Rabu, 09 April 2008

Wind Entering Me

Minggu sore, aku bangun dari tidur siang dengan kepala yang tiba-tiba saja memiliki dualisme sifat (kayak elektron ajah...). Rasanya beraaaat banget sampai susah diangkat dari bantal (sekali ini alasannya bukan karena males deh) tapi sekaligus juga terasa ringaaan banget sampai dia terasa berputar-putar dengan kecepatan 150 rpm. Arrrggghh.... Mengerahkan segenap tenaga dan daya upaya, bisa juga aku bangkit. Eeehhh... Malah badanku sekarang yang terasa rontok semua. Oh iya,plus ditambah acara mual-mual. Addduuuhhh... seandainya aku adalah seorang istri yang masih dalam masa pengantin baru, mungkin aku udah nyari test-pack kali yaaa... Tapi karena kasusnya kali ini berbeda, sepertinya hal yang bisa disimpulkan adalah...aku terserang penyakit tradisionalnya Indonesia: masuk angin.

Jadi, demi mengingat bahwa besok siang aku ada janji konsultasi dengan dosen, plus timbunan esayku yang sepertinya tertawa dengan penuh ancaman, yaa...penyakit tradisional ini harus aku lawan!!! Tentunya dengan metode pengobatan tradisional juga dwooong... :kerokan. Tapi ternyata kerokan disini membuat aku berada dalam beberapa dilema...

Dilema pertama aku temui setelah membongkar stoples tempat aku naruh obat-obatan. Duh, jadi bingung... Pake Vicks, Minya Kayu Putih, atau Minyak Tawon ya?

Minyak Tawon langsung dicoret dari daftar pilihan, karena seingatku dia lebih manjur untuk benjolan-benjolan karena kejentok ataupun 'ciuman mesra' dari serangga. Hmm...setelah menggunakan cost-benefit tool untuk menganalisis pilihan terbaik, akhirnya aku memutuskan pake Vicks aja. Oke...satu masalah selesai.

Next dilemma: money...money..money...money...money...! *backsound OSTnya The Apprentice*. Kalo di Indonesia dulu kan yang paling tokcer tuh uang logam seratus jaman dulu yang gede itu, yang ada gambar pohon wayangannya. Mantep dah... Tapi sekarang, mana yang harus kupilih? Well, walaupun dari segi nominal 2$ menang, tapi karena ukurannya terlalu kecil...menyesal sekali, dia lebih baik masuk celengan saja. Hmm...yang 50 sen? Ukurannya paling top! Tapi dipikir-pikir lagi, kayaknya kok masih ga sreg ya... Setelah menggunakan analisis SWOT, pilihanku jatuh pada keping 20 sen. Ukurannya pas untuk dipegang dan dikendalikan, dan keunggulan utamanya adalah pinggirannya yang bergerigi terlihat menjanjikan hasil kerokan yang efektif. Naaahhh.... yang paling susah adalah: who's gonna do it??? Secara di rumah ini aku satu-satunya yang orang Indonesia, dan aku belum pernah menemukan literatur bersifat internasional yang membahas mengenai kerokan.. Duh, jelas dong ga mungkin minta tolong sama Winnie, atau Linlin, atau Fenfen untuk mengerok diriku? Mungkin malah mereka berpikir aku udah kehilangan kewarasan begitu aku menyodorkan uang logam, vick dan punggungku pada mereka. Jadii... mau tak mau kuharus, melanjutkan yang tersisa..lho,lho..kok jadi lagunya Jagostu sih? Oke, back to kerokan. Aku harus melakukakannya sendiri... Hiks. Ya udah, dengan sebisanya, terpaksa metode pengobatan trasidional yang seharusnya melibatkan kerja sama yang baik antar dua orang ini aku lakukan by myself... Well, jadi karena yang terjangkau cuma daerah bahu dan leher..ya...lumayanlah, walaupun punggung yang biasanya adalah daerah vital untuk pengobatan ini tak bisa diraih, at least sedikit membantu. Baru 2-3 kali gosok, udah keliatan betapa leherku jadi tersipu-sipu...jadi meraaaaah gitu lhooo....

Aku jadi kangen Mama. Di Indonesia dulu, 6 hari dalam seminggu (Rektor kami masih dengan teganya menerapkan 6 hari kerja) aku mesti bolak-balik Banjarmasin-Banjarbaru, sekitar 40 km. Berangkat jam 06.30 pagi, nyampe rumah lagi udah deket-deket jam 6, naik angkot.. Jadi biasanya 1-2 kali seminggu, aku bakal nongol di kamar Mama, bawa-bawa Balpirik dan koin lama 100an yang jadi andalan. Mama tidak pernah menolak untuk mengerok ('mengariki" kalo Bahasa Banjarnya) diriku, walaupun teteup...selalu dilengkapi acara tebaran petuah. Versinya macem-macem sih, tapi intinya sama: "Neee...ya kelo, sudah jua dipadahi, amun bejalan tu bejaket. Ni ikamnya jua nang mecal, kada mau me'asi. Kena bepadah kada ingatlah, kena koler lah...dasar ikamnya jua nang becari penyakit. Sudah Mama padahi lo, amun handak tulak tu makan dulu, biar kada sawat makan di rumah, dibawa barang...kawa ja lo makan di taksi, atau pas hanyar sampai langsung dimakan. Nee, liati...habang lo?" *

