Senin, 10 September 2012

Menolak Kesempatan


People say, opportunity never comes twice. Kalo menurut saya sih, gak juga. Sometimes, an opportunity may come more than once. The problem is, we often have no idea when it will come again.

Akhir-akhir ini, saya lagi kepikiran soal grabbing opportunities ini. About seizing the day. Dan setelah berkontemplasi *ow, such a cool word to use in a writing :D*, I come to a conclusion. Seringkali yang menghalangi diri kita untuk meraih kesempatan itu kita sendiri kok. Entah kita yang tidak percaya diri sehingga tidak mau mengambil kesempatan itu, atau bahkan sebaliknya. Kita yang terlalu percaya diri sehingga memilih untuk mengabaikan kesempatan itu. Kadang, kita suka mikir bahwa hanya hal sepele yang ditawarkan oleh kesempatan yang sebenarnya bisa kita raih itu.

Say, ada tawaran kerja di kota lain. Kita lalu menolaknya karena merasa malas untuk keluar dari comfort zone, untuk keluar dari lingkungan yang sudah kita kenal lama. Kita kan yang menutup pintu kesempatan untuk merasakan pengalaman baru?
Atau ada tawaran beasiswa. Ngeliat dokumen yang harus disiapkan, udah males, dan mundur duluan. There. We have another opportunity slipped out of our hand.

Speaking in a more personal life, ada dua kejadian yang membuat saya jadi lebih sering kepikiran soal menolak kesempatan ini.

The first one, soal seorang teman yang juga pencari beasiswa. FYI, akhir-akhir ini DIKTI lagi cukup royal untuk membagi-bagikan beasiswa. Salah satunya, Beasiswa Unggulan. Nah, teman yang satu ini, katakan lah si X, pada saat-saat terakhir, mundur dan tidak jadi mengirimkan aplikasi. Waktu itu saya sudah agak kecewa, karena saya merasa waktu itu saya sudah berusaha semampu saya untuk membantu dia menyiapkan beberapa syarat administratif yang diperlukan. Teman saya yang lain, let’s just call her Y, juga berjuang untuk mengirimkan aplikasi Beasiswa Unggulan ini. Mind you, perjuangan Y yang naik motor siang-siang dari Banjarmasin ke Banjarbaru, berdebat dengan orang Rektorat, mengumpulkan surat-surat yang diperlukan… I really appreciated all the effort that she had done. Dan waktu dia dinyatakan diterima, saya diam-diam nangis di depan layar computer, menatap nama dia yang dinyatakan menerima beasiswa. Seneng. Seneng banget. She really deserves it. Dan dalam hati, saya menyesalkan kenapa X malah tidak jadi mengajukan aplikasi. Karena saya yakin, secara akademis, kemampuan X di atas rata-rata banget. She got all the requirement needed for the scholarship. All, except for one thing. The determination to go for it.

Oh well, mungkin dia punya alasan sendiri. Anyway, X juga menerima beasiswa lain, beasiswa Pra S2 di salah satu PTN terkemuka di Surabaya. Dia lalu berangkat, dan…kembali lagi. Yep. Beasiswa itu dia lepas. I was like…Huh? Seriously? Apalagi ketika saya ketemu dia, dan dia mengaku alasannya melepas beasiswa itu karena kebimbangannya sendiri. Saya cuma bisa menghela nafas panjang. Oh well… *walopun dalam hati pengen mengguncang-guncang bahu dia dan bertanya… “KENAAAPAA???”*

Still, saya masih berusaha berpikir that she has her own reason. I just hope, really really hope that the reason really worth it compared to the opportunity that she just let go. Mari tetap berbaik sangka bahwa mungkin ini adalah bagian dari rencana paling indah yang sudah disiapkan Tuhan. Sekarang dia sama dengan saya, sedang menunggu hasil dari beasiswa ADS.

Hal kedua yang membuat saya berpikir banyak soal kesempatan ini, adalah waktu saya begadang gak jelas, mengubek-ubek Goodreads, dan menemukan resensi buku ini. Okay, sebelumnya, let me warn you, bahwa orang-orang Goodreads bisa sangat kejam dalam mereview buku :D. Tapi justru kalau menurut saya, sebagian besar review buku di Goodreads itu seringkali lebih obyektif. Please, have a look at the reviews that people made about the book. Saya sendiri tidak tertarik membaca buku itu. Karena genre roman memang bukan genre yang saya suka. Not at all  (oh please, I haven’t read even one book from Ilana Tan -_-, and not interested to). Tapi dari beberapa review yang ada, saya jadi manggut-manggut, karena menurut saya memang ada hal-hal yang cukup fatal (terutama soal bagian sinar matahari yang mengandung Vitamin D. Big big mistake).

