Selasa, 21 September 2010

Hello, Haters!

Ada suatu kalimat yang pernah diucapkan guru kursus saya di LIA dulu: “You can’t win everyone. Face it…”. Dan entah kenapa, semakin lama saya semakin menyadari kebenaran kalimat itu.

Tak peduli sebaik apapun kita berusaha to be a nice person, tetap akan ada orang yang ga suka sama kita. Sebaik apapun niat kita, tetap tidak menutup kemungkinan ada yang salah menanggapi.

Like what happened to me a few days ago.


Awalnya adalah ketika saya iseng membaca salah satu FF. It’s a short story. Nah, si penulis sudah menyebutkan bahwa cerpen itu menurut dia ‘frontal’. Setelah saya baca, baru setengah saya sudahberhenti membaca. Nope, bukan masalah deskripsinya yang frontal. Temanya mungkin agak ‘frontal’ kali yee… Tentang sex before marriage gitu.

Seandainya… seandainya lho ya… cerpen yang saya baca itu adalah cerpen biasa, bukan FF, mungkin ga akan jadi masalah. The problem is, it’s a fanfiction. Cerita fiksi yang menggunakan nama orang-orang yang non fiktif. Walaupun ceritanya sendiri fiktif.

Nah, disinilah saya mulai merasa gak sreg, karena nama tokoh yang dipakai disitu adalah anak-anak yang masih berusia pra-remaja / remaja. Disitu saja saya sudah merasa ga enak. Karena menurut saya menulis FF itu punya tanggung jawab moril yang lebih besar. Saya ingat, dulu pernah ada forum diskas soal ada anak IC yang gak mau namanya dipakai untuk FF. waktu itu saya termasuk gencar berkomentar, karena menurut pendapat saya, selama jalan ceritanya masih wajar, karakternya, meskipun antagonis, masih ‘normal’, it shouldn’t be a problem. Lagipula banyak anak IC lainnya yang tidak keberatan kok. Nah, tapi kalo di cerita itu, saya kok merasa mulai over the line ya? I mean, disitu karakter mereka adalah cowok berandalan yang suka nidurin cewek. Geez…


Masalah kedua adalah medianya. Fansite tempat cerita itu dimuat, membernya ada juga yang masih SD, yang menurut saya kok ya belum antas membaca cerita semacam itu.


Saya mulai mikir, ini apa saya aja yang sensitif, atau gimanaaa… Lewat twit, sepertinya ada beberapa yang berpendapat sama dengan saya. Lalu saya pikir, ya udah, kenapa ga dibuka diskas aja soal itu?


Jadi begitulah. Saya posting sebuah topik diskusi baru tentang itu. Tentang apakah beberapa tema yang termasuk kontroversial atau ‘frontal’, masih wajar atau tidak untuk dimasukkan dalam fansite itu. Saya tidak punya maksud apapun, selain pengen share pendapat. Siapa tahu memang saya aja yang sensitif ;p…

Melihat respon yang masuk, ternyata cukup banyak juga yang ternyata sependapat dengan saya. Bahwa tema semacam itu kurang pantas untuk dimuat di fansite.

TAAAPIIIII…


Ada beberapa pihak yang merasa tersindir. Bukan cuma tersindir sih kekna, tapi TERSINGGUNG. Komentar dia di diskas itu sih masih pake embel-embel ‘salam damai’. Walaupun dia sudah mengetik beberapa kalimat dengan caps lock menyala. Tapi di fansite dia ber’damai-damai’ gitu, di Twit dong, nge twitnya langsung pake CAPS nyala. Emosi banget dia. Saya sampai geleng-geleng kepala. Mau nanggepin juga males…


Menurut dia, dia cuma gak mau muna, toh anak jaman sekarang pacarannya gayanya udah frontal. Terus emang apa yang salah dengan tema kontroversial semacam itu. And all of those self-defences.


Oh dear, she didn’t get the idea of my discussion. Bukan temanya yang saya permasalahkan. Tapi mediumnya, dan penggunaan nama tokohnya.


Terdorong rasa penasaran, saya telusuri timeline dia, dan hasilnya membuat saya mengangkat sebelah alis. Ternyata tidak hanya soal diskas saya itu, she actually takes this thing personally. For some reasons that I can’t understand, she hates me. Ga cuma dia sih, ada dua temennya lagi yang juga benci sama saya.


Mereka bilang, begitu liat siapa yang bikin diskas, udah bikin ilfil duluan. Mereka bilang, mentang-mentang saya punya nama, saya lalu seenaknya sendiri. Mereka bilang, toh yang nge-reply diskas saya itu cuma teman-teman saya.


