Senin, 09 November 2009

Sekali Lagi: Dokter Gigi

Saya sama seperti sekitar 769.388.235 manusia lainnya *mungkin lebih, mungkin kurang, it’s just a rough estimation* yang lebih memilih mengisi TTS berukuran 1m x 1m dibanding harus ke dokter gigi. Seperti yang pernah saya posting disini, bahkan ujian pun terasa seperti liburan ke Ancol dibandingkan kalo harus ke dokter gigi. Tapi beberapa minggu yang lalu, saya terpaksa mesti berhadapan dengan dokter gigi lagi. Tapi sekali ini, bukan saya yang bermasalah dengan gigi, melainkan keponakan saya yang baru menginjak usia 6 tahun, si Dian *atau Didut, atau Duduy, atau Unyil, tergantung sebaik hati apa saya waktu memanggilnya*. Diawali dengan Dian yang mengeluh sakit gigi di suatu hari, saya dan Mama dengan berbekalkan sebuah emergency lamp berukuran mini mencermati mulut Dian yang kami perintahkan untuk dibuka selebar-lebarnya. Berdasarkan hasil observasi kami, sepertinya ada dua buah penampakan di gigi geraham Dian yang bagi kami merepresentasikan lubang. Kareena kebetulan mamanya Dian sedang pulang menjenguk ibunya di Brebes sana, siapa lagi yang harus menerima tongkat kehormatan berisikan tugas mengantar Dian ke dokter gigi? Fedi Nuril? I WISH! Tentu saja saya yang menjabat sebagai tante yang gemilang inilah yang harus tabah diseret Dian untuk mengantarkannya ke dokter gigi. Menyesuaikan dengan jadwal saya dan jadwal sekolah Dian, disepakatilah suatu hari Sabtu yang cerah ceria sebagai saat yang dianggap tepat untuk menyambangi dokter gigi. Tapi begitu saya sampai di tempat praktek dokter gigi yang dituju, saya terpaksa harus menghadapi satu fakta yang menyakitkan:

sang dokter gigi telah pergi! Dia pindah tempat praktek!

Duh, betapa hancurnya hati kami ketika menerima kenyataan bahwa sang dokter gigi yang telah menjadi langganan kami selama SEMBILAN tahun pergi begitu saja meninggalkan kami tanpa pesan apapun, selain secarik kertas yang ditempel di pintu tempat prakteknya yang lama, bertuliskan alamat praktek barunya… Anyway, the show must go on: Dian tetap harus ke dokter gigi. Siapapun dokternya. Maka dengan berbagai pertimbangan, Mama menitahkan saya untuk mengantarkan Dian ke seorang dokter gigi lain, yang lokasi tempat prakteknya… ga sampe 500 meter dari rumah kami.

To cut the story short, duduklah Dian di kursi pasien, dengan sang dokter, seorang laki-laki muda berwajah dan berbadan bundar yang mengutak-atik gigi Dian. Setelah beberapa menit, mas doketr pun memanggil saya, dan menunjukkan sebuah gigi yang tumbuh di belakang gigi lainnya. Menurut mas dokter, gigi yang mulai tumbuh itu adalah gigi permanen, tapi gigi susu yang seharusnya digantikan oleh gigi itu belum goyah, sehingga harus dicabut. Dian, yang masih terlalu muda dan belum mengerti akan kejamnya dunia, manggut-manggut saja mengiyakan waktu dokternya bertanya, apakah Dian mau aja giginya dicabut. Sementara si pengantar yang manis ini *yaitu saya sendiri* tiba-tiba saja menghadapi dilema, antara pengen langsung balik kanan dan lari, tapi juga ga sanggup membayangkan bagaimana komentar Mama kalau tahu saya mundur tidak teratur saat harus menemani Dian cabut gigi. Akhirnya, setelah setengah menit kebimbangan, saya dengan nada suara yang sungguh tidak mantap ngomong: “Ya udah Dok, cabut aja”. Dian pun bersiap. Saya memegangi tangannya sambil mewanti-wanti dia: “Dian, nanti buka mulut terus ya. Terus kalo sakit dan Dian mau nangis. NANGIS AJA. Gapapa kok. Tante Ami aja nangis kok waktu giginya dicabut.”. Walaupun menguat-nguatkan diri, saya tetep aja nyaris pengen terjun ke sumur begitu melihat mas dokter tanpa perubahan ekspresi mengeluarkan TANG. Atau apapunlah namanya, bagi saya alat yang dia keluarkan terlihat seperti tang yang biasanya dipakai untuk mencabut paku dan semacamnya. Sempat terjadi dialog singkat antara saya dan Mas Dokter:

Mas Dokter: *ngomong ke Dian* Ga papa kok Dik, ga sakit kok. Beneran deh.

