Minggu, 03 Mei 2009

Labelling


That kind of picture sempet jadi trend di Facebook. You now, gambar dengan berbagai karakter, dimana kita bisa nge-tag temen-temen kita, tergantung gimana kita menganggap temen kita itu. Tagging itu apa sih bahasa Indonesianya? Well, anyway, yang mirip dengan tagging itu mungkin labelling. Sadar ga sadar, kita sering ngasih stigma dan label ke banyak orang. Depends on the way we see them. Ada yang kita anggap sebagai penghibur, the other person we’ll consider as the drama queen, the other one goes as the wise one where we will turn to when we need advice, we put a label on someone who cheers the atmosphere as the clown in the crowd. That kind of characters. And it’s true. I mean, selalu ada dalam suatu grup, yang mana yang satu jadi pemimpin, yang satu jadi si modis, yang satu mungkin jadi the nerd one. Karena memang pada dasarnya setiap orang punya karakter masing-masing yang khas. Jati dirinya.

But sometimes, it just dangerous to put label on someone. Karena, sadar atau tidak sadar, kita lalu menganggap, bahwa label itulah orang itu. That the person IS the label. Nothing more, nothing less. It’s dangerous for us who put the label, it;s dangerous for the person being labelled.

Mungkin kita tidak sadar, tapi kita lalu tidak pernah menganggap serius orang yang kita anggap sebagai “a clown in the crowd”. We just don’t take them seriously. We don’t want to. Because the person supposed to be a clown, and who would take a clown seriously?

Speaking with a personal experience, saya mengakui, saya juga cenderung “melabeli” orang. Si ini matre lah, si ini suka ga nyambung lah, si itu terlalu rajin lah... Dan saya seringkali tidak sadar bahwa dengan “melabeli” orang semacam itu, saya justru mencegah diri saya sendiri untuk bia belajar dari mereka. Teman kuliah saya dulu ada yang luguuuu banget. Bukan lugu dalam artian yang jelek sih, polos dan naif mungkin lebih tepatnya. Dan ada saat dimana saya dikagetkan bahwa ternyata dia juara pidato. I was like, “huh? Beneran nih itu dia?”.


Saya sendiri juga merasa that I am beinglabelled. I don’t want to complain, maybe it’s myself who create the label for me. Di tempat saya bekerja, Sunardi sudah sempat memperingatkan, bahwa saya seringkali terlalu “sombong” untuk bilang “tidak”. Dan mungkin karena itulah, entah perasaan saya saja atau gimana, I got more tasks to do than the others. Kalau ada apa-apa, orang cenderung dengan santainya “biar Utami aja...”, “suruh Utami aja...”, “biasanya Utami mau aja kok...”. Okay, on one side, I can take that as a compliment. That people recognize me for something good. Tapi ada saat-saat dimana saya pengen teriak: “duuuhh... kok aku lagi siiihhh?”. And I feel just soooo tired to be “a good employee”.

Oh, and to make it a balance, I don’t just get a positive label. Surely, a, oh, okay, some negative things also somehow being labelled to me. Ekstrimnya nih, “silly” is also one of it. Well, sometimes it’s fun to be a clown in the crowd. I don’t mind if people laughed at me, as I always make silly mistakes, lots of time. But the not-so-nice-thing about it is, sometimes people don’t take me seriously. Seringkali, apa yang aku katakan, ga dianggep. Because for them, I don’t suppose to be right. I don’t have the right.

And it hurts.


The feeling that, what I say is not important enough to be considered. The feeling that most of the things that I do is improper, is wrong, that they can do it better than me.


Pernah baca serial Percy Jackson and The Olympians? Disana ada istilah The Mist, a kind of magic yang menghalangi manusia biasa melihat apa yang sebenarnya terjadi pada non-mortal, heroes, and monsters in the story. Mungkin, that's the way stigma and label work. By creating The Mist, that prevent us to see someone as they are. And it prevent us to see, that someone can be better than what we think they are...


Wish that I could make The Mist around me disappear, so people can see me as the way I am...


