Rabu, 04 Februari 2009

Mengenang Kebakaran

Hari ini tadi, dalam perjalanan pulang dari Gramedia, beberapa mobil pemadam kebakaran melintas dengan ngebutnya melewati angkot yang saya tumpangi. Just a quick info, menurut saya, Banjarmasin adalah kota dengan jumlah mobil pemadam terbanyak di Indonesia. Kayaknya tiap 2 RT ada satu unit mobil pemadam deh. Di RT saya aja ada kok mobil pemadam, parkirnya di Musholla belakang rumah. Dan ini bukan tanpa sebab. Banjarmasin, dengan rumah-rumahnya yang didominasi dari bahan kayu, beriklim cukup panas plus tata kota dengan rumah yang berdesakan memang langganan kebakaran. Alhamdulillah, sejauh ini saya belum pernah mengalami kebakaran secara pribadi *aduh, jangan sampai deh kalo bisa*. Tapi kalo peristiwa yang nyaris berakhir dengan ikut terbakarnya rumah kami sih pernah beberapa kali terjadi. Mulai dari kebakaran ilalang di samping rumah gara-gara ada anak tetangga *well, saya ikutan juga sih* yang main kembang api, korleting di rumah sebelah. Yang paling akhir mungkin kejadian sekitar 4-5 tahun yang lalu. Saya inget banget. Waktu itu tahun 2004, pas pelaksanaan PEMILU. Jadi setelah paginya menjalankan kewajiban *atau hak sih?* sebagai warga negara yang baik, siang yang tenang itupun saya lalui di kamar, mendengarkan hasil perolehan suara yang dibacakan di Musholla. Nah, sekitar jam 3 - 3.30an gitu, kamar sebelah diketuk sama Yana, anak angkatnya orangtua saya. Kamar sebelah tu kamarnya Ita, adek saya. Tapi biasanya Mama tidur siang disana sama-sama Ita. Si Yana, dengan suara sepelan mungkin sambil menggendong Dian *waktu itu umurnya 1,5 tahun* ngomong gini ke Mama:
Yana : Bu, temen Ibu di seberang rumah yang suka ke arisan RT sama-sama...
Mama : Mama Atik? Iya, kenapa?
Yana : Itu Bu...
Mama : Itu kenapa?
Yana : Rumahnya lagi kebakaran
Dan mohon dicatat, suara Yana saat itu tanpa ekspresi, cenderung pelan banget malah. Menurut pengakuan Yana sih, waktu itu dia takut mengagetkan Mama. Tapi teteup aja, denger kata KEBAKARAN, Mama langsung loncat sambil neriakin saya: “Mi, Api Mi di rumah Atik!”. Saya ikut loncat dari tempat tidur, lari ke depan rumah. Doni, tetangga depan rumah *tapi bukan yang rumahnya lagi kebakaran* lagi mukul-mukul tiang listrik pake kayu gitu sambil teriak-teriak. Saya langsung ngeliatin rumah K’Atik yang persis di sebelah rumah Doni. Nah, yang kebakar itu rumah yang disebelahnya lagi, tapi kedua rumah itu ada dalam satu pagar, soalnya masih satu keluarga gitu. Jadilah kami semua panik dot kom. Pernah denger dong, kalo siapa kita sebenernya bisa keliatan dari bagaimana kita bersikap dalam keadaan di bawah tekanan dan ketegangan? Dan dalam kondisi kebakaran, biasanya kita akan langsung menyelamatkan apa atau siapa yang paling penting bagi kita. Abah langsung mengeluarkan tas koper hitam yang isinya semua dokumen penting. Mama menarik laci dan mengeluarkan tas yang isinya semua buku tabungan kami. Saya? Karena saat itu saya lagi dalam posisi pencari kerja sejati, maka tujuan utama saya adalah map yang isinya semua ijazah saya. Semua langsung kami lemparkan ke dalam mobil, yang dikeluarkan Eman *cowok yang dulu sempet nge-kost gitu di rumah kami* dari garasi. Nah, tergambar kan apa saja yang penting bagi kami? Tapi sodara-sodara, adik saya yang IPKnya 3,5 itu, muncul sambil membawa apa coba? Satu stel piama. Piama ungu bergambar buah terong kesukaannya. Dengan wajah panik. Seriuuuusss…. Di saat kami muncul dengan kertas mengertas dan dokumen-dokumen yang berkaitan dengan identitas dan kelangsungan hidup, dia berpikir bahwa piama-ungu-bergambar-terong adalah barang pribadi pertamanya yang harus diselamatkan. Saya udah speechless. Mobil langsung dilarikan Eman ke ujung jalan, sementara mobil-mobil pemadam mulai berdatangan. Saya udah bilang kan bahwa Banjarmasin ini banyak sekali punya mobil pemadam? Alhamdulillah, dalam waktu sekitar setengah jam, apinya udah bisa dipadamkan, meskipun satu rumah itu habis terbakar. Tapi at least, apinya tidak sempat merembet kemana-mana. Memang sih, pengalaman itu agak-agak traumatis. Tapi sampai sekarang, masih ada yang kami pertanyakan: kenapa harus piama-ungu-bergambar-terong itu yang pertama kali diselamatkan oleh Ita? Kalo menurut pengakuan Ita, sebenernya hal pertama yang dia inget waktu itu adalah skripsi dia *pas kejadian, Ita yang masih kuliah di IPB memang lagi liburan di rumah gitu sambil mengerjakan skripsi kalo inget, niat dan lagi insaf*. Karena filenya ada di komputer Abah di atas, dia langsung lari ke atas untuk menyelamatkan komputer itu. Tapi niatnya langsung batal begitu nyadar kalo dia ga kuat ngangkat si CPU. Larilah dia ke bawah, yang dia inget selanjutnya adalah hobinya bermalas-malasan sambil nonton TV. Tapi niat menyelamatkan TV kembali terbentur kenyataan berat TV dan kekuatan Ita yang tidak seimbang. Pikiran ketiganya adalah, kalo kejadian terburuknya adalah kami harus mengungsi, dia tidak akan bisa tidur dengan nyaman tanpa berganti baju. Jadilah dia memilih untuk menyelamatkan piama kesayangannya itu. Berdasarkan kejadian tersebut, saya jadi merasa sangat yakin, Ita perlu lebih memaknai konsep dari PRIORITAS.

