Asal muasalnya saya ikutan adalah waktu ditawarin housemate saya, M’Erni, yang dapat tawaran dari teman dia (yang adalah teman saya juga..what a waste of words) untuk bareng-bareng ke Tasmania. Mumpung ada tiket murah! Sempet ragu, karena tripnya direncanakan tanggal 13-15 Nopember, sementara jadwal ujian saya waktu itu belum ketahuan apa kabarnya. Makaa…terima kasih tak terhingga untuk Anna yang sudah ber amal baik dengan mencaritahukan jadwal ujian tersebut (yang ternyata jatuh pada tanggal 12 Nopember). Oh, betapa menyenangkannya kebetulan-kebetulan semacam iniiiii…. Well, what goes beyond my expectation adalah, ternyata banyak banget yang bergabung.. ada 15 orang! Yeiyyyy… Betapa serunyaaa… Anyway, 15 orang tersebut ternyata pada akhirnya tersplit menjadi 2. Faktor pembaginya? Ehm.. Jadi gini, pesen tiket kan mesti pake credit card toh? Jadilah ada dua kartu kredit yang dipake, 8 orang ikut punya Ancilla, 7 orang lagi nunut kartunya Dinni. Saya termasuk golongan orang-orang dalam kategori terakhir. Perkembangan selanjutnya adalah, ternyata bukan hanya kartu kredit yang tersplit, penginapan pun terbelah dua. Jadi yang 8 orang memutuskan untuk ber akomodasi (ya..ya.. ya.. saya nyadar kok betapa anehnya kaidah pembentukan kata yang saya gunakan) di sebuah service apartment, sementara kami bertujuh dengan berbagai alasan pertimbangan (dan bagi salah seorang dari kami, kepasrahan), kami bertujuh nginep di hotel Backpackers. Duh, berasa jadi turis beneran ga sih? Lokasi hotelnya pun lumayan enak kok, pas di tengah kota. Hotelnya juga bersih dan ekonomis (kok jadi berasa kayak iklan sabun colek sih?). Dan ketujuh orang backpackers nanggung itu adalah…toet..toeeeeet… (kasih applaus dong…!!!): saya sendiri, Dina, Dedy, Dinni, Gita, Ponco, dan Hafiz…
teman-teman saya berbackpackers ria
Ada satu alasan yang membuat saya cukup berbahagia dengan rombongan mahluk-mahluk aneh ini, kenapa oh mengapa? Karena oh sebab, Dina dan Dedy bawa kamera profesional! Iyaaa..itu lhoo…kamera bagus yang keren banget ituuu… Lengkap bawa tripod pula mereka. Saya dengan gairah narsisme yang sudah terbukti dan teruji pun langsung membayangkan, beuh..betapa kerennya foto-foto kami nantinya…
Perjalanan dimulai dengan proses keberangkatan yang bikin deg-degan, karena kami berkejaran dengan waktu check in. Proses ini melibatkan ketinggalan bus, ketinggalan kereta, dan terpisah saat naik shuttle bus ke airport. Sampai di counter check in pun masih ada drama yang diprakarsai oleh petugas counter yang ngotot bahwa tripod Dina tidak bisa dimasukkan ke bagasi kabin karena termasuk barang berbahaya, dengan alasan: “It can hurt you when it fell and hit your head”. Oh, oke mbak..tapi kayaknya novel Harry Potter pun bisa dikategorikan berbahaya kalo alasannya adalah kalo jatuh ke kepala bisa menyakitkan. Well, anyway…
Naik pesawat, saya sempat panik karena dua hal. Satu, pesawatnya kayaknya lagi masuk angin atau flu atau apapun lah, pokoknya ga enak banget ditumpangi. Kedua, Dedy, yang duduk di sebelah saya terpisah gang kelihatan begitu ketakutan, membuat saya ketularan deg-deg an juga. Alasan dia sih, dia ga pernah naik pesawat dari Wonogiri ke Jakarta. Yeah, rite...
