Senin, 03 Desember 2012
Me Being A Scholarship Hunter (2) - My Interview
Finally bisa nulis lanjutannya. Mehehehe...
Di posting sebelum ini, saya udah cerita soal perjuangan saya menjadi pemburu
beasiswa. Okay, now let’s get into something more detail.
Salah satu aplikasi
beasiswa yang saya ajukan ditahun ini adalah beasiswa Fulbright. Beasiswa ini
adalah salah satu beasiswa reguler untuk belajar di Amerika dari pemerintah AS
yang ditawarkan ke berbagai negara. Kalau di Indonesia, pihak yang in charge
untuk hal-hal berkaitan dengan beasiswa ini adalah AMINEF. Melalui AMINEF, ada
berbagai program beasiswa yang ditawarkan. Go have a look at their website. You
might find something that suits yourself.
Anyway, saya apply untuk dua program
beasiswa, Fulbright Presidential, dan Fulbright-DIKTI. Kalo yang pres, itu
memang program beasiswa rutin dari Fulbright, sementara yang satunya lagi kerja
sama dengan DIKTI. Biasanya orang yang baru tau kalo saya daftar untuk 2
beasiswa ini bakal nanya: “Emang boleh daftarnya 2 gitu?”. Iya. Boleh. Saya
nanya langsung waktu AMINEF (waktu itu yang presentasi Mbak Mita) sosialiasi tentang beasiswa Fulbright di
kampus IAIN Banjarmasin. (Eh, saya sampe dibela-belain lho ngejar sesi Q&A
ini sampe ke kampus orang gitu ._.). Kalau memang kita eligible untuk
mendaftar, kenapa enggak?
Banyak orang yang bilang bahwa beasiswa
Fulbright ini adalah salah satu beasiswa yang prestisius dan bergengsi.
Pertama, untuk belajar ke USA lho. And the reality is, USA memang salah satu
negara yang paling maju dan berkembang di bidang IPTEK dan pendidikan. Beasiswa
Fulbright ini gak cuma ditawarkan di Indonesia saja, tapi juga di berbagai
negara lain di seluruh dunia. Selain itu, konon selektivitasnya tinggi. Sebagai
gambaran saja, kabarnya rata-rata dalam setahun mereka menerima sekitar 2000
lebih aplikasi dari seluruh Indonesia. Yang dipanggil untuk wawancara cuma
sekitar 100 orang. Yang dapet akhirnya sekitar 30-40 orang gitu untuk program
S2 dan S3. Kalo gak salah lho yaaa...
Tapi kalo diliat dari segi persyaratannya,
ternyata gak seribet yang dibayangkan. Syaratnya cuma IPK (minimal 3.00 pada
skala 4.00) dan skor ITP (550 untuk S2 dan 575 untuk level S3). Formnya pun
cuma...4 lembar. EMPAT lembar. *bandingkan dengan program beasiswa lain yang
isiannya aja bisa sampe 20 lembar lebih*. Tapi selain form aplikasi, applicant
juga harus membuat Study Objectives (a short essay that explains why we want to
study in the USA). Untuk Ph.D dan research programs, disuruh menyertakan
Research Proposal juga. Dokumen lain cuma sertifikat ITP, copy ijazah dan
transkrip, sama surat rekomendasi. Sebenernya yang paling menentukan itu
katanya adalah Study Objectives dan Research Proposal, considering these things
can reflect the other qualities that the applicant has. Study Objectives
diminta cuma 1 halaman. Iya, cuma satu halaman, but it took me about 3 weeks to
write one. On one hand, it has to be concise *cuma SATU halaman lhooo*, but on
the other hand, si Study Objective ini mesti menggambarkan bahwa kita memang
layak dipertimbangkan untuk memperoleh beasiswa ini. Jadi dengan berbekal
berbagai tips that I picked up here and there, I wrote it, read it, did another
re-writing, re-read, dan terus begitu. At least I have to make sure that
there’s no silly grammatical or spelling mistakes there (padahal grammar is
where I am falling apart, in any language :( ). I even asked one of my
colleagues to check my study objectives and research proposal (thanks Pak Suryaaaa
=D, you’ve been a great inspiration and motivator for me!).