And I was like, huh?
Lalu saya ketawa.


Oh dear… I don’t even know you girls…

And you obviously don’t know me either.

Pertama, saya tidak pernah merasa sudah punya nama. Nama saya Utami Irawati. That’s it. Nama apa yang mereka maksud? Senioritas? Helloooo… Saya juga baru belajar menulis FF kok. Baru 6 bulan. Saya tidak pernah sama sekali merasa sebagai seorang senior. Dan saya bikin diskas itu bukan seenaknya sendiri. Saya sudah bilang di awal, tujuan saya cuma untuk share. Kalau perlu mencari solusi bersama-sama. Dan percayalah, saya sama sekali tidak menyebut nama siapapun di diskas itu. Untuk apa?


Yang saya tahu, mereka juga sama-sama nulis FF. Tulisan mereka juga bagus, but not just my cup of tea. Makanya saya gak pernah baca juga sampe tuntas. For the same reason why I choose Coelho instead of Picoult. Bagus, tapi bukan tipe yang saya suka. Mereka ga suka tulisan saya? Monggo :). Saya juga gak masalah. Saya tahu, selera setiap orang berbeda, dan sangat tidak mungkin saya berharap SEMUA orang menyukai tulisan saya. Dan ya sudah. Apa yang mau dipermasalahkan dari situ???

Saya merasa tidak pernah berkomunikasi dengan mereka secara langsung, jadi saya juga heran, what on earth are the reasons for them to hate me?


Kedua, yang membuat saya sedikit miris adalah cara mereka menanggapi saran dan kritikan. Langsung defensif gitu, tanpa berusaha melihat, apa pelajaran yang bisa diambil dari masukan itu. Girls, when will you learn to be better if you think that you don’t need critiques anymore?


Saya juga pernah dikritik. Dan saya selalu berusaha menghadapinya dengan tenang. Saya lihat, ada benernya ga kritik itu. Kalo iya, ya saya berusaha memperbaiki. Kalo enggak, ya saya anggap terpaan angin :). Pernah sih saya merasa down karena kritik. Tapi lebih karena itu datang dari orang yang saya anggap paling dekat dengan saya. Jadi saya langsung mengasosiasikannya dengan tidak adanya dukungan. Then I realized that I was wrong.


Saya lalu mikir, apa mereka benci sama saya karena melihat kalau saya komentar di FF orang saya suka ngasih saran dan terkesan sok tahu ya?
Hmmm… Saya juga milih-milih kaliiiii…

Gini lho, ada beberapa temen yang memang secara khusus bilang ke saya kalo mereka perlu masukan, kritik dan saran. Dan saya anggap itu karena mereka sama seperti saya, ingin terus belajar lewat berbagai masukan dari orang lain.

Dan mereka pun sering kali memberi saran dan kritik terhadap tulisan saya, which I really appreciate. Tyaa, Tash, Anin, Tri, dan temen-temen lain adalah teman-teman yang selalu open minded terhadap berbagai saran, dan komentar serta saran mereka terhadap tulisan saya juga selalu saya tunggu. Saya menganggap mereka adalah partner saya untuk sama-sama belajar menulis.


Lalu komentar mereka bahwa yang nge-reply diskas itu cuma teman-teman saya? Oh wow. At least I still have people around me called as friends ^_^.


Apa mereka menganggap saya sombong? Oh my… untuk apa saya sombong? Saya, seperti yang berkali-kali saya tekankan, saya sendiri masih harus banyak belajar.


Jadi sambil tersenyum sendiri, saya cuma menggeleng-gelengkan kepala sambil mikir, is this really the way you behave? Oh dear… La?bil…


Don’t take me wrong. I’m not angry. I don’t even hate them for hating me. What for? I don’t even know them personally.

Jadi ya, sekali lagi saya anggap mereka cuma selingan dalam kehidupan saya, yang selalu penuh warna.

So this is my message for them


Dear my haters. I have my style. I have my own reason. And I don’t expect you to understand it. From the way you behave, obviously my style is way beyond your comprehension.


Warmest,

The one that you hate, and still don’t care about it :)
= Ami =

4 komentar:

  1. wow... PERTAMAX!!! hehehe

    aku baca ini 30 menit seelah di posting, masih fresh from the mind banget ya?? :D

    Suka sama pernyataan Mbak Ami yg ini: "At least I still have people around me called as friends."

    Yah, dimaklumi sajalah, ababil gitu lohh.... hehehehe...
    ~emang ya, yg tua harus bisa ngalah~

    Mengalah bukan berarti kalah kan?? Yeay!!