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Minggu, 03 Mei 2009

Labelling


That kind of picture sempet jadi trend di Facebook. You now, gambar dengan berbagai karakter, dimana kita bisa nge-tag temen-temen kita, tergantung gimana kita menganggap temen kita itu. Tagging itu apa sih bahasa Indonesianya? Well, anyway, yang mirip dengan tagging itu mungkin labelling. Sadar ga sadar, kita sering ngasih stigma dan label ke banyak orang. Depends on the way we see them. Ada yang kita anggap sebagai penghibur, the other person we’ll consider as the drama queen, the other one goes as the wise one where we will turn to when we need advice, we put a label on someone who cheers the atmosphere as the clown in the crowd. That kind of characters. And it’s true. I mean, selalu ada dalam suatu grup, yang mana yang satu jadi pemimpin, yang satu jadi si modis, yang satu mungkin jadi the nerd one. Karena memang pada dasarnya setiap orang punya karakter masing-masing yang khas. Jati dirinya.

But sometimes, it just dangerous to put label on someone. Karena, sadar atau tidak sadar, kita lalu menganggap, bahwa label itulah orang itu. That the person IS the label. Nothing more, nothing less. It’s dangerous for us who put the label, it;s dangerous for the person being labelled.

Mungkin kita tidak sadar, tapi kita lalu tidak pernah menganggap serius orang yang kita anggap sebagai “a clown in the crowd”. We just don’t take them seriously. We don’t want to. Because the person supposed to be a clown, and who would take a clown seriously?

Speaking with a personal experience, saya mengakui, saya juga cenderung “melabeli” orang. Si ini matre lah, si ini suka ga nyambung lah, si itu terlalu rajin lah... Dan saya seringkali tidak sadar bahwa dengan “melabeli” orang semacam itu, saya justru mencegah diri saya sendiri untuk bia belajar dari mereka. Teman kuliah saya dulu ada yang luguuuu banget. Bukan lugu dalam artian yang jelek sih, polos dan naif mungkin lebih tepatnya. Dan ada saat dimana saya dikagetkan bahwa ternyata dia juara pidato. I was like, “huh? Beneran nih itu dia?”.


Saya sendiri juga merasa that I am beinglabelled. I don’t want to complain, maybe it’s myself who create the label for me. Di tempat saya bekerja, Sunardi sudah sempat memperingatkan, bahwa saya seringkali terlalu “sombong” untuk bilang “tidak”. Dan mungkin karena itulah, entah perasaan saya saja atau gimana, I got more tasks to do than the others. Kalau ada apa-apa, orang cenderung dengan santainya “biar Utami aja...”, “suruh Utami aja...”, “biasanya Utami mau aja kok...”. Okay, on one side, I can take that as a compliment. That people recognize me for something good. Tapi ada saat-saat dimana saya pengen teriak: “duuuhh... kok aku lagi siiihhh?”. And I feel just soooo tired to be “a good employee”.

Oh, and to make it a balance, I don’t just get a positive label. Surely, a, oh, okay, some negative things also somehow being labelled to me. Ekstrimnya nih, “silly” is also one of it. Well, sometimes it’s fun to be a clown in the crowd. I don’t mind if people laughed at me, as I always make silly mistakes, lots of time. But the not-so-nice-thing about it is, sometimes people don’t take me seriously. Seringkali, apa yang aku katakan, ga dianggep. Because for them, I don’t suppose to be right. I don’t have the right.

And it hurts.


The feeling that, what I say is not important enough to be considered. The feeling that most of the things that I do is improper, is wrong, that they can do it better than me.


Pernah baca serial Percy Jackson and The Olympians? Disana ada istilah The Mist, a kind of magic yang menghalangi manusia biasa melihat apa yang sebenarnya terjadi pada non-mortal, heroes, and monsters in the story. Mungkin, that's the way stigma and label work. By creating The Mist, that prevent us to see someone as they are. And it prevent us to see, that someone can be better than what we think they are...


Wish that I could make The Mist around me disappear, so people can see me as the way I am...


Tidak ada komentar:

Posting Komentar