Kamis, 27 Maret 2008

Karena Masih Belum Sampai waktuku

Akhirnya, mungkin karena gemes aku masiiiihhhh aja belum baca novel Ayat-ayat Cinta yang super duper populer itu, salah satu teman mengirim e-mail khusus untuk aku disertai attachment pdf novel tersebut. Mohon maaf, nama sang teman tidak aku cantumkan demi menghindari terkalahkannya popularitasku sebagai penulis utama di blog ini (alasan yang sungguh tidak penting). Lagi pula, kok ya aku merasa dia akan jauh lebih merasa damai aman dan tentram kalau namanya tidak kusebut-sebut yaaa... *melirik sang teman*.

Well, sebenernya, kenapa aku masih belum juga membaca novel tersebut (sampai akhirnya dapet e-mail dari si teman itu) adalah karena... Ga kepengen. Apapun pendapat orang, bagaimana bagusnya buku ini berdasarkan review berbagai pihak, tetep saja, aku ga berminat. Di Banjar dulu Kamil pernah menawarkan diri untuk meminjamkan novel ini yang menurutnya sangat menyentuh hati. Tapi tetep, dengan berbagai alasan kesibukan (yang sangat tidak terbantahkan dan relevan dengan suasana di MIPA), aku tetep menunda (dengan tujuan akhir menolak) niat mulianya itu.

Kenapa aku ga kepengen baca?

Personal reason.

Judulnya.

Some people will find it silly, but for me, it’s a totally personal reason and experience. Aku pernah kehilangan kepercayaan akan kata-kata CINTA, dan sampai saat ini, I’m still regaining my faith back into it.

I love my family, I love my friends, I even love my students (despite of their strange and unexplainable attittude), but I still haven’t found my soulmate of love.

Once, I thought I have found it, and I have fought for it. Tapi toh, I just found out that it’s only fairytales. Fairytales do come true for some people, but for me, it remains to be words in storybook children.

Aku sudah membangun citacita itu dengan harapan, menyusun balok demi balok rencana yang kupikir adalah mimpi kami bersama. Dan ketika aku mengira sudah tiba saatnya untuk meletakkan balok-balok akhir dari impian itu, ucapan bahwa ternyata belumlah saatnya, menyapu semua tumpukan itu. Seandainya…seandainya saja… Ucapan itu diiringi dengan suatu janji bahwa saat itu akan tiba, mungkin masih ada balok yang masih tegak berdiri. Tapi karena hanya ketidakpastian yang dia tawarkan tanpa sedikitpun rasa sesal, maka balok-balok itu rubuh dan hancur menjadi pasir. Hilang sudah semua rekatan yang menyatukan mereka Dan sejak saat itu semuanya gelap, dan aku betul-betul melangkah tanpa arah. Pertanyaan yang semula pernah tersingkir jauh, tiba-tiba muncul kembali, and this time, it remains stronger. “Inikah cinta itu? Layakkah?”. Dan betapa menyakitkannya begitu dia berkata, bahwa usahaku menyusun harapan itu adalah ilusi yang baginya semu belaka. Aku tahu, aku pernah salah saat berjalan dalam kegelapan itu, ketika kukira ada cahaya yang redup. Aku tahu, aku punya pilihan dan aku berhak untuk memilih. Aku punya pilihan itu…meski sakit baginya, tidakkah dia sadar bahwa aku pun tak kalah menahan tangis? Aku terima dengan lapang dada semua tuduhannya, semua kalimatnya bahwa akulah yang menorehkan pedih itu. Tapi kenapa, darah yang telah menganak sungai di hatiku ini tak pernah dia seka? Bahkan air mataku pun baginya hanyalah tameng bagi keegoisanku.

Seandainya…seandainya saja.. Ada seuntai kata sesal yang dia ulurkan padaku… Seandainya saja, dia tak menyangkal bahwa dia pernah membuatku hilang arah dan terjatuh dalam lubang tak berdasar… Mungkin aku akan tetap meraih tangannya…

Tapi tetap saja…it remains as “If only…”. Karena rasa sakitku yang aku ungkapkan padanya hanya berbalas bahwa dia merasa sakit, bahwa dia lebih merasa sakit, bahwa sakitku pun adalah ulahku… Dan kecewaku baginya hanyalah emosi tak berdasar, bahwa tangis ku hanyalah bukti betapa lemahnya aku. Baginya, semua adalah salahku, dan sudah terlalu banyak pengorbanannya untukku hingga tidaklah layak aku mengharap dia meminta maaf. Kenapa? Kenapa?

Maka, aku tak percaya lagi. Karena pengorbananku tak pernah dianggap ada. Dan rasa sakit itu sudah terlalu dalam untuk bisa terus dirasakan. Karena...hatiku perlahan kehilangan detaknya, kehilangan rasanya... Dia terlalu lelah dalam penantian, dan ditikam mati oleh tuduhan.

Tuhanlah tempatku berpegang satu-satunya kini. Ke hadapanNya lah wajahku yang penuh air mata kini terus aku hadapkan. Meskipun aku tak menyangkal, bahwa aku sering kali masih bertanya padaNya: ”Terlalu banyakkah yang aku minta?”.

Seberapa derasnya doa yang aku alirkan dalam kalimatku padanya... Maafkan aku Ya Tuhan...jika saat ini, aku hanya mengangkat sebelah alis pada kata-kata CINTA. Karena atas dasar cinta aku pernah begitu lama membiarkan diriku dibelenggu oleh ucapannya, yang kemudian membunuh ku dengan tidak pernah menjadi nyata...