    “Any fool can criticize, condemn, and complain but it takes character and self control to be understanding and forgiving." ~Dale Carnegie~

    BalasHapus
  2. tulisan yang sangat menarik.... remaja2 memang tidak lepas dari proses penemuan identitas diri, jd labil is the word...

    BalasHapus
  3. Sebenernya, aku pernah iri sama Kk. Karya Kk bagus, dinikmati banyak orang, commentnya hampir nggak pernah sedikit, udah gitu banyak fansnya (termasuk grup Ami Lovers di fb). Apalagi Kk kan cerdas, pemikirannya selalu lebih lebar, lebih panjang, dan lebih dalam. Sampai-sampai, aku pernah ikutin gaya Kakak bercerita. Hasilnya: payah.

    Tapi, sekarang nggak lagi. Karena ada pikiran jahat yang lewat. Seperti ini kira-kira, "Kak Ammy kan udah dewasa, udah jadi dosen pula, mana bisa aku yang masih 14 tahun dan baru aja lulus SMA dibandingin sama Kak Ammy. Aku masih punya banyak waktu untuk belajar hingga sejajar dengan Kak Ammy!"

    Begitu... Hehe, maaf ya kalau keterlaluan. Itu adalah pikiran jahat. Sementara pikiran baiknya, "Kak Ammy lebih berpengalaman, lebih banyak mengecap asam-manis hidup, lebih tinggi pendidikannya, aku bisa belajar banyak darinya dan berusaha mengikuti jejak keberhasilannya."

    Nah, itulah kedua pikiran yang melayang di otakku tentang Kak Ammy. Pernah iri, tapi sekarang nggak lagi. Aku ya aku, Kak Ammy ya Kak Ammy. Sekarang mungkin belum jago, tapi suatu saat aku bakalan ngeliat karyaku dipuji orang banyak. Hahaha (tawa setan).

    *maaf ya, kalau menyinggung*

    BalasHapus
  4. mungkin dengan kaka ngebuat forum gitu dianya jadi tersinggung. ada baiknya kalo kaka ngasih pendapatnya secara pribadi, gak harus dibuat forum. mungkin dia ngerasa dihakimi, jadi dia bersikap defesif gitu. itu sih pendapat saya.

    salam anon.

    BalasHapus

Selasa, 21 September 2010

Hello, Haters!

Ada suatu kalimat yang pernah diucapkan guru kursus saya di LIA dulu: “You can’t win everyone. Face it…”. Dan entah kenapa, semakin lama saya semakin menyadari kebenaran kalimat itu.

Tak peduli sebaik apapun kita berusaha to be a nice person, tetap akan ada orang yang ga suka sama kita. Sebaik apapun niat kita, tetap tidak menutup kemungkinan ada yang salah menanggapi.

Like what happened to me a few days ago.


Awalnya adalah ketika saya iseng membaca salah satu FF. It’s a short story. Nah, si penulis sudah menyebutkan bahwa cerpen itu menurut dia ‘frontal’. Setelah saya baca, baru setengah saya sudahberhenti membaca. Nope, bukan masalah deskripsinya yang frontal. Temanya mungkin agak ‘frontal’ kali yee… Tentang sex before marriage gitu.

Seandainya… seandainya lho ya… cerpen yang saya baca itu adalah cerpen biasa, bukan FF, mungkin ga akan jadi masalah. The problem is, it’s a fanfiction. Cerita fiksi yang menggunakan nama orang-orang yang non fiktif. Walaupun ceritanya sendiri fiktif.

Nah, disinilah saya mulai merasa gak sreg, karena nama tokoh yang dipakai disitu adalah anak-anak yang masih berusia pra-remaja / remaja. Disitu saja saya sudah merasa ga enak. Karena menurut saya menulis FF itu punya tanggung jawab moril yang lebih besar. Saya ingat, dulu pernah ada forum diskas soal ada anak IC yang gak mau namanya dipakai untuk FF. waktu itu saya termasuk gencar berkomentar, karena menurut pendapat saya, selama jalan ceritanya masih wajar, karakternya, meskipun antagonis, masih ‘normal’, it shouldn’t be a problem. Lagipula banyak anak IC lainnya yang tidak keberatan kok. Nah, tapi kalo di cerita itu, saya kok merasa mulai over the line ya? I mean, disitu karakter mereka adalah cowok berandalan yang suka nidurin cewek. Geez…


Masalah kedua adalah medianya. Fansite tempat cerita itu dimuat, membernya ada juga yang masih SD, yang menurut saya kok ya belum antas membaca cerita semacam itu.