Deadline 15 April 2012, saya ngirimnya
tanggal 1 April. Berusaha melupakan dan tidak berharap banyak sih, sambil
mencoba fokus untuk menyiapkan aplikasi beasiswa lainnya. Tapi mau gak mau, tetep
aja memasuki pertengahan Juni, saya mulai deg-degan. Sampai minggu pertama
Juli, masih belum ada kabar. Saya udah mulai berusaha mengikhlaskan, mungkin
memang jalan saya belum dibukakan Alloh untuk kesana.
Pertengahan Juli,
kebetulan saya mendampingi mahasiswa ikut PIMNAS di Jogja. Malamnya, di kamar
penginapan, waktu saya ngecek e-mail, saya langsung gemeteran. It’s there! Saya
lulus seleksi berkas, dan dijadwalkan wawancara untuk program Fulbright
Presidential di kantor AMINEF pada tanggal 1 Agustus. They asked me to confirm
whether I can make it on that date. And what’s even better, they will arrange
the transportation for me. Yep, tiket Banjarmasin-Jakarta (pp) ditanggung sama
pihak AMINEF. Langsung nelfon Mama, mengabarkan hal ini. Masih agak gak percaya
sih, rasanya kayak... Hah? Gua masuk beneran nih? Gua? Gua lhooo.... yang masih
suka dikategorikan sebagai dosen khilaf, yang suka histeris sendiri kalo liat
Duta Sheila On 7...
Saya punya waktu sekitar 2 minggu untuk
menyiapkan diri. Jadilah saya browsing tentang tips-tips wawancara Fulbright.
The last time I did this kind of interview was for APS Scholarship from AusAid,
dan jujur saja, saya udah agak lupa waktu itu ditanyain apa aja. Anyway, sesuai
dengan saran-saran yang ada di berbagai blog orang, saya mulai mengumpulkan
informasi tentang pilihan universitas yang saya minati, kenapa saya berminat
kesana. Dan karena saya melamar untuk program Ph.D, jadilah research proposal
saya itu udah lecek aja saya baca bolak-balik. Saya berusaha nyusun jawaban
tentang kenapa riset saya itu penting, apa hubungannya dengan background saya
sebelumnya, apa yang bisa saya lakukan kalo sudah selesai dan pulang ke
Indonesia nanti.
Dan akhirnyaaaa... hari itu datang juga.
Sesuai dengan tiket yang dikirim oleh AMINEF ke saya, saya berangkat dari
Banjarmasin tanggal 31 Juli siang. Inget banget deh, waktu itu masih bulan
Ramadhan. “Semoga berkah Ramadhan ya Mi...” kata Abah waktu itu. Malam sebelum
interview, saya udah gak bisa mikir. Capek. Not only the flight. Kebetulan 2
minggu terakhir itu lagi padat-padatnya jadwal seminar hasil dan sidang skripsi
di kampus saya. Dan saya sebagai Panitia Skripsi merangkap Sekretaris Prodi
jadi ngalah-ngalahin gasing saking ngurusin itu.
Pagi tanggal 1 Agustus. Waktu saya bangun,
hal pertama yang kepikir adalah: “Ya Alloh... Beneran harus interview hari ini
ya?”.
Interview dijadwalkan jam 10.00, dan saya dengan manisnya udah muncul di
kantor AMINEF jam 08.15. Secara ya, kantor AMINEF itu kan di Jl. Jend.