Nah, sebenarnya gong-nya bukan disitu. Tapi dari cara si penulis novel menanggapi review itu. I was shocked. Pertama, cara dia mengatakan bahwa tulisan dia hanya bisa dicerna oleh orang-orang yang berotak prima. What? Oh, baiklah. Artinya saya tidak akan bisa membaca novel ini. Otak prima sama sekali bukan gambaran yang cocok untuk diri saya yang rata-rata dan biasa-biasa saja ini. Next, I often read a book to relax. Kadang saya baru sempet baca buku tengah malam, setelah ngeberesin kerjaan. No otak prima in that condition. At least for me yaaa…. Mehehehehe…

Yang saya terheran-heran, kenapa dia harus sedefensif itu terhadap kritikan? Seakan-akan semua yang memberikan review tidak menyenangkan tentang buku dia adalah orang-orang yang tidak open-minded. Iya, kritik ada yang membangun, ada yang menjatuhkan. Kita yang harus bisa memilah, dan menjadikan kritik itu masukan. And the truth is, gak semua kritik yang menyatakan bahwa karya kita itu tidak bagus adalah kritik yang menjatuhkan. Sebagaimana tidak semua komentar yang mendewa-dewakan karya kita adalah kritik yang membangun. 

Bersikap defensif terhadap kritikan justru membuat kita kehilangan kesempatan untuk menjadi lebih baik.

Dengan kekepoan saya, saya lalu menjelajah ke blog si penulis. Statement si penulis di blog itu pada postingan yang ini membuat saya semakin semakin kehilangan respek.

"you need a good brain to digest my novels....
Perhatikan saja, semua novelku pasti ada informasi / pelajaran (kayak sekolahan aja). Pakai logika aja deh, kalau otakmu lagi hang, boro-boro bisa "menangkap informasi", lah wong baca kalimatku (yang kayak buku terjemahan - mengutip Meiske) aja, kamu udah puyeng duluan."

That statement, is just another way to say that the writer believes that she’s better than others. That she’s much smarter. That she’s so brilliant that only a few people can understand her words.

Saya bukan penulis. Tapi saya yakin, bagi seorang penulis, adalah kebanggaan dan kebahagiaan tersendiri kalau hasil tulisannya bisa dinikmati oleh banyak orang, tanpa kecuali.
Dan menganggap diri kita jauh “lebih baik” daripada orang lain membuat kita kehilangan kesempatan untuk bisa belajar dari orang lain.

Padahal saya yakin, selalu ada sesuatu hal yang bisa kita pelajari dari setiap orang. Siapapun itu. As long as we keep our ear, eyes, and most importantly, our heart and our mind widely open, there will always a thing, or two, or even more, that we can learn from somebody else.

Dari si penulis ini *yang cuma kenal sama sesama rangking I di sekolah dia dulu, saatnya untuk bilang WOW!!!*, saya belajar, bahwa kemampuan menerima kritik memerlukan pikiran yang terbuka. Oh, tentu saja, pelajaran paling penting dari dirinya adalah bahwa membaca buku dia memerlukan otak yang prima. On the other hand, semoga si penulis juga bisa belajar, bahwa sinar matahari tidak mengandung vitamin D.

And so, as the night fall to end this day, mari mengingat kembali. Is there any opportunity that we have grabbed today? Apakah ada kesempatan yang hari ini kita lepaskan begitu saja? And of course, apakah kesempatan itu akan kita lepas kembali saat dia datang lagi?

See you, people =)

Cheers!
= Ami =

*picture taken from this site*

2 komentar:

  1. Tidak sengaja, saya terdampar di blog ini. Eh..ternyata blognya mbak Ami, yg pernah ketemu saat GRE Subject test. Masih ingatkah dg saya? Ternyata ada juga yg sama2 daftar ADS. hehehe...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Waaaahhh... Ahahaha.. Maap ya Mas, baru liat komennya. Of course I still remember you, kan berangkat buat tes GRE itu bareng-bareeenng :D.
      Thanks for stopping by ^_^

      Hapus

Senin, 10 September 2012

Menolak Kesempatan


People say, opportunity never comes twice. Kalo menurut saya sih, gak juga. Sometimes, an opportunity may come more than once. The problem is, we often have no idea when it will come again.