Saya mulai mikir, ini apa saya aja yang sensitif, atau gimanaaa… Lewat twit, sepertinya ada beberapa yang berpendapat sama dengan saya. Lalu saya pikir, ya udah, kenapa ga dibuka diskas aja soal itu?


Jadi begitulah. Saya posting sebuah topik diskusi baru tentang itu. Tentang apakah beberapa tema yang termasuk kontroversial atau ‘frontal’, masih wajar atau tidak untuk dimasukkan dalam fansite itu. Saya tidak punya maksud apapun, selain pengen share pendapat. Siapa tahu memang saya aja yang sensitif ;p…

Melihat respon yang masuk, ternyata cukup banyak juga yang ternyata sependapat dengan saya. Bahwa tema semacam itu kurang pantas untuk dimuat di fansite.

TAAAPIIIII…


Ada beberapa pihak yang merasa tersindir. Bukan cuma tersindir sih kekna, tapi TERSINGGUNG. Komentar dia di diskas itu sih masih pake embel-embel ‘salam damai’. Walaupun dia sudah mengetik beberapa kalimat dengan caps lock menyala. Tapi di fansite dia ber’damai-damai’ gitu, di Twit dong, nge twitnya langsung pake CAPS nyala. Emosi banget dia. Saya sampai geleng-geleng kepala. Mau nanggepin juga males…


Menurut dia, dia cuma gak mau muna, toh anak jaman sekarang pacarannya gayanya udah frontal. Terus emang apa yang salah dengan tema kontroversial semacam itu. And all of those self-defences.


Oh dear, she didn’t get the idea of my discussion. Bukan temanya yang saya permasalahkan. Tapi mediumnya, dan penggunaan nama tokohnya.


Terdorong rasa penasaran, saya telusuri timeline dia, dan hasilnya membuat saya mengangkat sebelah alis. Ternyata tidak hanya soal diskas saya itu, she actually takes this thing personally. For some reasons that I can’t understand, she hates me. Ga cuma dia sih, ada dua temennya lagi yang juga benci sama saya.


Mereka bilang, begitu liat siapa yang bikin diskas, udah bikin ilfil duluan. Mereka bilang, mentang-mentang saya punya nama, saya lalu seenaknya sendiri. Mereka bilang, toh yang nge-reply diskas saya itu cuma teman-teman saya.


And I was like, huh?
Lalu saya ketawa.


Oh dear… I don’t even know you girls…

And you obviously don’t know me either.

Pertama, saya tidak pernah merasa sudah punya nama. Nama saya Utami Irawati. That’s it. Nama apa yang mereka maksud? Senioritas? Helloooo… Saya juga baru belajar menulis FF kok. Baru 6 bulan. Saya tidak pernah sama sekali merasa sebagai seorang senior. Dan saya bikin diskas itu bukan seenaknya sendiri. Saya sudah bilang di awal, tujuan saya cuma untuk share. Kalau perlu mencari solusi bersama-sama. Dan percayalah, saya sama sekali tidak menyebut nama siapapun di diskas itu. Untuk apa?


Yang saya tahu, mereka juga sama-sama nulis FF. Tulisan mereka juga bagus, but not just my cup of tea. Makanya saya gak pernah baca juga sampe tuntas. For the same reason why I choose Coelho instead of Picoult. Bagus, tapi bukan tipe yang saya suka. Mereka ga suka tulisan saya? Monggo :). Saya juga gak masalah. Saya tahu, selera setiap orang berbeda, dan sangat tidak mungkin saya berharap SEMUA orang menyukai tulisan saya. Dan ya sudah. Apa yang mau dipermasalahkan dari situ???

Saya merasa tidak pernah berkomunikasi dengan mereka secara langsung, jadi saya juga heran, what on earth are the reasons for them to hate me?


Kedua, yang membuat saya sedikit miris adalah cara mereka menanggapi saran dan kritikan. Langsung defensif gitu, tanpa berusaha melihat, apa pelajaran yang bisa diambil dari masukan itu. Girls, when will you learn to be better if you think that you don’t need critiques anymore?


Saya juga pernah dikritik. Dan saya selalu berusaha menghadapinya dengan tenang. Saya lihat, ada benernya ga kritik itu. Kalo iya, ya saya berusaha memperbaiki. Kalo enggak, ya saya anggap terpaan angin :). Pernah sih saya merasa down karena kritik. Tapi lebih karena itu datang dari orang yang saya anggap paling dekat dengan saya. Jadi saya langsung mengasosiasikannya dengan tidak adanya dukungan. Then I realized that I was wrong.


