Minggu, 07 September 2008

Abah di Mata Saya

7 September, di Australia diperingati sebagai Father's Day. Hemm... jadi kangen sama ayah saya. Abah, begitu saya memanggil beliau. Sebagian besar orang melihat beliau sebagai sosok yang serius. Bagi saya sendiri, Abah adalah sumber inspirasi terbesar dalam hidup saya. Begitu banyak pelajaran dan falsafah tentang hidup yang saya pelajari dari beliau. Bahkan mungkin, sedikit banyak, cita-cita saya menjadi guru adalah bersumber dari beliau.

Dulu, Abah sempat mengajar di Fakultas Teknik, dan menjadi salah satu dosen yang cukup disegani...karena pelit nilai...Heuehehehehu... Tapi saya sangat menghormati alasan beliau: "Kalau sampai ada mahasiswa Abah yang salah perhitungan dan gedungnya runtuh, itu bukan salah dia, itu salah Abah, karena Abah yang bertanggung jawab untuk mengajari ilmu untuk dia". Salah satu kenangan yang tidak pernah saya lupakan, adalah saat-saat saya ikut Abah untuk mengajar. Biasanya Abah akan membagi papan tulis menjadi dua, salah satu sisi khusus disediakan beliau untuk saya menggambar selama beliau tetap mengajar dengan menggunakan papan tulis di sebelahnya. Abah juga yang secara tidak langsung mengajarkan arti obyektivitas saat memberi nilai. Salah satu sepupu saya sendiri berkali-kali tidak lulus mata kuliah yang diajarkan oleh Abah. Dia baru berhasil lulus setelah EMPAT kali mengambil mata kuliah tersebut. Dan komentar Abah cuma satu: "Dia baru lulus kalau jawabannya waktu ujian memang sudah memenuhi standar untuk lulus." Malah waktu itu Mama yang sempat merasa tidak enak, masa keponakan sendiri tidak diluluskan, kata Mama waktu itu dengan prihatin. Kalau memeriksa ujian, Abah akan membiarkan aku membantunya (ya jelaslah bukan memeriksa ujian, apa yang dimengerti seorang anak kelas 3 SD tentang Mekanika Teknik IV/V/VI ????). Biasanya saya duduk di lantai, memilah lembar kertas ujian yang dapat nilai A, B, C, D, dan F. Dan seingat saya, selama saya bertugas (sejak kelas

2 SD sampai kelas 1 SMP, mungkin...sekitar itulah...), yang pernah dapet A ada.... DUA orang . Hehehe... Jadi inget, dua tahun yang lalu, saya pernah tidak meluluskan setengah dari seluruh mahasiswa suatu Program Studi... Dari 43 mahasiswa, ada 22 mahasiswa yang saya beri nilai akhir lebih rendah dari C.... Like father, like daughter...

Ngomong-ngomong soal like father like daughter, banyak sekali yang ngomong bahwa secara fisik, wajah saya memang miriiip sekali dengan Abah... Silakan dibandingkan sendiri. Bagaimana menurut Anda??

Waktu kecil dulu, setiap kali habis sholat Isya, Abah akan duduk di ruang tamu dengan gitarnya, mengajari kami bernyanyi lagu anak-anak...hmm..mungkin ini ajaran Abah yang kurang berhasil, sampai sekarang saya kalo nyanyi cuma do-sol-do-sol doang... Anyway, yang saya ingat waktu itu saya senaaang sekali. Kalau tidak bernyanyi sama Abah, biasanya Abah akan mengajari kami menggambar, atau bikin prakarya. Saya sudah mulai bisa membaca kata-kata sederhana di umur 3 tahun, karena Abah yang mengajari saya. Tapi, entah kenapa, saya tidak ingat pernah belajar membaca, karena yang saya ingat sepertinya Abah cuma bermain bersama saya saat mengajari saya membaca.