Sudirman, dan saya parno banget soal macetnya Jakarta. Sampai disana, sudah ada
3 orang lain yang juga menunggu. Mereka bilang di dalam sudah ada 1 orang yang
sedang wawancara. Sempat kenalan, dua orang adalah dosen di Universitas Bandar
Lampung, yang satu lagi dari Universitas Riau. Yang lagi wawancara di dalam
katanya dari Aceh. Jadi kayaknya jadwal wawancara disusun per regional deh
yaaa... Jujur, saya sempet minder. Dari 3 orang itu, yang satu S2 nya di India,
satu lagi dari manaaa gitu (kalo gak salah UK apa ya?), yang satu lagi lulusan
Arsitektur dari Jerman. Berasa pengen melipir aja. Pas lagi ngobrol gitu, si
Ibu yang dari Aceh keluar, dan Mbak-mbak AMINEF nya manggil applicant yang dari
Riau *yang sungguh gambaran tipikal dari Ibu dosen yang anggun elegan dan
berwibawa*. Kami bertiga yang tersisa cuma bisa cengar-cengir pasrah. Akhirnya,
si Ibu Unri keluar...dengan wajah cerah ceria. Beuh, lancar mesti dia... :D.
Dia bilang sih lumayan santai wawancaranya, dan pertanyaan lebih banyak ke
proposal riset kita. Demi denger gitu, kami semua langsung refleks membuka
proposal masing-masing *yang sama-sama udah penuh coretan dan catatan*. Si Ibu
itu pamit pulang, dan masuklah Mas dari UBL 1 *eh, maap yaaa...lupa
namanyaaaa...*.
Setelah hampir 30 menit, dia keluar...dengan wajah pucat. Laaahhh?
Sementara si Mas UBL 2 masuk untuk wawancara, Mas UBL 1 ini cerita ke saya.
Iya, katanya. Yang diubek habis-habisan itu adalah proposal riset. Metodologi.
Referensi yang digunakan. Hubungan dengan penelitian dia sebelumnya, dan
relevansinya dengan kondisi saat ini. Ih, si Mas UBL 1 ini baiiik deh. Walopun
kayaknya masih lemes habis wawancara, dia dengan baik hatinya ngasih tau ke
saya soal apa saja yang terjadi, mewanti-wanti saya tentang apa yang mungkin
akan ditanyakan, sampai akhirnya temennya keluar. Daaannnn... si Mbak AMINEF
pun memanggil saya.
Sambil baca Bismillah berkali-kali, saya
masuk.
Di dalam ruangan, sudah ada 3 orang pria
yang sedang sibuk membuka-buka berkas saya. Saya sempat ngelirik sih, banyak
banget coretan di berkas saya itu, entah apa. Begitu dipersilahkan duduk,
duduklah saya sambil sekali lagi baca doa.
“So, Miss Utami? How are you today?” kata
Mbak AMINEF itu.
Dan saya, dengan kebodohan dan kepolosan saya,
langsung refleks menjawab: “Me? Nervous. Very nervous.”
Para Bapak pewawancara yang tadinya masih
ngeliatin berkas saya langsung pada mengangkat wajah, dan ketawa. Sementara
saya bisa ngerasa telinga saya panas.
“It’s because you listen to the others who
just have been interviewed. Don’t listen to them, You should not feel intimidated!”
kata salah satu pewawancara yang keliatannya paling berumur.
Dan saya tentu saja dengan polosnya lagi
menjawab “Well, what else that I can do? I’ve always been a good listener..”
Tentu saja saya diketawain lagi. Canggih
ya --_--.
Anyway, wawancara dimulai dengan
perkenalan. Dari 3 pewawancara saya, yang satu adalah bule Amerika (lupa deh,
kekna dia direktur bidang Sains dan Teknologi atau apaaa gitu), satu lagi
Fulbright alumni (ya, as you might have guessed, saya lupa nama beliau, yang
pasti dia salah satu petinggi di Univ. Paramadina), dan satu lagi adalah Pak
Bana (one of the managers, dosen Matematika ITB). Setelah sesi perkenalan itu
tadinya saya kira saya bakal disuruh memperkenalkan diri. Tapi saya malah
diminta langsung menyebutkan universitas apa saja yang saya minati. Waktu itu
saya menyebutkan University of Colorado. Lalu dengan wajah memelas, saya nanya:
“Can I have more than 1 option?”. Untungnya boleh. Saya nyebutin sampe 3 kalo
gak salah.
