Minggu, 16 Desember 2012

5cm – The Movie

Sebelum banyak yang heboh soal film yang diangkat dari novelnya Donny Dhirgantoro ini, saya sudah baca bukunya sejak dulu banget. Punya bukunya yang masih edisi lama, dikasih temen pula. Walaupun banyak yang menilai buku ini over-rated, saya tetep suka buku ini. Iya, it took like ages to finish the first few chapters. Rasanya gak selesai-selesai, dan lirik lagu bertebaran dimana-mana. Tapi bagi saya, cerita mulai jadi menarik ketika kelima sahabat ini melakukan perjalanan ke Mahameru. Saya bukan penyuka tipe novel roman yang menye’-menye’ gitu. Tapi kalo sudah temanya tentang how to live your dreams, saya bisa yang nangis-nangis gajebo gitu. And that book actually touched my soft spot. My soft spot of being somebody who loves my country (even though sometimes I kinda wonder why), of being somebody who tries so hard to believe in dreams and miracles. Jadilah saya memberi buku ini 4 bintang.Oh, okay,

Begitu tau buku ini diangkat jadi film, saya yang biasanya not really a movie-goer langsung memasukkan film ini dalam list film wajib tonton tahun ini, along with Life of Pi, another film adapted from a book that I really like.
 
And so, jadilah saya menonton film ini. Somehow, nyaris tidak punya ekspektasi apapun. Karena saya sadar, sangat sulit untuk bisa menterjemahkan sebuah buku setebals ekian ratus halaman menjadi film berdurasi maksimal 120 menit. I was quite happy with how Life of Pi was transformed into a movie, tapi untuk buku yang satu ini… entahlah…
 
The first half of the movie was… pretty good. It was even hilarious. Waktu membaca bukunya, nyaris separuh pertama buku ini saya baca dengan tertatih-tatih. Tapi di filmnya, malah lucuuu banget. Karakter dari masing-masing tokoh keliatan uniknya. Arial yang pemalu, Ian yang gak selese-selese dengan skripsi, Genta yang pengen saya ajak kawin aja yang tipe pria baik-baik (oh my God, Fedi Nuril!). Dan tentu saja, Zafran yang norak abis. Junot really nailed it in playing this character (walopun bagi saya tetep aja Fedi Nuril mulu yang bisa bikin saya histeris). Perjuangan Ian menyelesaikan skripsi, obsesi Zafran pada si Dinda adiknya Arial, semuanya mengalir begitu saja dengan mulus. Tau-tau, durasi film sudah berjalan satu jam aja, dan sampailah cerita pada titik dimana kelima sahabat plus si Dinda adiknya Arial melakukan perjalanan.
 
And for me, that’s when the movie started to show some weaknesses here and there.
 
Yes, the view was beautiful. Tiap kali melihat betapa menakjubkannya pemandangan yang ditampilkan, I cannot help to have this smile, dan bekata sendiridalam hati, “That’s my country, my one and only country…”. Indonesia itu indah. Dan keindahan yang tergambar dalam film ini tentu saja menjadi salah satu kekuatan utamanya.
 
Taaapiii… I hate the dialogues. So unnatural. Tiba-tiba saja, akting Fedi Nuril saat menjadi Genta yang memimpin teman-temannya dalam pendakian jadi terasa kaku. Oh well, memang sulit untuk tidak terasa kaku kalau kata-kata yang ada dalam dialognya terasa sekali berbahasa Indonesia yang baik dan benar sesuai dengan aturan dan kaidah EYD. It was strage, actually. Karena di paruh pertama film, dialog para tokoh tidak sekaku itu. Pilihan kata-katanya masih terdengar sebagaimana wajarnya percakapan sehari-hari. Waktu mereka mulai mendaki ke puncak, bukannya ikut tegang dengan perjuangan mereka mendaki itu, saya lebih banyakbertanya-tanya kenapa harus selebay itu penggambarannya. Saya tidak pernah mendaki gunung, dan tidak pernah berminat untuk itu. Tapi bahkan saya dengan pengetahuan yang nyaris mendekati negatif tentang pendakian gunung merasa bahwa naik gunungnya mereka yang betul-betul tanpa membawa perlengkapan apa-apa terlihat konyol. Dan begitu Mas-mas yang duduk di depan saya menggeleng-gelengkan kepala sambil menggumam betapa tidak mungkinnya mendaki gunung dengan cara seperti itu, saya jadi merasa tidak sendirian. And again, those dialogues! Argh. Almost unbearable. Ada suatu adegan dimana Arial kedinginan, dan para teman-temannya dengan khawatir mendekati dia. 
Guess what? Here’s the dialogue that successfully made me rolled my eyes >>>
Teman 1: “Gawat! Dia kedinginan hebat!
Teman 2: “Ayo! Semua peluk dia lebih erat supaya dia merasa lebih hangat!
Saya sempat mengira sedang menonton Dora the Explorer.
 
Waktu saya membaca bukunya, salah satu adegan yang paling membuat mata saya berkaca-kaca adalah waktu upacara bendera di puncak Mahameru. For me, itu salah satu adegan yang seharusnya terasa agung dan megah. And this movie fails to translate it.
 
Satu, tidak-ada adegan upacara bendera. Cuma ada sedikit kibar-mengibar bendera. Dua, waktu mereka masing-masing menyerukan kebahagiaan mereka untuk bisa tetap bersama dan bagaimana mereka mencintai negri ini, ada segerombolan orang (yang jelas sekali dimaksudkan sebagai pemain figuran) berdiri di belakang mereka, and they did nothing but just stood there awkwardly and  watched them. Super duper aneh. Dan berlalulah adegan itu tanpa membuat saya merasakan apapun selain mikir “Itu orang-orang di belakang mereka kenapa pada bengong gitu aja ya?”.  Jadilah selama paruh kedua film, saya bolak-balik ngeliatin jam tangan.
 
And because of all those awkward dialogues and scenes, saya yang tadinya sempat punya ekspektasi lumayan di awal hingga pertengahan film, akhirnya merasa bahwa bagi saya, this movie is just another movie.
Luckily, Fedi Nuril menyenangkan sekali untuk dilihat. Walaupun tetap saja dia punay kecenderungan utnuk melotot terus -_-. Dan dengan absurdnya sepanjang film saya berpikir kenapa dia jadi terlihat semakin mirip saja dengan David Silva.

For me, I give this movie 3 out of 5 stars. 2,5 bintang untuk filmnya itu sendiri, dan ekstra 0,5 lagi untuk Fedi Nuril.

Apakah saya kecewa dengan filmnya? Gak juga sih, secara memang tidak punya ekspektasi terlalu tinggi, dan saya mengakui bahwa satu jam pertama dari film ini sangat enjoyable. But still, seandainya saja dialognya tidak seaneh dan secanggung itu, the movie could have been so much better.

3 komentar:

  1. ke-kenapa hurufnya begini? *mata berkunang-kunang* #salahfokus #berasaditwitter

    BalasHapus
  2. belum baca bukunya maupun nonton filmnya -__-

    BalasHapus
  3. believe it or not. Hal pertama yang aku rasakan janggal juga dialog-dialognya! -____- Aku merasa kalau dialog-dialognya ada yg agak dipaksakan spy lucu tp sekaligus spy bs berfilosofis. Dan tentang upacara bendera itu bener banget! Aku sbg penonton awam aja bs liat dan langsung merasa itu bukan lagi upacara bendera yang menggugah nasionalisme, tapi lagi syuting!
    Juga sayang sekali kalau para remaja yang 'terbakar' utk mencoba mendaki gunung gara2 film 5 cm salah kaprah mengira mendaki gunung bisa melenggang semudah itu tanpa bekal dan persiapan fisik mental yang mumpuni. :(
    but well, novel dan filmnya sama2 menunjukkan indahnya Indonesia dan membuat bangga betapa kita sebenarnya hidup berlimbah anugerah :)