Menjelang kelulusan SMA pun, Abah yang mendukung keputusan saya untuk memilih jurusan. Waktu itu saya sudah mantap memilih jurusan Kimia di UGM lewat jalur PMDK. Mama waktu itu sempat khawatir, karena yaa...jurusan itu di daerah saya sungguh tidak populer dibandingkan Teknik Sipil atau Kedokteran. Apalagi di Yogya, dimana kami tidak punya keluarga satupun. Tapi Abah tetap mendukung saya. Dan selama ini, saya selalu merasakan dukungan Abah. Satu yang paling saya ingat. Saat masih kecil, saya paling suka bermain dengan balok-balok semacam lego. Suatu malam, saya berhasil menyusun balok-balok itu sampai lebih tinggi dari saya, dan saya tidak sabar untuk menunjukkannya pada Abah. Tapi malam itu, ada mahasiswa bimbingan Abah yang konsultasi di rumah lamaaaa....sekali. Saya menunggu, dan menunggu, dan menunggu, hingga akhirnya tertidur kelelahan di sebelah "gedung" yang saya banggakan itu. Tapi kemudian, saya terbangun, sudah berada di tempat tidur. Abah yang membangunkan saya sambil tersenyum, dan berkata: "Wah, Ami hebat sekali. Anak Abah bisa bikin gedung yang tinggi dan bagus sekali...". Yang saya ingat, waktu itu saya segera tertidur kembali dengan perasaan bangga.

Saat saya bekerja pun, saya lebih banyak curhat sama Abah. Dan Abah yang selalu menyabarkan saya. Yang mengingatkan saya, untuk meniatkan bekerja sebagai ibadah. Abah yang mengingatkan saya untuk tidak mengeluh, untuk tidak menyalahkan orang lain when something goes wrong. Abah yang mengajarkan saya untuk menghargai orang-orang kecil, bahwa tukang sapu, tukang parkir dan penjaga malam di kantor pun harus dihargai. Abah yang mengajarkan saya tentang kepuasan yang bisa kita peroleh dari bekerja.Biasanya kalo saya pulang malam karena harus lembur, Mama akan ngomel, "Abah anak sama aja, kalo kerja suka lupa diri...". Saya akan nyengir, sementara Abah tiba-tiba saja jadi serius sekali membaca koran.

Yang saya juga sangat bangga dari Abah, adalah keseriusannya dalam bekerja. Dan saya sering kagum pada kreativitasnya. Dulu Abah yang memprakarsai pendirian musholla di kampung saya, dan beliau membuat maket menara mushola itu dari sedotan. Dulu, Abah juga sering mengajak saya meninjau lokasi proyek di hari Minggu. Biasanya Abah akan berbekal kertas kecil-kecil, spidol dan selotip. Abah akan mengelilingi lokasi proyek, dan berhenti di banyak tempat, membuat catatan di kertas itu dan menempelkannya dengan selotip (that explains why I have so many post it at my desk in my office ). Abah sangat suka mendalami arsitektur tradisional Banjar. Waktu Mesjid Sultan Suriansyah di banjar direnovasi, Abah dipercaya sebagai salah seorang pemegang posisi kunci dalam proyek tersebut. Bahkan Abah pernah mendapat penghargaan nasional dari menteri PU sebagai salah satu tokoh pemerhati budaya Banjar dari segi arsitektur.

Tahun 2007 kemaren, Abah resmi pensiun. Abah sempat berpuluh-puluh tahun bekerja di Departemen Kimpraswil (dulu Dept. Pekerjaan Umum), bahkan pernah ditempatkan di Kabupaten Tabalong. Empat tahun terakhir sebelum pensiun, Abah bekerja di Bappeda Provinsi Kalimantan Selatan. Dan sekarang, Abah sepertinya menikmati masa pensiunnya. Abah saya yang sederhana. Yang suka berkebun. Yang selalu berolahraga pagi bersama-sama teman-teman se-gank nya di kampung, sesama pensiunan. Yang selalu bangun di tengah malam untuk tahajjud. Yang sekarang kami juluki sebagai "mandor musholla". Sekarang aktivitas Abah adalah membaca koleksi bukunya, berkebun (kalo menurut Mama sih, sebenarnya cuma memindahkan pot-pot tanaman ke lokasi yang berbeda-beda sebanyak 3 kali seminggu), mengajari keponakan saya si Dian membaca, menulis dan mengaji (ga tau kenapa, si Dian suka males kalo belajar sama Mama nya sendiri). Kata Mama, aktivitas Abah sekarang bertambah satu: mengangkati jemuran yang sudah kering.

Banyak...banyak sekali yang bisa saya ceritakan tentang Abah. Betapa beliau begitu bersemangat mendorong saya untuk mencari beasiswa. Betapa beliau sudah banyak mengalami jatuh bangun hidup ini. Betapa rindunya saya pada beliau....

Ya Allah... Hamba mohon, lindungi dan sayangilah beliau....

2 komentar:

  1. jadi inget Bapak! makasih ya udah mampir ke blog...salam blogger n met Puasa!!!!! :)

    BalasHapus
  2. Mbak Ami mirip banget sama Abah...swear!

