Rabu, 20 Januari 2010

Ternyata Dia Tidak Seterkenal Itu…

Jujur saja, saya termasuk salah satu dari sekian ribu orang yang tahun lalu memilih Pak Boediono untuk mendampingi SBY memimpin negara ini sampai dengan 5 tahun ke depan. Bahkan sampai saat ini pun, saya tidak mau langsung menuduh beliau paling bersalah lah lah dalam kasus Bank Century. Tapi tetep saja, waktu Pak Boediono datang mengunjungi Banjarmasin hari Sabtu tanggal 16 Januari kemaren, saya ngomel. Karena bagi saya, kedatangan beliau merepotkan. Jalan gede terdekat dari rumah saya ditutup demi kunjungan beliau ke SMKN 4 *yang jaraknya cuma sekitar 200 meter dari rumah saya*. Dan sebagai hasilnya, kalo dalam kondisi normal tentram sejahtera saya cuma jalan sekitar 150 meter udah dapet angkot, sekarang mesti jalan muter sampe SATU SETENGAH KILOMETER demi mendapatkan angkot kuning kebanggaan kota saya itu. Hilang deh usaha saya mencerahkan kulit wajah di hari itu, secara mentari bersinar ceria tralala trilili sementara saya sambil merutuk-rutuk berjalan di bawah payung hitam. Belum lagi jadi banyak tentara-tentara dan para polisi yang tiba-tiba bertebaran dengan selisih jarak 3 depa satu sama lain. Setelah sekitar 1,5 km, akhirnya bersua juga saya dengan angkot kuning terang itu. Selang sekitar 200 meter, ada tiga orang dari satu keluarga dengan perbedaan usia 3 generasi. Jadi ada si Nenek (mari kita sebut dia sebagai si Nini), ada anaknya (yang akan saya sebut sebagai si Acil) dan sang cucu perempuan yang masih ada dalam gendongan si Acil. Selisih 300 meter lagi, ada lagi nih dua orang ibu-ibu yang masuk (selanjutnya akan disebut sebagai Ibu I dan Ibu II). Maka terlibatlah para penumpang angkot ini dalam suatu percakapan berikut. Baidewei, dengan pertimbangan kemudahan membaca, dialog yang seharusnya berlangsung dalam bahasa Banjar yang sangat medok sudah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia sehari-hari.

Ibu I : Banyak polisi ya kalo sudah jam segini

Si Nini: Iya, biasanya ga banyak, apalagi kalo Sabtu gini

Ibu II : Tapi saya seneng lho kalo banyak polisi begini. Rasanya jadi lebih aman.

Si Nini: Bener tuh, jadi maling ga ada yang berani.

Saya: Anu, ini Bu, lagi ada Boediono datang ke Banjar.

Ibu I dan Ibu II: O ya?

Si Nini: Oh, orang penting ya dia? Dia mentri ya?

Saya: *setelah terbatuk-batuk*. Enggak Ni. Pak Boediono itu wakil presiden kita.

Ibu I: Iya, wakilnya SBY

Si Nini: Lho? Jusuf Kalla itu sudah diganti toh?

Ibu II: Um. Iya Bu. Jusuf Kalla sudah ga jadi wakil lagi.

Si Nini: O ya? Sejak kapan? Terus si Boediono ini yang menggantikan Jusuf Kalla itu?

Ibu I: Iya

Saya:… *speechless… Mau ketawa tapi takut kualat sama orang tua*


Ternyata, menjadi RI II pun tidak menjamin popularitas seseorang…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Rabu, 20 Januari 2010

Ternyata Dia Tidak Seterkenal Itu…

Jujur saja, saya termasuk salah satu dari sekian ribu orang yang tahun lalu memilih Pak Boediono untuk mendampingi SBY memimpin negara ini sampai dengan 5 tahun ke depan. Bahkan sampai saat ini pun, saya tidak mau langsung menuduh beliau paling bersalah lah lah dalam kasus Bank Century. Tapi tetep saja, waktu Pak Boediono datang mengunjungi Banjarmasin hari Sabtu tanggal 16 Januari kemaren, saya ngomel. Karena bagi saya, kedatangan beliau merepotkan. Jalan gede terdekat dari rumah saya ditutup demi kunjungan beliau ke SMKN 4 *yang jaraknya cuma sekitar 200 meter dari rumah saya*. Dan sebagai hasilnya, kalo dalam kondisi normal tentram sejahtera saya cuma jalan sekitar 150 meter udah dapet angkot, sekarang mesti jalan muter sampe SATU SETENGAH KILOMETER demi mendapatkan angkot kuning kebanggaan kota saya itu. Hilang deh usaha saya mencerahkan kulit wajah di hari itu, secara mentari bersinar ceria tralala trilili sementara saya sambil merutuk-rutuk berjalan di bawah payung hitam. Belum lagi jadi banyak tentara-tentara dan para polisi yang tiba-tiba bertebaran dengan selisih jarak 3 depa satu sama lain. Setelah sekitar 1,5 km, akhirnya bersua juga saya dengan angkot kuning terang itu. Selang sekitar 200 meter, ada tiga orang dari satu keluarga dengan perbedaan usia 3 generasi. Jadi ada si Nenek (mari kita sebut dia sebagai si Nini), ada anaknya (yang akan saya sebut sebagai si Acil) dan sang cucu perempuan yang masih ada dalam gendongan si Acil. Selisih 300 meter lagi, ada lagi nih dua orang ibu-ibu yang masuk (selanjutnya akan disebut sebagai Ibu I dan Ibu II). Maka terlibatlah para penumpang angkot ini dalam suatu percakapan berikut. Baidewei, dengan pertimbangan kemudahan membaca, dialog yang seharusnya berlangsung dalam bahasa Banjar yang sangat medok sudah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia sehari-hari.

Ibu I : Banyak polisi ya kalo sudah jam segini

Si Nini: Iya, biasanya ga banyak, apalagi kalo Sabtu gini

Ibu II : Tapi saya seneng lho kalo banyak polisi begini. Rasanya jadi lebih aman.

Si Nini: Bener tuh, jadi maling ga ada yang berani.

Saya: Anu, ini Bu, lagi ada Boediono datang ke Banjar.

Ibu I dan Ibu II: O ya?

Si Nini: Oh, orang penting ya dia? Dia mentri ya?

Saya: *setelah terbatuk-batuk*. Enggak Ni. Pak Boediono itu wakil presiden kita.

Ibu I: Iya, wakilnya SBY

Si Nini: Lho? Jusuf Kalla itu sudah diganti toh?

Ibu II: Um. Iya Bu. Jusuf Kalla sudah ga jadi wakil lagi.

Si Nini: O ya? Sejak kapan? Terus si Boediono ini yang menggantikan Jusuf Kalla itu?

Ibu I: Iya

Saya:… *speechless… Mau ketawa tapi takut kualat sama orang tua*


Ternyata, menjadi RI II pun tidak menjamin popularitas seseorang…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar