Minggu, 03 Maret 2013

30 Day Challenge | Day 8

Day 8 - Three Things you want to say to different people
Agak gak ngerti ya maksudnyaaa…. Tiga hal ke tiga orang? Atau masing-masing satu hal ke tiga orang? Atau ke beberapa orang tapi setiap orang dan masing-masing orang tiga hal gitu?
Atuuhhhlaaahhh… Gak ngerti. Ambil yang gampang aja deh ya, ke tiga orang berbeda.
And I think it will be about the things that I will never have the chance to say to them directly.

(Alm) Kai
Kai disini adalah kakek saya dari pihak Abah. Beliau meninggal pada usia sekitar 75an tahun (Gosh, I don’t even remember how old he was when he passed away :”( ). Saya tidak pernah dekat dengan beliau. For some reasons, beliau beberapa kali pindah rumah. Pertama kali yang saya ingat, tentu saja di Kuin. Lalu beliau pindah ke PulangPisau. Terakhir, sampai beliau meninggal, beliau tiggal di Pleihari. Dan tentu saja, panggilan saya berubah-ubah mengikuti domisili itu. Dari Kai Kuin, Kai Pulang Pisau, sampai Kai Pleihari.
Beliau pendiam. Pendiam sekali. Rasanya sampai beberapa bulan sebelum beliau meninggal, beliau masih sering berkeliling, mengunjungi anak-anak beliau *ada 13 bersaudara lho Abah saya itu*, menginap selama 3-4 hari. Biasanya kalau beliau datang, saya akan melihat beliau duduk dengan tenang di ruang tamu, sambil membaca. Saya tidak pernah sekalipun melihat beliau menonton TV. Kalau lagi di rumah saya, beliau kalau tidak membaca, pasti mengobrol dengan Abah, atau kalau pagi, melihat-lihat tanaman di halaman depan dan samping rumah. Kalau mengobrol dengan Abah juga, suara beliau pelan, dalam, dan berhati-hati sekali. Beda banget dengan istri beliau, (Almh) Nini yang suaranya kalau beliau lagi di dapur bisa sampe kedengeran di ruang tamu. Dan mungkin karena beliau begitu pendiam itulah saya segan dengan beliau. 

Sampai akhirnya beliau jatuh sakit, karena sudah tua. Tiba-tiba selama beberapa bulan Abah jadi lebih pendiam. Dan entah kenapa, saya jadi merasa, ada yang agak aneh, karena kamar di atas yang biasanya dipakai Kai kalau beliau datang, jadi terasa begitu kosong. But still, being an annoying teenager at my age (waktu itu saya kelas 2 SMA), saya dengan jahatnya nyari-nyari alasan supaya gak usah ikut ke Pleihari kalau Abah dan Mama menjenguk beliau. 

Sampai suatu hari, Abah gak bisa kesana. Gak tau kenapa, saya bilang, “Ya udah Ma, Ami ikut deh”. It was depressing, to be honest.  When we got there, at first I only took a peek from the door. Tapi lalu, Kai menoleh ke arah saya, dan tersenyum. Dan entah kenapa, saya lalu masuk, berjalan, dan duduk di sebelah tempat tidur beliau. And then I started to talk. And talk. And talk. Saya tidak ingat lagi apa saja yang saya ceritakan pada beliau. Dan mungkin beliau juga tidak begitu paham apa yang saya ceritakan. Tapi beliau terus mendengarkan, mengangguk-angguk, bahkan sesekali, beliau tertawa.  And I just kept on talking. Saya bahkan tidak sadar bahwa paman dan bibi saya keluar dari kamar, meninggakan kami berdua. I. Just. Kept on talking. Sampai Mama datang, menepuk bahu saya perlahan, bilang bahwa kami sudah harus pulang. Dan saya baru saja sadar, bahwa saya sudah berbicara terus menerus selama hamper dua jam. Saya pamitan, menyalami dan mencium tangan beliau, berjanji akan datang lagi. Ekspresi beliau waktu itu masih saya ingat sampai sekarang. Masih begitu jelas. Beliau mengangguk. Tapi mata beliau begitu sedih, begitu…kesepian.

Dua minggu kemudian, beliau meninggal. Tanpa saya sempat menengok beliau lagi.

I didn’t cry. I can’t. I was just, so numb. After the funeral, I lay down on my bed, trying to cry because isn’t it what I supposed to do as a mourning grandchildren, but I couldn’t. I was just so, numb. And the image of him, his lonely eyes, kept haunting me. Until now.

So, this is what I want to say to him.

Kai, maafkan Ami. Yang gak pernah bisa jadi cucu yang baik. Yang tidak pernah berusaha lebih jauh untuk mengenal Kai. Yang begitu terlambat untuk akhirnya bisa mengobrol dengan Kai.
Maafkan Ami, yang membiarkan Kai kesepian. Seharusnya, seharusnya Ami bisa jadi cucu yang jauh lebih baik untuk Kai. Semoga Kai disana beristirahat dengan tenang, di tempat yang paling damai dan indah.

 My Incognito
It’s been years. So many years. It’s not that I cannot move on from you. But the thing is. The thing is, there is this little piece of my heart that you have taken away with you, without you even realizing it. I still have no idea whether you know it or no, but it was you. It is you. And maybe, it will always be you.

You’re happy now with your life. And nothing makes me happier than to see you happy (except maybe when Spain won the World Cup and EURO and MCFC won EPL). But yeah, you know what I mean.

Thank you for everything. Literally everything.

I‘ve never lost you for I never have you anyway. But at least, at the very least, you have once come into my life, and no one has ever touched my life the way you did

David Silva
Marry me, please.

Keep showing us your magic on the pitch. You're always a brilliant player, and such a sweet heart for everyone. Keep up the amazing work.


Go and find a decent girl and get marry and have some children of your own that you would just love. Or maybe you just can find me and marry me.

Day 8, FINISHED!!!

1 komentar:

  1. terharu baca yang buat Kai T-T, kalo boleh curhat aku malah nggak pernah deket sama kakek-nenekku dari papa maupun mama kak beliau2 udah meninggal dari aku kecil. jadi aku juga bener2 ga ngerti gimana senengnya punya kakek-nenek.. T-T

    BalasHapus

Minggu, 03 Maret 2013

30 Day Challenge | Day 8

Day 8 - Three Things you want to say to different people
Agak gak ngerti ya maksudnyaaa…. Tiga hal ke tiga orang? Atau masing-masing satu hal ke tiga orang? Atau ke beberapa orang tapi setiap orang dan masing-masing orang tiga hal gitu?
Atuuhhhlaaahhh… Gak ngerti. Ambil yang gampang aja deh ya, ke tiga orang berbeda.
And I think it will be about the things that I will never have the chance to say to them directly.

(Alm) Kai
Kai disini adalah kakek saya dari pihak Abah. Beliau meninggal pada usia sekitar 75an tahun (Gosh, I don’t even remember how old he was when he passed away :”( ). Saya tidak pernah dekat dengan beliau. For some reasons, beliau beberapa kali pindah rumah. Pertama kali yang saya ingat, tentu saja di Kuin. Lalu beliau pindah ke PulangPisau. Terakhir, sampai beliau meninggal, beliau tiggal di Pleihari. Dan tentu saja, panggilan saya berubah-ubah mengikuti domisili itu. Dari Kai Kuin, Kai Pulang Pisau, sampai Kai Pleihari.
Beliau pendiam. Pendiam sekali. Rasanya sampai beberapa bulan sebelum beliau meninggal, beliau masih sering berkeliling, mengunjungi anak-anak beliau *ada 13 bersaudara lho Abah saya itu*, menginap selama 3-4 hari. Biasanya kalau beliau datang, saya akan melihat beliau duduk dengan tenang di ruang tamu, sambil membaca. Saya tidak pernah sekalipun melihat beliau menonton TV. Kalau lagi di rumah saya, beliau kalau tidak membaca, pasti mengobrol dengan Abah, atau kalau pagi, melihat-lihat tanaman di halaman depan dan samping rumah. Kalau mengobrol dengan Abah juga, suara beliau pelan, dalam, dan berhati-hati sekali. Beda banget dengan istri beliau, (Almh) Nini yang suaranya kalau beliau lagi di dapur bisa sampe kedengeran di ruang tamu. Dan mungkin karena beliau begitu pendiam itulah saya segan dengan beliau. 