    BalasHapus

Minggu, 07 September 2008

Abah di Mata Saya

7 September, di Australia diperingati sebagai Father's Day. Hemm... jadi kangen sama ayah saya. Abah, begitu saya memanggil beliau. Sebagian besar orang melihat beliau sebagai sosok yang serius. Bagi saya sendiri, Abah adalah sumber inspirasi terbesar dalam hidup saya. Begitu banyak pelajaran dan falsafah tentang hidup yang saya pelajari dari beliau. Bahkan mungkin, sedikit banyak, cita-cita saya menjadi guru adalah bersumber dari beliau.

Dulu, Abah sempat mengajar di Fakultas Teknik, dan menjadi salah satu dosen yang cukup disegani...karena pelit nilai...Heuehehehehu... Tapi saya sangat menghormati alasan beliau: "Kalau sampai ada mahasiswa Abah yang salah perhitungan dan gedungnya runtuh, itu bukan salah dia, itu salah Abah, karena Abah yang bertanggung jawab untuk mengajari ilmu untuk dia". Salah satu kenangan yang tidak pernah saya lupakan, adalah saat-saat saya ikut Abah untuk mengajar. Biasanya Abah akan membagi papan tulis menjadi dua, salah satu sisi khusus disediakan beliau untuk saya menggambar selama beliau tetap mengajar dengan menggunakan papan tulis di sebelahnya. Abah juga yang secara tidak langsung mengajarkan arti obyektivitas saat memberi nilai. Salah satu sepupu saya sendiri berkali-kali tidak lulus mata kuliah yang diajarkan oleh Abah. Dia baru berhasil lulus setelah EMPAT kali mengambil mata kuliah tersebut. Dan komentar Abah cuma satu: "Dia baru lulus kalau jawabannya waktu ujian memang sudah memenuhi standar untuk lulus." Malah waktu itu Mama yang sempat merasa tidak enak, masa keponakan sendiri tidak diluluskan, kata Mama waktu itu dengan prihatin. Kalau memeriksa ujian, Abah akan membiarkan aku membantunya (ya jelaslah bukan memeriksa ujian, apa yang dimengerti seorang anak kelas 3 SD tentang Mekanika Teknik IV/V/VI ????). Biasanya saya duduk di lantai, memilah lembar kertas ujian yang dapat nilai A, B, C, D, dan F. Dan seingat saya, selama saya bertugas (sejak kelas

2 SD sampai kelas 1 SMP, mungkin...sekitar itulah...), yang pernah dapet A ada.... DUA orang . Hehehe... Jadi inget, dua tahun yang lalu, saya pernah tidak meluluskan setengah dari seluruh mahasiswa suatu Program Studi... Dari 43 mahasiswa, ada 22 mahasiswa yang saya beri nilai akhir lebih rendah dari C.... Like father, like daughter...

Ngomong-ngomong soal like father like daughter, banyak sekali yang ngomong bahwa secara fisik, wajah saya memang miriiip sekali dengan Abah... Silakan dibandingkan sendiri. Bagaimana menurut Anda??

Waktu kecil dulu, setiap kali habis sholat Isya, Abah akan duduk di ruang tamu dengan gitarnya, mengajari kami bernyanyi lagu anak-anak...hmm..mungkin ini ajaran Abah yang kurang berhasil, sampai sekarang saya kalo nyanyi cuma do-sol-do-sol doang... Anyway, yang saya ingat waktu itu saya senaaang sekali. Kalau tidak bernyanyi sama Abah, biasanya Abah akan mengajari kami menggambar, atau bikin prakarya. Saya sudah mulai bisa membaca kata-kata sederhana di umur 3 tahun, karena Abah yang mengajari saya. Tapi, entah kenapa, saya tidak ingat pernah belajar membaca, karena yang saya ingat sepertinya Abah cuma bermain bersama saya saat mengajari saya membaca.