Akhir-akhir ini, saya lagi kepikiran soal grabbing opportunities ini. About seizing the day. Dan setelah berkontemplasi *ow, such a cool word to use in a writing :D*, I come to a conclusion. Seringkali yang menghalangi diri kita untuk meraih kesempatan itu kita sendiri kok. Entah kita yang tidak percaya diri sehingga tidak mau mengambil kesempatan itu, atau bahkan sebaliknya. Kita yang terlalu percaya diri sehingga memilih untuk mengabaikan kesempatan itu. Kadang, kita suka mikir bahwa hanya hal sepele yang ditawarkan oleh kesempatan yang sebenarnya bisa kita raih itu.

Say, ada tawaran kerja di kota lain. Kita lalu menolaknya karena merasa malas untuk keluar dari comfort zone, untuk keluar dari lingkungan yang sudah kita kenal lama. Kita kan yang menutup pintu kesempatan untuk merasakan pengalaman baru?
Atau ada tawaran beasiswa. Ngeliat dokumen yang harus disiapkan, udah males, dan mundur duluan. There. We have another opportunity slipped out of our hand.

Speaking in a more personal life, ada dua kejadian yang membuat saya jadi lebih sering kepikiran soal menolak kesempatan ini.

The first one, soal seorang teman yang juga pencari beasiswa. FYI, akhir-akhir ini DIKTI lagi cukup royal untuk membagi-bagikan beasiswa. Salah satunya, Beasiswa Unggulan. Nah, teman yang satu ini, katakan lah si X, pada saat-saat terakhir, mundur dan tidak jadi mengirimkan aplikasi. Waktu itu saya sudah agak kecewa, karena saya merasa waktu itu saya sudah berusaha semampu saya untuk membantu dia menyiapkan beberapa syarat administratif yang diperlukan. Teman saya yang lain, let’s just call her Y, juga berjuang untuk mengirimkan aplikasi Beasiswa Unggulan ini. Mind you, perjuangan Y yang naik motor siang-siang dari Banjarmasin ke Banjarbaru, berdebat dengan orang Rektorat, mengumpulkan surat-surat yang diperlukan… I really appreciated all the effort that she had done. Dan waktu dia dinyatakan diterima, saya diam-diam nangis di depan layar computer, menatap nama dia yang dinyatakan menerima beasiswa. Seneng. Seneng banget. She really deserves it. Dan dalam hati, saya menyesalkan kenapa X malah tidak jadi mengajukan aplikasi. Karena saya yakin, secara akademis, kemampuan X di atas rata-rata banget. She got all the requirement needed for the scholarship. All, except for one thing. The determination to go for it.

Oh well, mungkin dia punya alasan sendiri. Anyway, X juga menerima beasiswa lain, beasiswa Pra S2 di salah satu PTN terkemuka di Surabaya. Dia lalu berangkat, dan…kembali lagi. Yep. Beasiswa itu dia lepas. I was like…Huh? Seriously? Apalagi ketika saya ketemu dia, dan dia mengaku alasannya melepas beasiswa itu karena kebimbangannya sendiri. Saya cuma bisa menghela nafas panjang. Oh well… *walopun dalam hati pengen mengguncang-guncang bahu dia dan bertanya… “KENAAAPAA???”*

Still, saya masih berusaha berpikir that she has her own reason. I just hope, really really hope that the reason really worth it compared to the opportunity that she just let go. Mari tetap berbaik sangka bahwa mungkin ini adalah bagian dari rencana paling indah yang sudah disiapkan Tuhan. Sekarang dia sama dengan saya, sedang menunggu hasil dari beasiswa ADS.

Hal kedua yang membuat saya berpikir banyak soal kesempatan ini, adalah waktu saya begadang gak jelas, mengubek-ubek Goodreads, dan menemukan resensi buku ini. Okay, sebelumnya, let me warn you, bahwa orang-orang Goodreads bisa sangat kejam dalam mereview buku :D. Tapi justru kalau menurut saya, sebagian besar review buku di Goodreads itu seringkali lebih obyektif. Please, have a look at the reviews that people made about the book. Saya sendiri tidak tertarik membaca buku itu. Karena genre roman memang bukan genre yang saya suka. Not at all  (oh please, I haven’t read even one book from Ilana Tan -_-, and not interested to). Tapi dari beberapa review yang ada, saya jadi manggut-manggut, karena menurut saya memang ada hal-hal yang cukup fatal (terutama soal bagian sinar matahari yang mengandung Vitamin D. Big big mistake).