Pertanyaan pertama dari si bule. Dia
bilang, “I really like your research proposal ...”. Taaapiiii...tetep aja
ditanya-tanya. Nyahahaha... Ah, at least kalimat pertamanya encouraging. Dia
nanya, apa pertimbangan saya untuk memilih lokasi sampling. Kemudian, dia nanya
juga, kalo sudah balik ke Indonesia, bisa nggak sih penelitian semacam ini
dilakukan di Indonesia. Nah, lalu dia akhirnya nanya, “Another interesting
thing about your application is, the way you changed form being a slightly
rigid chemist to a more open-up person with the concept of environment as an
interdisciplinary field. Tell me more about it.”
Frankly speaking, this is quite an
emotional topic for me, Jadilah saya mulai ngomong tanpa titik koma. Dan saya
berhenti waktu dia mengangkat tangan dan ngomong: “Sorry, I have to stop you
there. I don’t understand what you're saying.”
Ngeeek ngoookk... Saya langsung nyengir.
“Sorry. I always get excited when I talk about this topic. And when I get
excited, I tend to speak too fast.” Jadilah saya mengulangi lagi, and this
time, he nodded in agreement.
Pertanyaan dari Pak Bana gak banyak. Dia
cuma bilang, “Actually, at first I was going to ask you about whether this kind
of research that you are intending to do is going to work in Indonesia. But you
have explained it, and I’ve got the general idea.”. Trus dia cuma menyarankan
bahwa nanti proposal saya harus dibenerin di bagian mana saja. Kesan saya soal Pak Bana ini? Dia baiiikkk banget :"). Dia betul-betul keliatan seperti seorang kakek yang baik dan penuh kasih sayang. Penanya terakhir
juga gak banyak nanya. Dia cuma nanya: “So, you work at Lambung Mangkurat
Univeristy. At the Chemistry Department, rite? Tell me, how big is your
department? How many students do you have? How many teaching staff there
already hold a doctoral degree?”. Udah. Gitu doang.
And so the interview was ended. Waktu
keluar, sambil dianterin sama Mbak-mbak AMINEF (aduh, siapa sih namanya yaaaa
-_-), dia ngingetin lagi. “Mbak, hasilnya 3 minggu lagi ya. Kalo lolos
wawancara ini, tolong dipersiapkan untuk GRE-nya ya...”. Saya manggut-manggut
aja. Gak tau harus optimis atau pesimis. Berasa lempeng aja. Saya lebih condong
merasa legaaaa banget. Sempet ngobrol sama kandidat lain yang juga sedang
menunggu jadwal wawancara. Dan menanti jatah allowance dari AMINEF (eh, lumayan
lho buat ongkos naik DAMRI ke bandara ;D).
Waktu itu saya sudah pasrah aja. Saya
mikirnya, saya sudah berusaha melakukan yang terbaik sesuai kapasitas saya.
Tiga minggu kemudian, tanggal 23 Agustus,
this is what came to my e-mail inbox:
Alhamdulillah :”).
However, perjuangan belum berakhir.
Rentetan perjuangan saya masih berlanjut. I’ll tell you more in the next
posting =D.
Ami, over and out!
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Senin, 03 Desember 2012
Me Being A Scholarship Hunter (2) - My Interview
Finally bisa nulis lanjutannya. Mehehehe...
Di posting sebelum ini, saya udah cerita soal perjuangan saya menjadi pemburu
beasiswa. Okay, now let’s get into something more detail.
Salah satu aplikasi
beasiswa yang saya ajukan ditahun ini adalah beasiswa Fulbright. Beasiswa ini
adalah salah satu beasiswa reguler untuk belajar di Amerika dari pemerintah AS
yang ditawarkan ke berbagai negara. Kalau di Indonesia, pihak yang in charge
untuk hal-hal berkaitan dengan beasiswa ini adalah AMINEF. Melalui AMINEF, ada
berbagai program beasiswa yang ditawarkan. Go have a look at their website. You
might find something that suits yourself.
Anyway, saya apply untuk dua program
beasiswa, Fulbright Presidential, dan Fulbright-DIKTI. Kalo yang pres, itu
memang program beasiswa rutin dari Fulbright, sementara yang satunya lagi kerja
sama dengan DIKTI. Biasanya orang yang baru tau kalo saya daftar untuk 2
beasiswa ini bakal nanya: “Emang boleh daftarnya 2 gitu?”. Iya. Boleh. Saya
nanya langsung waktu AMINEF (waktu itu yang presentasi Mbak Mita) sosialiasi tentang beasiswa Fulbright di
kampus IAIN Banjarmasin. (Eh, saya sampe dibela-belain lho ngejar sesi Q&A
ini sampe ke kampus orang gitu ._.). Kalau memang kita eligible untuk
mendaftar, kenapa enggak?
Banyak orang yang bilang bahwa beasiswa
Fulbright ini adalah salah satu beasiswa yang prestisius dan bergengsi.
Pertama, untuk belajar ke USA lho. And the reality is, USA memang salah satu
negara yang paling maju dan berkembang di bidang IPTEK dan pendidikan. Beasiswa
Fulbright ini gak cuma ditawarkan di Indonesia saja, tapi juga di berbagai
negara lain di seluruh dunia. Selain itu, konon selektivitasnya tinggi. Sebagai
gambaran saja, kabarnya rata-rata dalam setahun mereka menerima sekitar 2000
lebih aplikasi dari seluruh Indonesia. Yang dipanggil untuk wawancara cuma
sekitar 100 orang. Yang dapet akhirnya sekitar 30-40 orang gitu untuk program
S2 dan S3. Kalo gak salah lho yaaa...
Tapi kalo diliat dari segi persyaratannya,
ternyata gak seribet yang dibayangkan. Syaratnya cuma IPK (minimal 3.00 pada
skala 4.00) dan skor ITP (550 untuk S2 dan 575 untuk level S3). Formnya pun
cuma...4 lembar. EMPAT lembar. *bandingkan dengan program beasiswa lain yang
isiannya aja bisa sampe 20 lembar lebih*. Tapi selain form aplikasi, applicant
juga harus membuat Study Objectives (a short essay that explains why we want to
study in the USA). Untuk Ph.D dan research programs, disuruh menyertakan
Research Proposal juga. Dokumen lain cuma sertifikat ITP, copy ijazah dan
transkrip, sama surat rekomendasi. Sebenernya yang paling menentukan itu
katanya adalah Study Objectives dan Research Proposal, considering these things
can reflect the other qualities that the applicant has. Study Objectives
diminta cuma 1 halaman. Iya, cuma satu halaman, but it took me about 3 weeks to
write one. On one hand, it has to be concise *cuma SATU halaman lhooo*, but on
the other hand, si Study Objective ini mesti menggambarkan bahwa kita memang
layak dipertimbangkan untuk memperoleh beasiswa ini. Jadi dengan berbekal
berbagai tips that I picked up here and there, I wrote it, read it, did another
re-writing, re-read, dan terus begitu. At least I have to make sure that
there’s no silly grammatical or spelling mistakes there (padahal grammar is
where I am falling apart, in any language :( ). I even asked one of my
colleagues to check my study objectives and research proposal (thanks Pak Suryaaaa
=D, you’ve been a great inspiration and motivator for me!).