Sampai akhirnya beliau jatuh sakit, karena sudah tua. Tiba-tiba selama beberapa bulan Abah jadi lebih pendiam. Dan entah kenapa, saya jadi merasa, ada yang agak aneh, karena kamar di atas yang biasanya dipakai Kai kalau beliau datang, jadi terasa begitu kosong. But still, being an annoying teenager at my age (waktu itu saya kelas 2 SMA), saya dengan jahatnya nyari-nyari alasan supaya gak usah ikut ke Pleihari kalau Abah dan Mama menjenguk beliau. 

Sampai suatu hari, Abah gak bisa kesana. Gak tau kenapa, saya bilang, “Ya udah Ma, Ami ikut deh”. It was depressing, to be honest.  When we got there, at first I only took a peek from the door. Tapi lalu, Kai menoleh ke arah saya, dan tersenyum. Dan entah kenapa, saya lalu masuk, berjalan, dan duduk di sebelah tempat tidur beliau. And then I started to talk. And talk. And talk. Saya tidak ingat lagi apa saja yang saya ceritakan pada beliau. Dan mungkin beliau juga tidak begitu paham apa yang saya ceritakan. Tapi beliau terus mendengarkan, mengangguk-angguk, bahkan sesekali, beliau tertawa.  And I just kept on talking. Saya bahkan tidak sadar bahwa paman dan bibi saya keluar dari kamar, meninggakan kami berdua. I. Just. Kept on talking. Sampai Mama datang, menepuk bahu saya perlahan, bilang bahwa kami sudah harus pulang. Dan saya baru saja sadar, bahwa saya sudah berbicara terus menerus selama hamper dua jam. Saya pamitan, menyalami dan mencium tangan beliau, berjanji akan datang lagi. Ekspresi beliau waktu itu masih saya ingat sampai sekarang. Masih begitu jelas. Beliau mengangguk. Tapi mata beliau begitu sedih, begitu…kesepian.

Dua minggu kemudian, beliau meninggal. Tanpa saya sempat menengok beliau lagi.

I didn’t cry. I can’t. I was just, so numb. After the funeral, I lay down on my bed, trying to cry because isn’t it what I supposed to do as a mourning grandchildren, but I couldn’t. I was just so, numb. And the image of him, his lonely eyes, kept haunting me. Until now.

So, this is what I want to say to him.

Kai, maafkan Ami. Yang gak pernah bisa jadi cucu yang baik. Yang tidak pernah berusaha lebih jauh untuk mengenal Kai. Yang begitu terlambat untuk akhirnya bisa mengobrol dengan Kai.
Maafkan Ami, yang membiarkan Kai kesepian. Seharusnya, seharusnya Ami bisa jadi cucu yang jauh lebih baik untuk Kai. Semoga Kai disana beristirahat dengan tenang, di tempat yang paling damai dan indah.

 My Incognito
It’s been years. So many years. It’s not that I cannot move on from you. But the thing is. The thing is, there is this little piece of my heart that you have taken away with you, without you even realizing it. I still have no idea whether you know it or no, but it was you. It is you. And maybe, it will always be you.

You’re happy now with your life. And nothing makes me happier than to see you happy (except maybe when Spain won the World Cup and EURO and MCFC won EPL). But yeah, you know what I mean.

Thank you for everything. Literally everything.

I‘ve never lost you for I never have you anyway. But at least, at the very least, you have once come into my life, and no one has ever touched my life the way you did

David Silva
Marry me, please.

Keep showing us your magic on the pitch. You're always a brilliant player, and such a sweet heart for everyone. Keep up the amazing work.


Go and find a decent girl and get marry and have some children of your own that you would just love. Or maybe you just can find me and marry me.

Day 8, FINISHED!!!

1 komentar:

  1. terharu baca yang buat Kai T-T, kalo boleh curhat aku malah nggak pernah deket sama kakek-nenekku dari papa maupun mama kak beliau2 udah meninggal dari aku kecil. jadi aku juga bener2 ga ngerti gimana senengnya punya kakek-nenek.. T-T

    BalasHapus