Saya lalu mikir, apa mereka benci sama saya karena melihat kalau saya komentar di FF orang saya suka ngasih saran dan terkesan sok tahu ya?
Hmmm… Saya juga milih-milih kaliiiii…

Gini lho, ada beberapa temen yang memang secara khusus bilang ke saya kalo mereka perlu masukan, kritik dan saran. Dan saya anggap itu karena mereka sama seperti saya, ingin terus belajar lewat berbagai masukan dari orang lain.

Dan mereka pun sering kali memberi saran dan kritik terhadap tulisan saya, which I really appreciate. Tyaa, Tash, Anin, Tri, dan temen-temen lain adalah teman-teman yang selalu open minded terhadap berbagai saran, dan komentar serta saran mereka terhadap tulisan saya juga selalu saya tunggu. Saya menganggap mereka adalah partner saya untuk sama-sama belajar menulis.


Lalu komentar mereka bahwa yang nge-reply diskas itu cuma teman-teman saya? Oh wow. At least I still have people around me called as friends ^_^.


Apa mereka menganggap saya sombong? Oh my… untuk apa saya sombong? Saya, seperti yang berkali-kali saya tekankan, saya sendiri masih harus banyak belajar.


Jadi sambil tersenyum sendiri, saya cuma menggeleng-gelengkan kepala sambil mikir, is this really the way you behave? Oh dear… La?bil…


Don’t take me wrong. I’m not angry. I don’t even hate them for hating me. What for? I don’t even know them personally.

Jadi ya, sekali lagi saya anggap mereka cuma selingan dalam kehidupan saya, yang selalu penuh warna.

So this is my message for them


Dear my haters. I have my style. I have my own reason. And I don’t expect you to understand it. From the way you behave, obviously my style is way beyond your comprehension.


Warmest,

The one that you hate, and still don’t care about it :)
= Ami =

4 komentar:

  1. wow... PERTAMAX!!! hehehe

    aku baca ini 30 menit seelah di posting, masih fresh from the mind banget ya?? :D

    Suka sama pernyataan Mbak Ami yg ini: "At least I still have people around me called as friends."

    Yah, dimaklumi sajalah, ababil gitu lohh.... hehehehe...
    ~emang ya, yg tua harus bisa ngalah~

    Mengalah bukan berarti kalah kan?? Yeay!!




    “Any fool can criticize, condemn, and complain but it takes character and self control to be understanding and forgiving." ~Dale Carnegie~

    BalasHapus
  2. tulisan yang sangat menarik.... remaja2 memang tidak lepas dari proses penemuan identitas diri, jd labil is the word...

    BalasHapus
  3. Sebenernya, aku pernah iri sama Kk. Karya Kk bagus, dinikmati banyak orang, commentnya hampir nggak pernah sedikit, udah gitu banyak fansnya (termasuk grup Ami Lovers di fb). Apalagi Kk kan cerdas, pemikirannya selalu lebih lebar, lebih panjang, dan lebih dalam. Sampai-sampai, aku pernah ikutin gaya Kakak bercerita. Hasilnya: payah.

    Tapi, sekarang nggak lagi. Karena ada pikiran jahat yang lewat. Seperti ini kira-kira, "Kak Ammy kan udah dewasa, udah jadi dosen pula, mana bisa aku yang masih 14 tahun dan baru aja lulus SMA dibandingin sama Kak Ammy. Aku masih punya banyak waktu untuk belajar hingga sejajar dengan Kak Ammy!"

    Begitu... Hehe, maaf ya kalau keterlaluan. Itu adalah pikiran jahat. Sementara pikiran baiknya, "Kak Ammy lebih berpengalaman, lebih banyak mengecap asam-manis hidup, lebih tinggi pendidikannya, aku bisa belajar banyak darinya dan berusaha mengikuti jejak keberhasilannya."

    Nah, itulah kedua pikiran yang melayang di otakku tentang Kak Ammy. Pernah iri, tapi sekarang nggak lagi. Aku ya aku, Kak Ammy ya Kak Ammy. Sekarang mungkin belum jago, tapi suatu saat aku bakalan ngeliat karyaku dipuji orang banyak. Hahaha (tawa setan).

    *maaf ya, kalau menyinggung*

    BalasHapus
  4. mungkin dengan kaka ngebuat forum gitu dianya jadi tersinggung. ada baiknya kalo kaka ngasih pendapatnya secara pribadi, gak harus dibuat forum. mungkin dia ngerasa dihakimi, jadi dia bersikap defesif gitu. itu sih pendapat saya.

    salam anon.

    BalasHapus