Deadline 15 April 2012, saya ngirimnya
tanggal 1 April. Berusaha melupakan dan tidak berharap banyak sih, sambil
mencoba fokus untuk menyiapkan aplikasi beasiswa lainnya. Tapi mau gak mau, tetep
aja memasuki pertengahan Juni, saya mulai deg-degan. Sampai minggu pertama
Juli, masih belum ada kabar. Saya udah mulai berusaha mengikhlaskan, mungkin
memang jalan saya belum dibukakan Alloh untuk kesana.
Pertengahan Juli,
kebetulan saya mendampingi mahasiswa ikut PIMNAS di Jogja. Malamnya, di kamar
penginapan, waktu saya ngecek e-mail, saya langsung gemeteran. It’s there! Saya
lulus seleksi berkas, dan dijadwalkan wawancara untuk program Fulbright
Presidential di kantor AMINEF pada tanggal 1 Agustus. They asked me to confirm
whether I can make it on that date. And what’s even better, they will arrange
the transportation for me. Yep, tiket Banjarmasin-Jakarta (pp) ditanggung sama
pihak AMINEF. Langsung nelfon Mama, mengabarkan hal ini. Masih agak gak percaya
sih, rasanya kayak... Hah? Gua masuk beneran nih? Gua? Gua lhooo.... yang masih
suka dikategorikan sebagai dosen khilaf, yang suka histeris sendiri kalo liat
Duta Sheila On 7...
Saya punya waktu sekitar 2 minggu untuk
menyiapkan diri. Jadilah saya browsing tentang tips-tips wawancara Fulbright.
The last time I did this kind of interview was for APS Scholarship from AusAid,
dan jujur saja, saya udah agak lupa waktu itu ditanyain apa aja. Anyway, sesuai
dengan saran-saran yang ada di berbagai blog orang, saya mulai mengumpulkan
informasi tentang pilihan universitas yang saya minati, kenapa saya berminat
kesana. Dan karena saya melamar untuk program Ph.D, jadilah research proposal
saya itu udah lecek aja saya baca bolak-balik. Saya berusaha nyusun jawaban
tentang kenapa riset saya itu penting, apa hubungannya dengan background saya
sebelumnya, apa yang bisa saya lakukan kalo sudah selesai dan pulang ke
Indonesia nanti.
Dan akhirnyaaaa... hari itu datang juga.
Sesuai dengan tiket yang dikirim oleh AMINEF ke saya, saya berangkat dari
Banjarmasin tanggal 31 Juli siang. Inget banget deh, waktu itu masih bulan
Ramadhan. “Semoga berkah Ramadhan ya Mi...” kata Abah waktu itu. Malam sebelum
interview, saya udah gak bisa mikir. Capek. Not only the flight. Kebetulan 2
minggu terakhir itu lagi padat-padatnya jadwal seminar hasil dan sidang skripsi
di kampus saya. Dan saya sebagai Panitia Skripsi merangkap Sekretaris Prodi
jadi ngalah-ngalahin gasing saking ngurusin itu.
Pagi tanggal 1 Agustus. Waktu saya bangun,
hal pertama yang kepikir adalah: “Ya Alloh... Beneran harus interview hari ini
ya?”.
Interview dijadwalkan jam 10.00, dan saya dengan manisnya udah muncul di
kantor AMINEF jam 08.15. Secara ya, kantor AMINEF itu kan di Jl. Jend.
Sudirman, dan saya parno banget soal macetnya Jakarta. Sampai disana, sudah ada
3 orang lain yang juga menunggu. Mereka bilang di dalam sudah ada 1 orang yang
sedang wawancara. Sempat kenalan, dua orang adalah dosen di Universitas Bandar
Lampung, yang satu lagi dari Universitas Riau. Yang lagi wawancara di dalam
katanya dari Aceh. Jadi kayaknya jadwal wawancara disusun per regional deh
yaaa... Jujur, saya sempet minder. Dari 3 orang itu, yang satu S2 nya di India,
satu lagi dari manaaa gitu (kalo gak salah UK apa ya?), yang satu lagi lulusan
Arsitektur dari Jerman. Berasa pengen melipir aja. Pas lagi ngobrol gitu, si
Ibu yang dari Aceh keluar, dan Mbak-mbak AMINEF nya manggil applicant yang dari
Riau *yang sungguh gambaran tipikal dari Ibu dosen yang anggun elegan dan
berwibawa*. Kami bertiga yang tersisa cuma bisa cengar-cengir pasrah. Akhirnya,
si Ibu Unri keluar...dengan wajah cerah ceria. Beuh, lancar mesti dia... :D.