Menjelang kelulusan SMA pun, Abah yang mendukung keputusan saya untuk memilih jurusan. Waktu itu saya sudah mantap memilih jurusan Kimia di UGM lewat jalur PMDK. Mama waktu itu sempat khawatir, karena yaa...jurusan itu di daerah saya sungguh tidak populer dibandingkan Teknik Sipil atau Kedokteran. Apalagi di Yogya, dimana kami tidak punya keluarga satupun. Tapi Abah tetap mendukung saya. Dan selama ini, saya selalu merasakan dukungan Abah. Satu yang paling saya ingat. Saat masih kecil, saya paling suka bermain dengan balok-balok semacam lego. Suatu malam, saya berhasil menyusun balok-balok itu sampai lebih tinggi dari saya, dan saya tidak sabar untuk menunjukkannya pada Abah. Tapi malam itu, ada mahasiswa bimbingan Abah yang konsultasi di rumah lamaaaa....sekali. Saya menunggu, dan menunggu, dan menunggu, hingga akhirnya tertidur kelelahan di sebelah "gedung" yang saya banggakan itu. Tapi kemudian, saya terbangun, sudah berada di tempat tidur. Abah yang membangunkan saya sambil tersenyum, dan berkata: "Wah, Ami hebat sekali. Anak Abah bisa bikin gedung yang tinggi dan bagus sekali...". Yang saya ingat, waktu itu saya segera tertidur kembali dengan perasaan bangga.

Saat saya bekerja pun, saya lebih banyak curhat sama Abah. Dan Abah yang selalu menyabarkan saya. Yang mengingatkan saya, untuk meniatkan bekerja sebagai ibadah. Abah yang mengingatkan saya untuk tidak mengeluh, untuk tidak menyalahkan orang lain when something goes wrong. Abah yang mengajarkan saya untuk menghargai orang-orang kecil, bahwa tukang sapu, tukang parkir dan penjaga malam di kantor pun harus dihargai. Abah yang mengajarkan saya tentang kepuasan yang bisa kita peroleh dari bekerja.Biasanya kalo saya pulang malam karena harus lembur, Mama akan ngomel, "Abah anak sama aja, kalo kerja suka lupa diri...". Saya akan nyengir, sementara Abah tiba-tiba saja jadi serius sekali membaca koran.

Yang saya juga sangat bangga dari Abah, adalah keseriusannya dalam bekerja. Dan saya sering kagum pada kreativitasnya. Dulu Abah yang memprakarsai pendirian musholla di kampung saya, dan beliau membuat maket menara mushola itu dari sedotan. Dulu, Abah juga sering mengajak saya meninjau lokasi proyek di hari Minggu. Biasanya Abah akan berbekal kertas kecil-kecil, spidol dan selotip. Abah akan mengelilingi lokasi proyek, dan berhenti di banyak tempat, membuat catatan di kertas itu dan menempelkannya dengan selotip (that explains why I have so many post it at my desk in my office ). Abah sangat suka mendalami arsitektur tradisional Banjar. Waktu Mesjid Sultan Suriansyah di banjar direnovasi, Abah dipercaya sebagai salah seorang pemegang posisi kunci dalam proyek tersebut. Bahkan Abah pernah mendapat penghargaan nasional dari menteri PU sebagai salah satu tokoh pemerhati budaya Banjar dari segi arsitektur.

Tahun 2007 kemaren, Abah resmi pensiun. Abah sempat berpuluh-puluh tahun bekerja di Departemen Kimpraswil (dulu Dept. Pekerjaan Umum), bahkan pernah ditempatkan di Kabupaten Tabalong. Empat tahun terakhir sebelum pensiun, Abah bekerja di Bappeda Provinsi Kalimantan Selatan. Dan sekarang, Abah sepertinya menikmati masa pensiunnya. Abah saya yang sederhana. Yang suka berkebun. Yang selalu berolahraga pagi bersama-sama teman-teman se-gank nya di kampung, sesama pensiunan. Yang selalu bangun di tengah malam untuk tahajjud. Yang sekarang kami juluki sebagai "mandor musholla". Sekarang aktivitas Abah adalah membaca koleksi bukunya, berkebun (kalo menurut Mama sih, sebenarnya cuma memindahkan pot-pot tanaman ke lokasi yang berbeda-beda sebanyak 3 kali seminggu), mengajari keponakan saya si Dian membaca, menulis dan mengaji (ga tau kenapa, si Dian suka males kalo belajar sama Mama nya sendiri). Kata Mama, aktivitas Abah sekarang bertambah satu: mengangkati jemuran yang sudah kering.

Banyak...banyak sekali yang bisa saya ceritakan tentang Abah. Betapa beliau begitu bersemangat mendorong saya untuk mencari beasiswa. Betapa beliau sudah banyak mengalami jatuh bangun hidup ini. Betapa rindunya saya pada beliau....

Ya Allah... Hamba mohon, lindungi dan sayangilah beliau....

2 komentar:

  1. jadi inget Bapak! makasih ya udah mampir ke blog...salam blogger n met Puasa!!!!! :)

    BalasHapus
  2. Mbak Ami mirip banget sama Abah...swear!

    BalasHapus