* " Tuh, ya kan, sudah dibilangin, kalau pergi tuh pakai jaket. Ini kamunya juga yang bandel, ga mau nurut Nanti bilangnya nggak inget lah, nanti males lah. Memang kamunya juga yang nyari penyakit. Sudah mama bilang kan, kalau mau berangkat itu makan dulu, biarpun ga sempet makan dirumah, dibawa aja. Bisa saja kan makan di taksi (angkot di Banjar disebutnya taksi), atau begitu sampai langsung dimakan. Tuh, liat. Merah kan?"

Biasanya aku cuma cengar-cengir dilengkapi sedikit kata-kata : "Inggih Ma ai..." sambil agak meringis membiarkan punggungku jadi ajang kreativitasnya Mama. Biasanya, suka ada Dian yang ikut-ikutan duduk di sampingku, memperhatikan dengan mata bulatnya yang terbelalak.. Apakah itu tandanya dia begitu perhatian pada tante kesayangannya ini? Hohoho...belum tentu..aku kok merasa dia menikmati adegan betapa tantenya yang suka cerewet pada dirinya ini terpaksa takluk tak berdaya di depan Nini. Kenapa? Karena biasanya setelah dia puas melihat dia akan lari keluar mencari Abah, dan langsung laporan: "Kaiii.... Tante Ami dimarahin sama Nini sampai belakangnya merah-merah..."

Bagi yang mau belajar teknik kerokan yang baik, ada "Kerokan for Dummies" bisa diliat disini

1 komentar:

  1. Ha..ha..mbak Ami, nih posting lucu banget. Aniwei, bener kog mbak sy juga kdg kerokan kalo mangsuk angin abis nglajo juga sih cm gak sejauh mbak Ami. Sy cuma 26 km, naik busway gitu tp sekali jalan khan UNS di pinggir jln raya, dengan waktu tempuh 30 menit..he..he wah kita senasib...dan sepenanggungan.
    Kog ternyata di bjm kerokan ngetrend juga ya?? gw kira kerokan budaya Jawa, ternyata dah menasional banget...hidup kerokan!!

    BalasHapus

Rabu, 09 April 2008

Wind Entering Me

Minggu sore, aku bangun dari tidur siang dengan kepala yang tiba-tiba saja memiliki dualisme sifat (kayak elektron ajah...). Rasanya beraaaat banget sampai susah diangkat dari bantal (sekali ini alasannya bukan karena males deh) tapi sekaligus juga terasa ringaaan banget sampai dia terasa berputar-putar dengan kecepatan 150 rpm. Arrrggghh.... Mengerahkan segenap tenaga dan daya upaya, bisa juga aku bangkit. Eeehhh... Malah badanku sekarang yang terasa rontok semua. Oh iya,plus ditambah acara mual-mual. Addduuuhhh... seandainya aku adalah seorang istri yang masih dalam masa pengantin baru, mungkin aku udah nyari test-pack kali yaaa... Tapi karena kasusnya kali ini berbeda, sepertinya hal yang bisa disimpulkan adalah...aku terserang penyakit tradisionalnya Indonesia: masuk angin.

Jadi, demi mengingat bahwa besok siang aku ada janji konsultasi dengan dosen, plus timbunan esayku yang sepertinya tertawa dengan penuh ancaman, yaa...penyakit tradisional ini harus aku lawan!!! Tentunya dengan metode pengobatan tradisional juga dwooong... :kerokan. Tapi ternyata kerokan disini membuat aku berada dalam beberapa dilema...

Dilema pertama aku temui setelah membongkar stoples tempat aku naruh obat-obatan. Duh, jadi bingung... Pake Vicks, Minya Kayu Putih, atau Minyak Tawon ya?

Minyak Tawon langsung dicoret dari daftar pilihan, karena seingatku dia lebih manjur untuk benjolan-benjolan karena kejentok ataupun 'ciuman mesra' dari serangga. Hmm...setelah menggunakan cost-benefit tool untuk menganalisis pilihan terbaik, akhirnya aku memutuskan pake Vicks aja. Oke...satu masalah selesai.