Setelah perjalanan selama sekitar satu jam, sampailah kami di Hobart. Turun dari pesawat, mau masuk ke gedung bandaranya..kami bengong melihat plang peringatan karantina, yang menyatakan bahwa tidak boleh ada buah-buahan yang boleh masuk ke Tasmania dari luar. Masalahnya adalah... Dinni bawa pisang. Ponco bawa apel (atau aprikot? Atau jeruk? Apapun lah, pokoknya buah yang bulet). Dina bawa telur dadar. Iya, yang terakhir ini memang bukan buah sih, tapi siapa tau kaaaannn... Tidak rela perbekalan kami berakhir dengan nelangsa di tempat sampah, jadilah kami berdiri di luar gedung bandara, sambil makan apel (confirmed, saya udah inget, it was apple), makan pisang, dan telur dadar. Pemandangan yang tidak lazim sepertinya memang ya..makan buah-buahan (dan telur) di luar gedung bandara. Sampai di penginapan, beberes dan benah2 dikit, kami langsung meluncuuurrr... Yah, bagusnya hotel ini sih ya posisinya yang di tengah kota. Selain itu resepsionisnya juga dengan baik hatinya menyarankan tempat-tempat yang bisa kami datangi dengan berjalan kaki. Wahai para resepsionis hotel di Indonesia, yang kayak gini nih mesti dicontoh!
Jadi di hari pertama, kami pun mengelilingi pusat kota Hobart. Ih, ternyata kota ini kecil juga ya... kop roll empat setengah kali juga udah bisa kok. Kami mulai dari Franklin Square, dan di bawah ini adalah salah satu foto kami disana, yang kami nobatkan sebagai salah satu best shot of the trip (mohon maaph dengan masalah resolusi foto, saya donlod dari fesbuknya Dedy, file aslinya belum sempet ngopi).
Dari Franklin Square, kami mencari obyek wisata yang gretongan, sehingga diputuskanlah bahwa the next destination is Tasmanian Museum. Sampailah kami disana sekitar satu jam sebelum museumnya tutup. Mungkin pengelola museum, setelah melihat kelakuan kami disana, menyesali kenapa hari itu mereka tidak tutup lebih awal dibanding biasanya. Secara kami disana kerjaannya foto-foto melulu, dan 50% dari gaya berfoto kami sungguh tidak bisa diterima oleh akal sehat manusia.
Hafiz itu lho..entah apa maksud gayanya itu...
Next! Jalan lagi… dan ternyata angin kencang menyambut kami. Tentu saja saya yang imut mungil dan menggemaskan ini yang paling merasakan efeknya, dimana saya harus dengan susah payah mempertahankan diri agar tidak terculik oleh angin kencang tersebut entah kemana. Teman-teman saya dengan penuh rasa iba mentertawakan betapa angin itu membuat kelangsungan perjalanan wisata saya terancam berakhir sampai disitu. Dan disini Dina dengan teganya menunjukkan satu fakta: “ Ya ampun Amiiiii… kamu itu sedadanya Dedy aja ga nyampe yaaa…!!!”. Dedy ngakak, Ponco tertawa puas, Dini terkikik geli, M’Gita dengan tanpa sopan santun tertawa, dan saya langsung mengambil keputusan bulat: “AKU GA MAU DIFOTO DALAM POSISI DI SEBELAH DEDY!”. Muter-muter demi memenuhi ambisi saya mencari plang bertuliskan University of Tasmania (entah karena mereka ga tega sama saya atau cuma supaya saya ga merepet sepanjang perjalanan), akhirnya kami berhasil menemukan gedung yang memajang tulisan yang saya maksud dalam ukuran yang cukup representatif.
*bersama si tulisan yang saya cari-cari itu *
Karena si gedung University of Tasmania ini (salah satu gedungnya saja, kompleks utamanya ternyata masih jauh) letaknya berdekatan dengan deretan pelabuhan, jadilah kami berfoto-foto kembali dengan latar belakang kapal-kapal.
Menjelang hari gelap (sori bahasanya jayus), kami udah nyampe ke sudut lain dari Hobart (have I told you before that it’s such a small city?). Demi melihat gedung-gedung kuno, Dini memunculkan ide berfoto dengan gaya djaman doeloe. Dedy yang tadinya sempat mengeluh lelah berfoto dan memfoto kami, tiba-tiba saja semangat lagi mengganti lensa kameranya. Jadilah salah satu foto ini, yang menurut kami adalah foto gaya Harry Potter
gaya para siswa terbaik Syltherin
Keren ya? Saya terlihat seperti siswa Sytherin yang mengalami malnutrisi, Hafiz nampak akan berubah menjadi werewolf dalam waktu 2 2/3 menit lagi, Dina seakan memiliki tatapan mata pembunuh sejati, dan Dini jadi mirip debt collector berdarah dingin. Weisss.. mantep dah pokoknya…
Anyway, itu adalah sesi foto-foto terakhir kami di hari pertama. Hari kedua? Teteup... But it would be another posting. Ami, over and out!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar