Minggu, 23 Desember 2012

Me Being A Scholarship Hunter (3) - Another Interview


Yeah! The next one in this series *beuh, berasa kayak sinetron atau apa gitu ya...*. Anyway, really, ini masih lanjutan dari cerita-cerita soal saya yang mencari jalan untuk jalan-jalan gratis ke luar negri dengan kedok tugas belajar jadi pemburu beasiswa.

Sekitar satu minggu setelah saya mendapatkan hasil beasiswa Fulbright Presidential, saya udah dapet imel aja soal jadwal GRE. Dan tentu saja, langsung setres dot kom. GRE itu kan Tes Potensi Akademik versi Amerika. Lah, yang TPA Indonesia aja saya gak pernah tes, ini udah harus tes begituan. Udah pengen loncat ke kompor meledak aja rasanya.

Aaanyway... Seminggu sebelum tes, tiba-tiba saja Mbak Tia dari AMINEF nelfon saya.
Mbak, GRE dan iBT-nya Mbak kamimundurkan jadwalnya ya, soalnya tanggal 17-18 itu Mbak dijadwalkan untuk wawancara DIKTI-Fulbright.”
Saya langsung iya..iya aja, karena pas nerima telfon cuma mikir, Alhamdulillah, dapet tambahan waktu untuk mempersiapkan GRE.

Pas nutup telfon, 15 menit kemudian, baru saya nyadar. Eh, apa? Wawancara? Saya langsung tepok jidat. Iya ya, saya kan daftar AMINEF untuk dua scheme, Satu yang Presidential, satulagi yang kerjasama AMINEF sama pihak DIKTI. Yang tadinya lega malah jadi panik lagi. Tingkat kepanikan saya naik jadi setengah oktaf lagi begitu liat pengumuman di website DIKTI. Lah, kok ada lagi syarat administrasi yang harus saya penuhi yaaa? Mesti nyiapin surat izin Rektor lah, mesti ada LoA dari universitas lah. Ini aaaappppppaaaa? Mana jadwal wawancaranya juga gak jelas. Cuma disebutkan bahwa wawancaranya tanggal 18-19, tapi gak ada penjelasan saya dapet yang hari pertama apa hari kedua. 

Untunglah, 2 hari kemudian, datang imel dari pihak AMINEF, dengan jadwal wawancara yang lebih rinci. Tapi isi imel itu agak kontradiktif sama pengumuman yang ada di website DIKTI sih, karena kalo imel dari pihak AMINEF menyebutkan bahwa saya tidak perlu membawa berkas apa-apa lagi. Oh well, sepertinya karena memang di DIKTI ada banyak program beasiswa dan yang mengurusi cuma 8 orang, jadilah pengumuman DIKTI yang ditaruh di website cuma copy-paste dari pengumuman yang lain. Itu dugaan saya siiihhh...

Anyway, dengan tiket yang dikirimkan oleh pihak AMINEF, berangkatlah saya. Kali ini wawancaranya di kantor DIKTI, yang di sebelah Ratu Plaza ituuu. Dijadwalkan wawancara jam 09.30, saya utuk-utuk udah nongol di sana jam 08.00 lewat dikit. Udah ada Mas-mas yang lagi nungguin. Berkenalan lah kami. Si Mas *tadinya sih saya manggilnya Bapak, tapi lama kelamaan dia protes karena dia bilang dia masih muda -_-*. Ternyata Mas MAde itu dosen Udayana. Ih, orangnya...gokil XD. Kita ngobrolnya yang hereuy gitu. Dan ternyata nasib kami sama. Dia juga sebenernya alternate candidate untuk Fulbright Presidential. Lama kelamaan, mulai muncullah kandidat lain yang juga akan diwawancara. Selain itu, juga, ada bule-bule yang datang yang langsung kami tuduh sebagai pewawancara kami. Nah, kebetulan wawancara hari itu sekalian untuk program Master dan Ph.D. Jadi duduknya juga dibagi 2. Yang program Master di pojok kanan, kami dipojok kiri. Kami terharu melihat rombongan para kandidat Master itu dari tempat kami menunggu, Mereka terlihat begitu smart dan serius dan begitu kalem. Sementara kami malah ribut sendiri entah ngomongin apa. Ahahahaha... Apalagi kebetulan ada Mbak Nurhay, temen saya waktu di Monash dulu *yang ternyata adalah instrukturnya Mas Made waktu dia training IELTS di Malang* ikut muncul, karena pas dia lagi ada urusan di DIKTI. Jadilah para kandidat yang mau wawancara untuk program PhD. malah pada ngobrol dengan riuh rendah.

Jam 09.00, pintu terbuka, dan Mas Made dipanggil masuk. Mulailah kami deg-deg jeder.