2 komentar:

  1. adiknya cepat sekali berpikir dalam keadaan gawat. Tiap orang memang memiliki pemikiran yang berbeda dalam menyikapi keadaan. Mungkin yang paling tepat dari adiknya ya menyelamatkan piyama. Mungkin aja skripsinya juga belom dimulai waktu itu :D jadi dia nyantai2 aja. kwkwkw

    BalasHapus
  2. ngomon-ngomong soal kebakaran, mba... udah nonton Ladder 49 belom?
    ceritanya tentang Pemadam Kebakaran... Keren banget...
    Very touching... T_T

    BalasHapus

Rabu, 04 Februari 2009

Mengenang Kebakaran

Hari ini tadi, dalam perjalanan pulang dari Gramedia, beberapa mobil pemadam kebakaran melintas dengan ngebutnya melewati angkot yang saya tumpangi. Just a quick info, menurut saya, Banjarmasin adalah kota dengan jumlah mobil pemadam terbanyak di Indonesia. Kayaknya tiap 2 RT ada satu unit mobil pemadam deh. Di RT saya aja ada kok mobil pemadam, parkirnya di Musholla belakang rumah. Dan ini bukan tanpa sebab. Banjarmasin, dengan rumah-rumahnya yang didominasi dari bahan kayu, beriklim cukup panas plus tata kota dengan rumah yang berdesakan memang langganan kebakaran. Alhamdulillah, sejauh ini saya belum pernah mengalami kebakaran secara pribadi *aduh, jangan sampai deh kalo bisa*. Tapi kalo peristiwa yang nyaris berakhir dengan ikut terbakarnya rumah kami sih pernah beberapa kali terjadi. Mulai dari kebakaran ilalang di samping rumah gara-gara ada anak tetangga *well, saya ikutan juga sih* yang main kembang api, korleting di rumah sebelah. Yang paling akhir mungkin kejadian sekitar 4-5 tahun yang lalu. Saya inget banget. Waktu itu tahun 2004, pas pelaksanaan PEMILU. Jadi setelah paginya menjalankan kewajiban *atau hak sih?* sebagai warga negara yang baik, siang yang tenang itupun saya lalui di kamar, mendengarkan hasil perolehan suara yang dibacakan di Musholla. Nah, sekitar jam 3 - 3.30an gitu, kamar sebelah diketuk sama Yana, anak angkatnya orangtua saya. Kamar sebelah tu kamarnya Ita, adek saya. Tapi biasanya Mama tidur siang disana sama-sama Ita. Si Yana, dengan suara sepelan mungkin sambil menggendong Dian *waktu itu umurnya 1,5 tahun* ngomong gini ke Mama:
Yana : Bu, temen Ibu di seberang rumah yang suka ke arisan RT sama-sama...
Mama : Mama Atik? Iya, kenapa?
Yana : Itu Bu...
Mama : Itu kenapa?
Yana : Rumahnya lagi kebakaran
Dan mohon dicatat, suara Yana saat itu tanpa ekspresi, cenderung pelan banget malah. Menurut pengakuan Yana sih, waktu itu dia takut mengagetkan Mama. Tapi teteup aja, denger kata KEBAKARAN, Mama langsung loncat sambil neriakin saya: “Mi, Api Mi di rumah Atik!”. Saya ikut loncat dari tempat tidur, lari ke depan rumah. Doni, tetangga depan rumah *tapi bukan yang rumahnya lagi kebakaran* lagi mukul-mukul tiang listrik pake kayu gitu sambil teriak-teriak. Saya langsung ngeliatin rumah K’Atik yang persis di sebelah rumah Doni. Nah, yang kebakar itu rumah yang disebelahnya lagi, tapi kedua rumah itu ada dalam satu pagar, soalnya masih satu keluarga gitu. Jadilah kami semua panik dot kom. Pernah denger dong, kalo siapa kita sebenernya bisa keliatan