    BalasHapus

Minggu, 16 Desember 2012

5cm – The Movie

Sebelum banyak yang heboh soal film yang diangkat dari novelnya Donny Dhirgantoro ini, saya sudah baca bukunya sejak dulu banget. Punya bukunya yang masih edisi lama, dikasih temen pula. Walaupun banyak yang menilai buku ini over-rated, saya tetep suka buku ini. Iya, it took like ages to finish the first few chapters. Rasanya gak selesai-selesai, dan lirik lagu bertebaran dimana-mana. Tapi bagi saya, cerita mulai jadi menarik ketika kelima sahabat ini melakukan perjalanan ke Mahameru. Saya bukan penyuka tipe novel roman yang menye’-menye’ gitu. Tapi kalo sudah temanya tentang how to live your dreams, saya bisa yang nangis-nangis gajebo gitu. And that book actually touched my soft spot. My soft spot of being somebody who loves my country (even though sometimes I kinda wonder why), of being somebody who tries so hard to believe in dreams and miracles. Jadilah saya memberi buku ini 4 bintang.Oh, okay,

Begitu tau buku ini diangkat jadi film, saya yang biasanya not really a movie-goer langsung memasukkan film ini dalam list film wajib tonton tahun ini, along with Life of Pi, another film adapted from a book that I really like.
 
And so, jadilah saya menonton film ini. Somehow, nyaris tidak punya ekspektasi apapun. Karena saya sadar, sangat sulit untuk bisa menterjemahkan sebuah buku setebals ekian ratus halaman menjadi film berdurasi maksimal 120 menit. I was quite happy with how Life of Pi was transformed into a movie, tapi untuk buku yang satu ini… entahlah…
 
The first half of the movie was… pretty good. It was even hilarious. Waktu membaca bukunya, nyaris separuh pertama buku ini saya baca dengan tertatih-tatih. Tapi di filmnya, malah lucuuu banget. Karakter dari masing-masing tokoh keliatan uniknya. Arial yang pemalu, Ian yang gak selese-selese dengan skripsi, Genta yang pengen saya ajak kawin aja yang tipe pria baik-baik (oh my God, Fedi Nuril!). Dan tentu saja, Zafran yang norak abis. Junot really nailed it in playing this character (walopun bagi saya tetep aja Fedi Nuril mulu yang bisa bikin saya histeris). Perjuangan Ian menyelesaikan skripsi, obsesi Zafran pada si Dinda adiknya Arial, semuanya mengalir begitu saja dengan mulus. Tau-tau, durasi film sudah berjalan satu jam aja, dan sampailah cerita pada titik dimana kelima sahabat plus si Dinda adiknya Arial melakukan perjalanan.
 
And for me, that’s when the movie started to show some weaknesses here and there.
 
Yes, the view was beautiful. Tiap kali melihat betapa menakjubkannya pemandangan yang ditampilkan, I cannot help to have this smile, dan bekata sendiridalam hati, “That’s my country, my one and only country…”. Indonesia itu indah. Dan keindahan yang tergambar dalam film ini tentu saja menjadi salah satu kekuatan utamanya.
 
Taaapiii… I hate the dialogues. So unnatural. Tiba-tiba saja, akting Fedi Nuril saat menjadi Genta yang memimpin teman-temannya dalam pendakian jadi terasa kaku. Oh well, memang sulit untuk tidak terasa kaku kalau kata-kata yang ada dalam dialognya terasa sekali berbahasa Indonesia yang baik dan benar sesuai dengan aturan dan kaidah EYD. It was strage, actually. Karena di paruh pertama film, dialog para tokoh tidak sekaku itu. Pilihan kata-katanya masih terdengar sebagaimana wajarnya percakapan sehari-hari. Waktu mereka mulai mendaki ke puncak, bukannya ikut tegang dengan perjuangan mereka mendaki itu, saya lebih banyakbertanya-tanya kenapa harus selebay itu penggambarannya. Saya tidak pernah mendaki gunung, dan tidak pernah berminat untuk itu. Tapi bahkan saya dengan pengetahuan yang nyaris mendekati negatif tentang pendakian gunung merasa bahwa naik gunungnya mereka yang betul-betul tanpa membawa perlengkapan apa-apa terlihat konyol. Dan begitu Mas-mas yang duduk di depan saya menggeleng-gelengkan kepala sambil menggumam betapa tidak mungkinnya mendaki gunung dengan cara seperti itu, saya jadi merasa tidak sendirian. And again, those dialogues! Argh. Almost unbearable. Ada suatu adegan dimana Arial kedinginan, dan para teman-temannya dengan khawatir mendekati dia. 
Guess what? Here’s the dialogue that successfully made me rolled my eyes >>>
Teman 1: “Gawat! Dia kedinginan hebat!
Teman 2: “Ayo! Semua peluk dia lebih erat supaya dia merasa lebih hangat!
Saya sempat mengira sedang menonton Dora the Explorer.
 