Sekitar setengah jam kemudian, Mas Made keluar, sambil geleng-geleng kepala. Okay, not a good sign. “Gila, lebih susah daripada yang pres...” katanya. Tentu saja, bikin saya tambah pengen nelen pedang. Belum sempat saya minta contekan lebih lanjut, pintu udah dibuka lagi, dan saya dipanggil masuk.

Begitu masuk, saya pengen muntah. Waktu wawancara yang Presidential dulu, wawancaranya di ruangan kecil gitu. Tapi ini, saya masuk ke semacam aula, dengan sebuah meja panjang di tengah ruangan. Ada 4 orang pewawancara yang sudah menunggu saya disitu dan Pak Piet yang mewakili AMINEF di pojok kanan. Untung langsung disuruh duduk. Secara saya rasanya udah lemes banget.
Short introductions with the interviewer, ada dua orang bule, dan dua orang dari DIKTI.
Pertanyaan pertama datang dari Prof. Tarkus yang mewakili DIKTI.

Pertanyaannya... “So, do you know a thing or two about philosophy? Tell us what you know about it...”

Saya bengong. Apa? Filosofi? Geez, I can’t even manage to finish reading Sophie’s World!!! Sambil sedikit mengerutkan kening *dan berharap I look smart* saya jawab. “Well, I know some of the philosophers... But I prefer the philosophy in some sort of a lighter way. My favourite one would be the philosophy coming from my favorite book: The Alchemist by Paulo Coelho”. Iya, saya waktu ngomong berusaha biasa aja. Padahal dalam hati saya panik sendiri. Sang Alkemis itu bisa dikategorikan buku filosofi gak siiiiihhh???

That was the first question. The next questions...jauh lebih membunuh.

“I can’t really have a grip of your research proposal. What is your hypothesis, actually?”

“No, you’re doing it a wrong way. It should be like this...”

“What is the real thing that you would do? Coming home with a Ph.D title is a thing, but to actually do something with it is more important. So, what are your plans?”

“You’re planning to do environmental sciences, right? What is the most important aspect of the environment that interest you?”

“According to you, what is the biggest environmental threat that Indonesia is facing now?”

“I have to disagree with you. Scientist should think like this....”

“Do you think that scientist can be a leader in the community?”

“You said that there is a misconception of how the environment is being managed. What is it, exactly?”

“Your research proposal is too broad. Explain to us how you would narrow it down...”

“No. You will not be able to use that kind of way to carry out this kind of research. Otherwise, your data will be impossible to be interpreted.”

All those questions yang membuat saya megap-megap, memutar otak dalam waktu sepersekian detik untuk just to helplessly search for some answer. Forget brilliant answer. I struggled so hard just to answer it. 

Tapi tentu saja, pertanyaan yang paling pengen membuat saya loncat dari Statue of Liberty adalah...

“What I am most concerned about your research proposal is, it’s not a Ph.D level. It’s barely even a Master level kind of research.”

Hening sesaat. Pengen nangis. Pengen teriak. But for God’s sake, I am in the middle of an interview!!!

So I just shrugged my shoulders, forced a smile, and said. “That’s exactly why I need advisor and supervisor in doing it”

Oh well, toh ada satu jawaban saya yang gak tau kenapa, I felt pretty proud of.

They asked me, “It’s a tough one, doing a Ph.D. You’re going to go through some hard times. Are you ready?”

I took a long breathe before I answer. “Well, I am a dreamer. It has always been one of my dreams, studying abroad. And more than just being a dreamer, I am also a fighter. I am a fighter, who is fighting for my dreams, and eventually, I will be a winner. I know I will.

Finally, FINALLY, saya diminta untuk keluar. Begitu nyampe keluar, saya langsung pengen nyari jendela terdekat, so I could just jump out of it. That’s  how stressed I was about the interview. Haha.

And so, that was my interview. I did not expect much, really, considering that I found the questions was quite hard for me.

Anyway, I’ll write more about my path of being a scholarship hunter in my next posting. For now, Ami, over and out!

3 komentar:

  1. Tumbeeeen dikti gak nanya tentang apa sudah menikah apa belom. kurasa karena ada penanya dari Aminef ya. kalo gak ada (kayak kami kemaren Neso-Nuffic gak diundang untuk ikut mewawancara), mungkin pertanyaannya akan ngalor ngidul kayak aku dan Adi dulu.

    BalasHapus
  2. Nyahahahaha... iya, kemaren Nana juga cerita kalo dirimu dan Adi ditanya soal itu. Eh, ternyata pas talent scouting kemaren yang aku ikut itu, pematerinya si Prof.Tarkus yang mewawancara pas AMINEF-DIKTI ini >_<.

    BalasHapus
  3. iya emang dia. yang monitoring ke belanda juga dia.