Next dilemma: money...money..money...money...money...! *backsound OSTnya The Apprentice*. Kalo di Indonesia dulu kan yang paling tokcer tuh uang logam seratus jaman dulu yang gede itu, yang ada gambar pohon wayangannya. Mantep dah... Tapi sekarang, mana yang harus kupilih? Well, walaupun dari segi nominal 2$ menang, tapi karena ukurannya terlalu kecil...menyesal sekali, dia lebih baik masuk celengan saja. Hmm...yang 50 sen? Ukurannya paling top! Tapi dipikir-pikir lagi, kayaknya kok masih ga sreg ya... Setelah menggunakan analisis SWOT, pilihanku jatuh pada keping 20 sen. Ukurannya pas untuk dipegang dan dikendalikan, dan keunggulan utamanya adalah pinggirannya yang bergerigi terlihat menjanjikan hasil kerokan yang efektif. Naaahhh.... yang paling susah adalah: who's gonna do it??? Secara di rumah ini aku satu-satunya yang orang Indonesia, dan aku belum pernah menemukan literatur bersifat internasional yang membahas mengenai kerokan.. Duh, jelas dong ga mungkin minta tolong sama Winnie, atau Linlin, atau Fenfen untuk mengerok diriku? Mungkin malah mereka berpikir aku udah kehilangan kewarasan begitu aku menyodorkan uang logam, vick dan punggungku pada mereka. Jadii... mau tak mau kuharus, melanjutkan yang tersisa..lho,lho..kok jadi lagunya Jagostu sih? Oke, back to kerokan. Aku harus melakukakannya sendiri... Hiks. Ya udah, dengan sebisanya, terpaksa metode pengobatan trasidional yang seharusnya melibatkan kerja sama yang baik antar dua orang ini aku lakukan by myself... Well, jadi karena yang terjangkau cuma daerah bahu dan leher..ya...lumayanlah, walaupun punggung yang biasanya adalah daerah vital untuk pengobatan ini tak bisa diraih, at least sedikit membantu. Baru 2-3 kali gosok, udah keliatan betapa leherku jadi tersipu-sipu...jadi meraaaaah gitu lhooo....

Aku jadi kangen Mama. Di Indonesia dulu, 6 hari dalam seminggu (Rektor kami masih dengan teganya menerapkan 6 hari kerja) aku mesti bolak-balik Banjarmasin-Banjarbaru, sekitar 40 km. Berangkat jam 06.30 pagi, nyampe rumah lagi udah deket-deket jam 6, naik angkot.. Jadi biasanya 1-2 kali seminggu, aku bakal nongol di kamar Mama, bawa-bawa Balpirik dan koin lama 100an yang jadi andalan. Mama tidak pernah menolak untuk mengerok ('mengariki" kalo Bahasa Banjarnya) diriku, walaupun teteup...selalu dilengkapi acara tebaran petuah. Versinya macem-macem sih, tapi intinya sama: "Neee...ya kelo, sudah jua dipadahi, amun bejalan tu bejaket. Ni ikamnya jua nang mecal, kada mau me'asi. Kena bepadah kada ingatlah, kena koler lah...dasar ikamnya jua nang becari penyakit. Sudah Mama padahi lo, amun handak tulak tu makan dulu, biar kada sawat makan di rumah, dibawa barang...kawa ja lo makan di taksi, atau pas hanyar sampai langsung dimakan. Nee, liati...habang lo?" *

* " Tuh, ya kan, sudah dibilangin, kalau pergi tuh pakai jaket. Ini kamunya juga yang bandel, ga mau nurut Nanti bilangnya nggak inget lah, nanti males lah. Memang kamunya juga yang nyari penyakit. Sudah mama bilang kan, kalau mau berangkat itu makan dulu, biarpun ga sempet makan dirumah, dibawa aja. Bisa saja kan makan di taksi (angkot di Banjar disebutnya taksi), atau begitu sampai langsung dimakan. Tuh, liat. Merah kan?"

Biasanya aku cuma cengar-cengir dilengkapi sedikit kata-kata : "Inggih Ma ai..." sambil agak meringis membiarkan punggungku jadi ajang kreativitasnya Mama. Biasanya, suka ada Dian yang ikut-ikutan duduk di sampingku, memperhatikan dengan mata bulatnya yang terbelalak.. Apakah itu tandanya dia begitu perhatian pada tante kesayangannya ini? Hohoho...belum tentu..aku kok merasa dia menikmati adegan betapa tantenya yang suka cerewet pada dirinya ini terpaksa takluk tak berdaya di depan Nini. Kenapa? Karena biasanya setelah dia puas melihat dia akan lari keluar mencari Abah, dan langsung laporan: "Kaiii.... Tante Ami dimarahin sama Nini sampai belakangnya merah-merah..."

Bagi yang mau belajar teknik kerokan yang baik, ada "Kerokan for Dummies" bisa diliat disini

1 komentar:

  1. Ha..ha..mbak Ami, nih posting lucu banget. Aniwei, bener kog mbak sy juga kdg kerokan kalo mangsuk angin abis nglajo juga sih cm gak sejauh mbak Ami. Sy cuma 26 km, naik busway gitu tp sekali jalan khan UNS di pinggir jln raya, dengan waktu tempuh 30 menit..he..he wah kita senasib...dan sepenanggungan.
    Kog ternyata di bjm kerokan ngetrend juga ya?? gw kira kerokan budaya Jawa, ternyata dah menasional banget...hidup kerokan!!

    BalasHapus