Nah, sebenarnya gong-nya bukan disitu. Tapi dari cara si penulis novel menanggapi review itu. I was shocked. Pertama, cara dia mengatakan bahwa tulisan dia hanya bisa dicerna oleh orang-orang yang berotak prima. What? Oh, baiklah. Artinya saya tidak akan bisa membaca novel ini. Otak prima sama sekali bukan gambaran yang cocok untuk diri saya yang rata-rata dan biasa-biasa saja ini. Next, I often read a book to relax. Kadang saya baru sempet baca buku tengah malam, setelah ngeberesin kerjaan. No otak prima in that condition. At least for me yaaa…. Mehehehehe…

Yang saya terheran-heran, kenapa dia harus sedefensif itu terhadap kritikan? Seakan-akan semua yang memberikan review tidak menyenangkan tentang buku dia adalah orang-orang yang tidak open-minded. Iya, kritik ada yang membangun, ada yang menjatuhkan. Kita yang harus bisa memilah, dan menjadikan kritik itu masukan. And the truth is, gak semua kritik yang menyatakan bahwa karya kita itu tidak bagus adalah kritik yang menjatuhkan. Sebagaimana tidak semua komentar yang mendewa-dewakan karya kita adalah kritik yang membangun. 

Bersikap defensif terhadap kritikan justru membuat kita kehilangan kesempatan untuk menjadi lebih baik.

Dengan kekepoan saya, saya lalu menjelajah ke blog si penulis. Statement si penulis di blog itu pada postingan yang ini membuat saya semakin semakin kehilangan respek.

"you need a good brain to digest my novels....
Perhatikan saja, semua novelku pasti ada informasi / pelajaran (kayak sekolahan aja). Pakai logika aja deh, kalau otakmu lagi hang, boro-boro bisa "menangkap informasi", lah wong baca kalimatku (yang kayak buku terjemahan - mengutip Meiske) aja, kamu udah puyeng duluan."

That statement, is just another way to say that the writer believes that she’s better than others. That she’s much smarter. That she’s so brilliant that only a few people can understand her words.

Saya bukan penulis. Tapi saya yakin, bagi seorang penulis, adalah kebanggaan dan kebahagiaan tersendiri kalau hasil tulisannya bisa dinikmati oleh banyak orang, tanpa kecuali.
Dan menganggap diri kita jauh “lebih baik” daripada orang lain membuat kita kehilangan kesempatan untuk bisa belajar dari orang lain.

Padahal saya yakin, selalu ada sesuatu hal yang bisa kita pelajari dari setiap orang. Siapapun itu. As long as we keep our ear, eyes, and most importantly, our heart and our mind widely open, there will always a thing, or two, or even more, that we can learn from somebody else.

Dari si penulis ini *yang cuma kenal sama sesama rangking I di sekolah dia dulu, saatnya untuk bilang WOW!!!*, saya belajar, bahwa kemampuan menerima kritik memerlukan pikiran yang terbuka. Oh, tentu saja, pelajaran paling penting dari dirinya adalah bahwa membaca buku dia memerlukan otak yang prima. On the other hand, semoga si penulis juga bisa belajar, bahwa sinar matahari tidak mengandung vitamin D.

And so, as the night fall to end this day, mari mengingat kembali. Is there any opportunity that we have grabbed today? Apakah ada kesempatan yang hari ini kita lepaskan begitu saja? And of course, apakah kesempatan itu akan kita lepas kembali saat dia datang lagi?

See you, people =)

Cheers!
= Ami =

*picture taken from this site*

2 komentar:

  1. Tidak sengaja, saya terdampar di blog ini. Eh..ternyata blognya mbak Ami, yg pernah ketemu saat GRE Subject test. Masih ingatkah dg saya? Ternyata ada juga yg sama2 daftar ADS. hehehe...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Waaaahhh... Ahahaha.. Maap ya Mas, baru liat komennya. Of course I still remember you, kan berangkat buat tes GRE itu bareng-bareeenng :D.
      Thanks for stopping by ^_^

      Hapus