    BalasHapus

Minggu, 23 Desember 2012

Me Being A Scholarship Hunter (3) - Another Interview


Yeah! The next one in this series *beuh, berasa kayak sinetron atau apa gitu ya...*. Anyway, really, ini masih lanjutan dari cerita-cerita soal saya yang mencari jalan untuk jalan-jalan gratis ke luar negri dengan kedok tugas belajar jadi pemburu beasiswa.

Sekitar satu minggu setelah saya mendapatkan hasil beasiswa Fulbright Presidential, saya udah dapet imel aja soal jadwal GRE. Dan tentu saja, langsung setres dot kom. GRE itu kan Tes Potensi Akademik versi Amerika. Lah, yang TPA Indonesia aja saya gak pernah tes, ini udah harus tes begituan. Udah pengen loncat ke kompor meledak aja rasanya.

Aaanyway... Seminggu sebelum tes, tiba-tiba saja Mbak Tia dari AMINEF nelfon saya.
Mbak, GRE dan iBT-nya Mbak kamimundurkan jadwalnya ya, soalnya tanggal 17-18 itu Mbak dijadwalkan untuk wawancara DIKTI-Fulbright.”
Saya langsung iya..iya aja, karena pas nerima telfon cuma mikir, Alhamdulillah, dapet tambahan waktu untuk mempersiapkan GRE.

Pas nutup telfon, 15 menit kemudian, baru saya nyadar. Eh, apa? Wawancara? Saya langsung tepok jidat. Iya ya, saya kan daftar AMINEF untuk dua scheme, Satu yang Presidential, satulagi yang kerjasama AMINEF sama pihak DIKTI. Yang tadinya lega malah jadi panik lagi. Tingkat kepanikan saya naik jadi setengah oktaf lagi begitu liat pengumuman di website DIKTI. Lah, kok ada lagi syarat administrasi yang harus saya penuhi yaaa? Mesti nyiapin surat izin Rektor lah, mesti ada LoA dari universitas lah. Ini aaaappppppaaaa? Mana jadwal wawancaranya juga gak jelas. Cuma disebutkan bahwa wawancaranya tanggal 18-19, tapi gak ada penjelasan saya dapet yang hari pertama apa hari kedua. 

Untunglah, 2 hari kemudian, datang imel dari pihak AMINEF, dengan jadwal wawancara yang lebih rinci. Tapi isi imel itu agak kontradiktif sama pengumuman yang ada di website DIKTI sih, karena kalo imel dari pihak AMINEF menyebutkan bahwa saya tidak perlu membawa berkas apa-apa lagi. Oh well, sepertinya karena memang di DIKTI ada banyak program beasiswa dan yang mengurusi cuma 8 orang, jadilah pengumuman DIKTI yang ditaruh di website cuma copy-paste dari pengumuman yang lain. Itu dugaan saya siiihhh...

Anyway, dengan tiket yang dikirimkan oleh pihak AMINEF, berangkatlah saya. Kali ini wawancaranya di kantor DIKTI, yang di sebelah Ratu Plaza ituuu. Dijadwalkan wawancara jam 09.30, saya utuk-utuk udah nongol di sana jam 08.00 lewat dikit. Udah ada Mas-mas yang lagi nungguin. Berkenalan lah kami. Si Mas *tadinya sih saya manggilnya Bapak, tapi lama kelamaan dia protes karena dia bilang dia masih muda -_-*. Ternyata Mas MAde itu dosen Udayana. Ih, orangnya...gokil XD. Kita ngobrolnya yang hereuy gitu. Dan ternyata nasib kami sama. Dia juga sebenernya alternate candidate untuk Fulbright Presidential. Lama kelamaan, mulai muncullah kandidat lain yang juga akan diwawancara. Selain itu, juga, ada bule-bule yang datang yang langsung kami tuduh sebagai pewawancara kami. Nah, kebetulan wawancara hari itu sekalian untuk program Master dan Ph.D. Jadi duduknya juga dibagi 2. Yang program Master di pojok kanan, kami dipojok kiri. Kami terharu melihat rombongan para kandidat Master itu dari tempat kami menunggu, Mereka terlihat begitu smart dan serius dan begitu kalem. Sementara kami malah ribut sendiri entah ngomongin apa. Ahahahaha... Apalagi kebetulan ada Mbak Nurhay, temen saya waktu di Monash dulu *yang ternyata adalah instrukturnya Mas Made waktu dia training IELTS di Malang* ikut muncul, karena pas dia lagi ada urusan di DIKTI. Jadilah para kandidat yang mau wawancara untuk program PhD. malah pada ngobrol dengan riuh rendah.

Jam 09.00, pintu terbuka, dan Mas Made dipanggil masuk. Mulailah kami deg-deg jeder.