Dia bilang sih lumayan santai wawancaranya, dan pertanyaan lebih banyak ke
proposal riset kita. Demi denger gitu, kami semua langsung refleks membuka
proposal masing-masing *yang sama-sama udah penuh coretan dan catatan*. Si Ibu
itu pamit pulang, dan masuklah Mas dari UBL 1 *eh, maap yaaa...lupa
namanyaaaa...*.
Setelah hampir 30 menit, dia keluar...dengan wajah pucat. Laaahhh?
Sementara si Mas UBL 2 masuk untuk wawancara, Mas UBL 1 ini cerita ke saya.
Iya, katanya. Yang diubek habis-habisan itu adalah proposal riset. Metodologi.
Referensi yang digunakan. Hubungan dengan penelitian dia sebelumnya, dan
relevansinya dengan kondisi saat ini. Ih, si Mas UBL 1 ini baiiik deh. Walopun
kayaknya masih lemes habis wawancara, dia dengan baik hatinya ngasih tau ke
saya soal apa saja yang terjadi, mewanti-wanti saya tentang apa yang mungkin
akan ditanyakan, sampai akhirnya temennya keluar. Daaannnn... si Mbak AMINEF
pun memanggil saya.
Sambil baca Bismillah berkali-kali, saya
masuk.
Di dalam ruangan, sudah ada 3 orang pria
yang sedang sibuk membuka-buka berkas saya. Saya sempat ngelirik sih, banyak
banget coretan di berkas saya itu, entah apa. Begitu dipersilahkan duduk,
duduklah saya sambil sekali lagi baca doa.
“So, Miss Utami? How are you today?” kata
Mbak AMINEF itu.
Dan saya, dengan kebodohan dan kepolosan saya,
langsung refleks menjawab: “Me? Nervous. Very nervous.”
Para Bapak pewawancara yang tadinya masih
ngeliatin berkas saya langsung pada mengangkat wajah, dan ketawa. Sementara
saya bisa ngerasa telinga saya panas.
“It’s because you listen to the others who
just have been interviewed. Don’t listen to them, You should not feel intimidated!”
kata salah satu pewawancara yang keliatannya paling berumur.
Dan saya tentu saja dengan polosnya lagi
menjawab “Well, what else that I can do? I’ve always been a good listener..”
Tentu saja saya diketawain lagi. Canggih
ya --_--.
Anyway, wawancara dimulai dengan
perkenalan. Dari 3 pewawancara saya, yang satu adalah bule Amerika (lupa deh,
kekna dia direktur bidang Sains dan Teknologi atau apaaa gitu), satu lagi
Fulbright alumni (ya, as you might have guessed, saya lupa nama beliau, yang
pasti dia salah satu petinggi di Univ. Paramadina), dan satu lagi adalah Pak
Bana (one of the managers, dosen Matematika ITB). Setelah sesi perkenalan itu
tadinya saya kira saya bakal disuruh memperkenalkan diri. Tapi saya malah
diminta langsung menyebutkan universitas apa saja yang saya minati. Waktu itu
saya menyebutkan University of Colorado. Lalu dengan wajah memelas, saya nanya:
“Can I have more than 1 option?”. Untungnya boleh. Saya nyebutin sampe 3 kalo
gak salah.