dari bagaimana kita bersikap dalam keadaan di bawah tekanan dan ketegangan? Dan dalam kondisi kebakaran, biasanya kita akan langsung menyelamatkan apa atau siapa yang paling penting bagi kita. Abah langsung mengeluarkan tas koper hitam yang isinya semua dokumen penting. Mama menarik laci dan mengeluarkan tas yang isinya semua buku tabungan kami. Saya? Karena saat itu saya lagi dalam posisi pencari kerja sejati, maka tujuan utama saya adalah map yang isinya semua ijazah saya. Semua langsung kami lemparkan ke dalam mobil, yang dikeluarkan Eman *cowok yang dulu sempet nge-kost gitu di rumah kami* dari garasi. Nah, tergambar kan apa saja yang penting bagi kami? Tapi sodara-sodara, adik saya yang IPKnya 3,5 itu, muncul sambil membawa apa coba? Satu stel piama. Piama ungu bergambar buah terong kesukaannya. Dengan wajah panik. Seriuuuusss…. Di saat kami muncul dengan kertas mengertas dan dokumen-dokumen yang berkaitan dengan identitas dan kelangsungan hidup, dia berpikir bahwa piama-ungu-bergambar-terong adalah barang pribadi pertamanya yang harus diselamatkan. Saya udah speechless. Mobil langsung dilarikan Eman ke ujung jalan, sementara mobil-mobil pemadam mulai berdatangan. Saya udah bilang kan bahwa Banjarmasin ini banyak sekali punya mobil pemadam? Alhamdulillah, dalam waktu sekitar setengah jam, apinya udah bisa dipadamkan, meskipun satu rumah itu habis terbakar. Tapi at least, apinya tidak sempat merembet kemana-mana. Memang sih, pengalaman itu agak-agak traumatis. Tapi sampai sekarang, masih ada yang kami pertanyakan: kenapa harus piama-ungu-bergambar-terong itu yang pertama kali diselamatkan oleh Ita? Kalo menurut pengakuan Ita, sebenernya hal pertama yang dia inget waktu itu adalah skripsi dia *pas kejadian, Ita yang masih kuliah di IPB memang lagi liburan di rumah gitu sambil mengerjakan skripsi kalo inget, niat dan lagi insaf*. Karena filenya ada di komputer Abah di atas, dia langsung lari ke atas untuk menyelamatkan komputer itu. Tapi niatnya langsung batal begitu nyadar kalo dia ga kuat ngangkat si CPU. Larilah dia ke bawah, yang dia inget selanjutnya adalah hobinya bermalas-malasan sambil nonton TV. Tapi niat menyelamatkan TV kembali terbentur kenyataan berat TV dan kekuatan Ita yang tidak seimbang. Pikiran ketiganya adalah, kalo kejadian terburuknya adalah kami harus mengungsi, dia tidak akan bisa tidur dengan nyaman tanpa berganti baju. Jadilah dia memilih untuk menyelamatkan piama kesayangannya itu. Berdasarkan kejadian tersebut, saya jadi merasa sangat yakin, Ita perlu lebih memaknai konsep dari PRIORITAS.

2 komentar:

  1. adiknya cepat sekali berpikir dalam keadaan gawat. Tiap orang memang memiliki pemikiran yang berbeda dalam menyikapi keadaan. Mungkin yang paling tepat dari adiknya ya menyelamatkan piyama. Mungkin aja skripsinya juga belom dimulai waktu itu :D jadi dia nyantai2 aja. kwkwkw

    BalasHapus
  2. ngomon-ngomong soal kebakaran, mba... udah nonton Ladder 49 belom?
    ceritanya tentang Pemadam Kebakaran... Keren banget...
    Very touching... T_T

    BalasHapus