi kalo boleh jujur, ada satu acara semacam reality show yang saya suka dan tidak mau ketinggalan: Idola Cilik! Heuheueheueheu… Sebenernya lebih karena saya dari dulu suka sama Duta SO7 kali ya, dan karena sekarang Sheila On 7 udah jarang muncul di TV, jadilah menonton Om Duta sebagai komentator bisa memuaskan kerinduan saya pada pria beranak dua yang saya anggap sebagai cowok paling cakep se Indonesia raya… Selain itu, terlepas dari anggapan bahwa acara itu adalah eksploitasi anak *doh, susah juga kalo sedikit-sedikit acara anak langsung dituduh mengeksploitasi anak*, seneng aja ngeliat bahwa Indonesia masih memiliki anak-anak berbakat.

But, oh well, kembali ke topik bahasan utama… Kalo soal disuruh memilih nonton sinetron atau reality show, mendingan juga saya nonton DVD…

1 komentar:

  1. jangan lupa bahwa di sinetron orang suka ngomong sendiri, hihihihihi.....

    BalasHapus