Pertanyaan pertama dari si bule. Dia
bilang, “I really like your research proposal ...”. Taaapiiii...tetep aja
ditanya-tanya. Nyahahaha... Ah, at least kalimat pertamanya encouraging. Dia
nanya, apa pertimbangan saya untuk memilih lokasi sampling. Kemudian, dia nanya
juga, kalo sudah balik ke Indonesia, bisa nggak sih penelitian semacam ini
dilakukan di Indonesia. Nah, lalu dia akhirnya nanya, “Another interesting
thing about your application is, the way you changed form being a slightly
rigid chemist to a more open-up person with the concept of environment as an
interdisciplinary field. Tell me more about it.”
Frankly speaking, this is quite an
emotional topic for me, Jadilah saya mulai ngomong tanpa titik koma. Dan saya
berhenti waktu dia mengangkat tangan dan ngomong: “Sorry, I have to stop you
there. I don’t understand what you're saying.”
Ngeeek ngoookk... Saya langsung nyengir.
“Sorry. I always get excited when I talk about this topic. And when I get
excited, I tend to speak too fast.” Jadilah saya mengulangi lagi, and this
time, he nodded in agreement.
Pertanyaan dari Pak Bana gak banyak. Dia
cuma bilang, “Actually, at first I was going to ask you about whether this kind
of research that you are intending to do is going to work in Indonesia. But you
have explained it, and I’ve got the general idea.”. Trus dia cuma menyarankan
bahwa nanti proposal saya harus dibenerin di bagian mana saja. Kesan saya soal Pak Bana ini? Dia baiiikkk banget :"). Dia betul-betul keliatan seperti seorang kakek yang baik dan penuh kasih sayang. Penanya terakhir
juga gak banyak nanya. Dia cuma nanya: “So, you work at Lambung Mangkurat
Univeristy. At the Chemistry Department, rite? Tell me, how big is your
department? How many students do you have? How many teaching staff there
already hold a doctoral degree?”. Udah. Gitu doang.
And so the interview was ended. Waktu
keluar, sambil dianterin sama Mbak-mbak AMINEF (aduh, siapa sih namanya yaaaa
-_-), dia ngingetin lagi. “Mbak, hasilnya 3 minggu lagi ya. Kalo lolos
wawancara ini, tolong dipersiapkan untuk GRE-nya ya...”. Saya manggut-manggut
aja. Gak tau harus optimis atau pesimis. Berasa lempeng aja. Saya lebih condong
merasa legaaaa banget. Sempet ngobrol sama kandidat lain yang juga sedang
menunggu jadwal wawancara. Dan menanti jatah allowance dari AMINEF (eh, lumayan
lho buat ongkos naik DAMRI ke bandara ;D).
Waktu itu saya sudah pasrah aja. Saya
mikirnya, saya sudah berusaha melakukan yang terbaik sesuai kapasitas saya.
Tiga minggu kemudian, tanggal 23 Agustus,
this is what came to my e-mail inbox:
Alhamdulillah :”).
However, perjuangan belum berakhir.
Rentetan perjuangan saya masih berlanjut. I’ll tell you more in the next
posting =D.
Ami, over and out!
4 komentar:
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
abis ini masih ada sequel-nya kannn??? *cutewink*
BalasHapusmba ami.. di buat e-book aja.. pasti banyak darah seger yang termotivasi. semangat!!
BalasHapusAbove the substantial content yang sangat membantu, Mbak Ami punya sekali bakat nulis. Sungguh saya smp tertawa sendiri membaca postingan Mbak yang renyah ini.. Terutama dibagian reaksi kepolosan Mbak dan ketika membahas soal 'Environment'... so inspiring, thanks for sharing!
BalasHapusAbove the substantial content yang sangat membantu, Mbak Ami punya sekali bakat nulis. Sungguh saya smp tertawa sendiri membaca postingan Mbak yang renyah ini.. Terutama dibagian reaksi kepolosan Mbak dan ketika membahas soal 'Environment'... so inspiring, thanks for sharing!
BalasHapus