Sekitar setengah jam kemudian, Mas Made keluar, sambil geleng-geleng kepala. Okay, not a good sign. “Gila, lebih susah daripada yang pres...” katanya. Tentu saja, bikin saya tambah pengen nelen pedang. Belum sempat saya minta contekan lebih lanjut, pintu udah dibuka lagi, dan saya dipanggil masuk.

Begitu masuk, saya pengen muntah. Waktu wawancara yang Presidential dulu, wawancaranya di ruangan kecil gitu. Tapi ini, saya masuk ke semacam aula, dengan sebuah meja panjang di tengah ruangan. Ada 4 orang pewawancara yang sudah menunggu saya disitu dan Pak Piet yang mewakili AMINEF di pojok kanan. Untung langsung disuruh duduk. Secara saya rasanya udah lemes banget.
Short introductions with the interviewer, ada dua orang bule, dan dua orang dari DIKTI.
Pertanyaan pertama datang dari Prof. Tarkus yang mewakili DIKTI.

Pertanyaannya... “So, do you know a thing or two about philosophy? Tell us what you know about it...”

Saya bengong. Apa? Filosofi? Geez, I can’t even manage to finish reading Sophie’s World!!! Sambil sedikit mengerutkan kening *dan berharap I look smart* saya jawab. “Well, I know some of the philosophers... But I prefer the philosophy in some sort of a lighter way. My favourite one would be the philosophy coming from my favorite book: The Alchemist by Paulo Coelho”. Iya, saya waktu ngomong berusaha biasa aja. Padahal dalam hati saya panik sendiri. Sang Alkemis itu bisa dikategorikan buku filosofi gak siiiiihhh???

That was the first question. The next questions...jauh lebih membunuh.

“I can’t really have a grip of your research proposal. What is your hypothesis, actually?”

“No, you’re doing it a wrong way. It should be like this...”

“What is the real thing that you would do? Coming home with a Ph.D title is a thing, but to actually do something with it is more important. So, what are your plans?”

“You’re planning to do environmental sciences, right? What is the most important aspect of the environment that interest you?”

“According to you, what is the biggest environmental threat that Indonesia is facing now?”

“I have to disagree with you. Scientist should think like this....”

“Do you think that scientist can be a leader in the community?”

“You said that there is a misconception of how the environment is being managed. What is it, exactly?”

“Your research proposal is too broad. Explain to us how you would narrow it down...”

“No. You will not be able to use that kind of way to carry out this kind of research. Otherwise, your data will be impossible to be interpreted.”

All those questions yang membuat saya megap-megap, memutar otak dalam waktu sepersekian detik untuk just to helplessly search for some answer. Forget brilliant answer. I struggled so hard just to answer it. 

Tapi tentu saja, pertanyaan yang paling pengen membuat saya loncat dari Statue of Liberty adalah...

“What I am most concerned about your research proposal is, it’s not a Ph.D level. It’s barely even a Master level kind of research.”

Hening sesaat. Pengen nangis. Pengen teriak. But for God’s sake, I am in the middle of an interview!!!

So I just shrugged my shoulders, forced a smile, and said. “That’s exactly why I need advisor and supervisor in doing it”

Oh well, toh ada satu jawaban saya yang gak tau kenapa, I felt pretty proud of.

They asked me, “It’s a tough one, doing a Ph.D. You’re going to go through some hard times. Are you ready?”

I took a long breathe before I answer. “Well, I am a dreamer. It has always been one of my dreams, studying abroad. And more than just being a dreamer, I am also a fighter. I am a fighter, who is fighting for my dreams, and eventually, I will be a winner. I know I will.

Finally, FINALLY, saya diminta untuk keluar. Begitu nyampe keluar, saya langsung pengen nyari jendela terdekat, so I could just jump out of it. That’s  how stressed I was about the interview. Haha.

And so, that was my interview. I did not expect much, really, considering that I found the questions was quite hard for me.

Anyway, I’ll write more about my path of being a scholarship hunter in my next posting. For now, Ami, over and out!

3 komentar:

  1. Tumbeeeen dikti gak nanya tentang apa sudah menikah apa belom. kurasa karena ada penanya dari Aminef ya. kalo gak ada (kayak kami kemaren Neso-Nuffic gak diundang untuk ikut mewawancara), mungkin pertanyaannya akan ngalor ngidul kayak aku dan Adi dulu.

    BalasHapus
  2. Nyahahahaha... iya, kemaren Nana juga cerita kalo dirimu dan Adi ditanya soal itu. Eh, ternyata pas talent scouting kemaren yang aku ikut itu, pematerinya si Prof.Tarkus yang mewawancara pas AMINEF-DIKTI ini >_<.

    BalasHapus
  3. iya emang dia. yang monitoring ke belanda juga dia.

    BalasHapus