Saya: Dok, SEMUA dokter gigi ngomong gitu sebelum mencabut gigi pasiennya.

Mas Dokter: *menatap saya sambil tersenyum* oh ya?

Saya: Iya. Dan bagi saya, mereka semua berbohong.

Mas Dokter: …

Prosesnya singkat. Tiba-tiba saja si dokter sudah mengacungkan tang yang membawa sebuah gigi mungil. Dan begitu melihat darah mengalir dari lubang mungil di mulut Dian, saya langsung nangis. Dian? Dia diem. Dengan ekspresi kosong. Dia mengikuti suruhan dokter untuk berkumur dan menapalkan segulung kapas di lubang yang berdarah itu. Tapi dia tidak ngomong apapun. Sedikitpun. Teriak juga enggak. NANGIS JUGA ENGGAK. Saya, dengan mata yang berlinangan air mata, bengong menatap dia. Setelah beberapa detik keheningan *selain suara isakan saya*, saya dan mas dokter berbarengan nanya ke Dian: “Sakit ga?”. Dian mengangguk. Masih TANPA MENANGIS SEDIKIT PUN. Masih penasaran, saya lalu nanya lagi: “Terus, kok Dian ga nangis?”. Masih dengan wajah tanpa ekpresi, Dian menyahut: “Dian nangisnya dalam hati”.

Si dokter manggut-manggut sambil tersenyum puas. Saya berasa pengen menggaruk-garuk lantai keramik…

4 komentar:

  1. heheheheh.. ceritanya lucu..
    trus gimana kabarnya si Dian itu?
    =D

    BalasHapus
  2. ini mah tantenya aja yang keganjenan. lebay tau? ponakannya dong, gue demen banget deh sama dian. jangan ikutan lebay kayak tante ami ya, sayang?

    BalasHapus
  3. aku setuju fakta klo duduk di kursi dokter gigi itu serasa mau dihukum mati, tapi dirimu yg sesenggrukan padahal dian yg dicabut?? OMG...

    BalasHapus

Senin, 09 November 2009

Sekali Lagi: Dokter Gigi

Saya sama seperti sekitar 769.388.235 manusia lainnya *mungkin lebih, mungkin kurang, it’s just a rough estimation* yang lebih memilih mengisi TTS berukuran 1m x 1m dibanding harus ke dokter gigi. Seperti yang pernah saya posting disini, bahkan ujian pun terasa seperti liburan ke Ancol dibandingkan kalo harus ke dokter gigi. Tapi beberapa minggu yang lalu, saya terpaksa mesti berhadapan dengan dokter gigi lagi. Tapi sekali ini, bukan saya yang bermasalah dengan gigi, melainkan keponakan saya yang baru menginjak usia 6 tahun, si Dian *atau Didut, atau Duduy, atau Unyil, tergantung sebaik hati apa saya waktu memanggilnya*. Diawali dengan Dian yang mengeluh sakit gigi di suatu hari, saya dan Mama dengan berbekalkan sebuah emergency lamp berukuran mini mencermati mulut Dian yang kami perintahkan untuk dibuka selebar-lebarnya. Berdasarkan hasil observasi kami, sepertinya ada dua buah penampakan di gigi geraham Dian yang bagi kami merepresentasikan lubang. Kareena kebetulan mamanya Dian sedang pulang menjenguk ibunya di Brebes sana, siapa lagi yang harus menerima tongkat kehormatan berisikan tugas mengantar Dian ke dokter gigi? Fedi Nuril? I WISH! Tentu saja saya yang menjabat sebagai tante yang gemilang inilah yang harus tabah diseret Dian untuk mengantarkannya ke dokter gigi. Menyesuaikan dengan jadwal saya dan jadwal sekolah Dian, disepakatilah suatu hari Sabtu yang cerah ceria sebagai saat yang dianggap tepat untuk menyambangi dokter gigi. Tapi begitu saya sampai di tempat praktek dokter gigi yang dituju, saya terpaksa harus menghadapi satu fakta yang menyakitkan:

sang dokter gigi telah pergi! Dia pindah tempat praktek!