Waktu saya membaca bukunya, salah satu adegan yang paling membuat mata saya berkaca-kaca adalah waktu upacara bendera di puncak Mahameru. For me, itu salah satu adegan yang seharusnya terasa agung dan megah. And this movie fails to translate it.
 
Satu, tidak-ada adegan upacara bendera. Cuma ada sedikit kibar-mengibar bendera. Dua, waktu mereka masing-masing menyerukan kebahagiaan mereka untuk bisa tetap bersama dan bagaimana mereka mencintai negri ini, ada segerombolan orang (yang jelas sekali dimaksudkan sebagai pemain figuran) berdiri di belakang mereka, and they did nothing but just stood there awkwardly and  watched them. Super duper aneh. Dan berlalulah adegan itu tanpa membuat saya merasakan apapun selain mikir “Itu orang-orang di belakang mereka kenapa pada bengong gitu aja ya?”.  Jadilah selama paruh kedua film, saya bolak-balik ngeliatin jam tangan.
 
And because of all those awkward dialogues and scenes, saya yang tadinya sempat punya ekspektasi lumayan di awal hingga pertengahan film, akhirnya merasa bahwa bagi saya, this movie is just another movie.
Luckily, Fedi Nuril menyenangkan sekali untuk dilihat. Walaupun tetap saja dia punay kecenderungan utnuk melotot terus -_-. Dan dengan absurdnya sepanjang film saya berpikir kenapa dia jadi terlihat semakin mirip saja dengan David Silva.

For me, I give this movie 3 out of 5 stars. 2,5 bintang untuk filmnya itu sendiri, dan ekstra 0,5 lagi untuk Fedi Nuril.

Apakah saya kecewa dengan filmnya? Gak juga sih, secara memang tidak punya ekspektasi terlalu tinggi, dan saya mengakui bahwa satu jam pertama dari film ini sangat enjoyable. But still, seandainya saja dialognya tidak seaneh dan secanggung itu, the movie could have been so much better.

3 komentar:

  1. ke-kenapa hurufnya begini? *mata berkunang-kunang* #salahfokus #berasaditwitter

    BalasHapus
  2. belum baca bukunya maupun nonton filmnya -__-

    BalasHapus
  3. believe it or not. Hal pertama yang aku rasakan janggal juga dialog-dialognya! -____- Aku merasa kalau dialog-dialognya ada yg agak dipaksakan spy lucu tp sekaligus spy bs berfilosofis. Dan tentang upacara bendera itu bener banget! Aku sbg penonton awam aja bs liat dan langsung merasa itu bukan lagi upacara bendera yang menggugah nasionalisme, tapi lagi syuting!
    Juga sayang sekali kalau para remaja yang 'terbakar' utk mencoba mendaki gunung gara2 film 5 cm salah kaprah mengira mendaki gunung bisa melenggang semudah itu tanpa bekal dan persiapan fisik mental yang mumpuni. :(
    but well, novel dan filmnya sama2 menunjukkan indahnya Indonesia dan membuat bangga betapa kita sebenarnya hidup berlimbah anugerah :)


    BalasHapus