Duh, betapa hancurnya hati kami ketika menerima kenyataan bahwa sang dokter gigi yang telah menjadi langganan kami selama SEMBILAN tahun pergi begitu saja meninggalkan kami tanpa pesan apapun, selain secarik kertas yang ditempel di pintu tempat prakteknya yang lama, bertuliskan alamat praktek barunya… Anyway, the show must go on: Dian tetap harus ke dokter gigi. Siapapun dokternya. Maka dengan berbagai pertimbangan, Mama menitahkan saya untuk mengantarkan Dian ke seorang dokter gigi lain, yang lokasi tempat prakteknya… ga sampe 500 meter dari rumah kami.

To cut the story short, duduklah Dian di kursi pasien, dengan sang dokter, seorang laki-laki muda berwajah dan berbadan bundar yang mengutak-atik gigi Dian. Setelah beberapa menit, mas doketr pun memanggil saya, dan menunjukkan sebuah gigi yang tumbuh di belakang gigi lainnya. Menurut mas dokter, gigi yang mulai tumbuh itu adalah gigi permanen, tapi gigi susu yang seharusnya digantikan oleh gigi itu belum goyah, sehingga harus dicabut. Dian, yang masih terlalu muda dan belum mengerti akan kejamnya dunia, manggut-manggut saja mengiyakan waktu dokternya bertanya, apakah Dian mau aja giginya dicabut. Sementara si pengantar yang manis ini *yaitu saya sendiri* tiba-tiba saja menghadapi dilema, antara pengen langsung balik kanan dan lari, tapi juga ga sanggup membayangkan bagaimana komentar Mama kalau tahu saya mundur tidak teratur saat harus menemani Dian cabut gigi. Akhirnya, setelah setengah menit kebimbangan, saya dengan nada suara yang sungguh tidak mantap ngomong: “Ya udah Dok, cabut aja”. Dian pun bersiap. Saya memegangi tangannya sambil mewanti-wanti dia: “Dian, nanti buka mulut terus ya. Terus kalo sakit dan Dian mau nangis. NANGIS AJA. Gapapa kok. Tante Ami aja nangis kok waktu giginya dicabut.”. Walaupun menguat-nguatkan diri, saya tetep aja nyaris pengen terjun ke sumur begitu melihat mas dokter tanpa perubahan ekspresi mengeluarkan TANG. Atau apapunlah namanya, bagi saya alat yang dia keluarkan terlihat seperti tang yang biasanya dipakai untuk mencabut paku dan semacamnya. Sempat terjadi dialog singkat antara saya dan Mas Dokter:

Mas Dokter: *ngomong ke Dian* Ga papa kok Dik, ga sakit kok. Beneran deh.

Saya: Dok, SEMUA dokter gigi ngomong gitu sebelum mencabut gigi pasiennya.

Mas Dokter: *menatap saya sambil tersenyum* oh ya?

Saya: Iya. Dan bagi saya, mereka semua berbohong.

Mas Dokter: …

Prosesnya singkat. Tiba-tiba saja si dokter sudah mengacungkan tang yang membawa sebuah gigi mungil. Dan begitu melihat darah mengalir dari lubang mungil di mulut Dian, saya langsung nangis. Dian? Dia diem. Dengan ekspresi kosong. Dia mengikuti suruhan dokter untuk berkumur dan menapalkan segulung kapas di lubang yang berdarah itu. Tapi dia tidak ngomong apapun. Sedikitpun. Teriak juga enggak. NANGIS JUGA ENGGAK. Saya, dengan mata yang berlinangan air mata, bengong menatap dia. Setelah beberapa detik keheningan *selain suara isakan saya*, saya dan mas dokter berbarengan nanya ke Dian: “Sakit ga?”. Dian mengangguk. Masih TANPA MENANGIS SEDIKIT PUN. Masih penasaran, saya lalu nanya lagi: “Terus, kok Dian ga nangis?”. Masih dengan wajah tanpa ekpresi, Dian menyahut: “Dian nangisnya dalam hati”.

Si dokter manggut-manggut sambil tersenyum puas. Saya berasa pengen menggaruk-garuk lantai keramik…

4 komentar:

  1. heheheheh.. ceritanya lucu..
    trus gimana kabarnya si Dian itu?
    =D

    BalasHapus
  2. ini mah tantenya aja yang keganjenan. lebay tau? ponakannya dong, gue demen banget deh sama dian. jangan ikutan lebay kayak tante ami ya, sayang?

    BalasHapus
  3. aku setuju fakta klo duduk di kursi dokter gigi itu serasa mau dihukum mati, tapi dirimu yg sesenggrukan padahal dian yg dicabut?? OMG...

    BalasHapus