1 komentar:

  1. Mbak Amiiii...story-mu kog sedih banget sih...hiks sampe aku nangis..hiks..hiks. Dah mbak, sy pernah mengalami pengkhianatan cinta yang meyakitkan hati, tapi aku nggak dendam tuh sama cinta dan wanita, malah takut banget menyakiti hati wanita (makhluk terindah di muka bumi). Mungkin lain kali ya kalo yang sakit hati wanita, so long traumatic gitu kalee.
    Sometime dapet pengganti yg bener2 dapat diandalkan "kepastiannya". Sebagai kaum Adam kadang sy juga ngeh sama sikap keegoisan kaum saya..he..he. (I still learn not to be a selfish person). Saya percaya mbak Ami orangnya baek kog, pasti dapet orang baek juga. Posting cerita yg lucu2 lagi aja mbak, i miss funny stories frum u.

    BalasHapus

Kamis, 27 Maret 2008

Karena Masih Belum Sampai waktuku

Akhirnya, mungkin karena gemes aku masiiiihhhh aja belum baca novel Ayat-ayat Cinta yang super duper populer itu, salah satu teman mengirim e-mail khusus untuk aku disertai attachment pdf novel tersebut. Mohon maaf, nama sang teman tidak aku cantumkan demi menghindari terkalahkannya popularitasku sebagai penulis utama di blog ini (alasan yang sungguh tidak penting). Lagi pula, kok ya aku merasa dia akan jauh lebih merasa damai aman dan tentram kalau namanya tidak kusebut-sebut yaaa... *melirik sang teman*.

Well, sebenernya, kenapa aku masih belum juga membaca novel tersebut (sampai akhirnya dapet e-mail dari si teman itu) adalah karena... Ga kepengen. Apapun pendapat orang, bagaimana bagusnya buku ini berdasarkan review berbagai pihak, tetep saja, aku ga berminat. Di Banjar dulu Kamil pernah menawarkan diri untuk meminjamkan novel ini yang menurutnya sangat menyentuh hati. Tapi tetep, dengan berbagai alasan kesibukan (yang sangat tidak terbantahkan dan relevan dengan suasana di MIPA), aku tetep menunda (dengan tujuan akhir menolak) niat mulianya itu.

Kenapa aku ga kepengen baca?

Personal reason.

Judulnya.

Some people will find it silly, but for me, it’s a totally personal reason and experience. Aku pernah kehilangan kepercayaan akan kata-kata CINTA, dan sampai saat ini, I’m still regaining my faith back into it.

I love my family, I love my friends, I even love my students (despite of their strange and unexplainable attittude), but I still haven’t found my soulmate of love.

Once, I thought I have found it, and I have fought for it. Tapi toh, I just found out that it’s only fairytales. Fairytales do come true for some people, but for me, it remains to be words in storybook children.

Aku sudah membangun citacita itu dengan harapan, menyusun balok demi balok rencana yang kupikir adalah mimpi kami bersama. Dan ketika aku mengira sudah tiba saatnya untuk meletakkan balok-balok akhir dari impian itu, ucapan bahwa ternyata belumlah saatnya, menyapu semua tumpukan itu. Seandainya…seandainya saja… Ucapan itu diiringi dengan suatu janji bahwa saat itu akan tiba, mungkin masih ada balok yang masih tegak berdiri. Tapi karena hanya ketidakpastian yang dia tawarkan tanpa sedikitpun rasa sesal, maka balok-balok itu rubuh dan hancur menjadi pasir. Hilang sudah semua rekatan yang menyatukan mereka Dan sejak saat itu semuanya gelap, dan aku betul-betul melangkah tanpa arah. Pertanyaan yang semula pernah tersingkir jauh, tiba-tiba muncul kembali, and this time, it remains stronger. “Inikah cinta itu? Layakkah?”. Dan betapa menyakitkannya begitu dia berkata, bahwa usahaku menyusun harapan itu adalah ilusi yang baginya semu belaka. Aku tahu, aku pernah salah saat berjalan dalam kegelapan itu, ketika kukira ada cahaya yang redup. Aku tahu, aku punya pilihan dan aku berhak untuk memilih. Aku punya pilihan itu…meski sakit baginya, tidakkah dia sadar bahwa aku pun tak kalah menahan tangis? Aku terima dengan lapang dada semua tuduhannya, semua kalimatnya bahwa akulah yang menorehkan pedih itu. Tapi kenapa, darah yang telah menganak sungai di hatiku ini tak pernah dia seka? Bahkan air mataku pun baginya hanyalah tameng bagi keegoisanku.

Seandainya…seandainya saja.. Ada seuntai kata sesal yang dia ulurkan padaku… Seandainya saja, dia tak menyangkal bahwa dia pernah membuatku hilang arah dan terjatuh dalam lubang tak berdasar… Mungkin aku akan tetap meraih tangannya…

Tapi tetap saja…it remains as “If only…”. Karena rasa sakitku yang aku ungkapkan padanya hanya berbalas bahwa dia merasa sakit, bahwa dia lebih merasa sakit, bahwa sakitku pun adalah ulahku… Dan kecewaku baginya hanyalah emosi tak berdasar, bahwa tangis ku hanyalah bukti betapa lemahnya aku. Baginya, semua adalah salahku, dan sudah terlalu banyak pengorbanannya untukku hingga tidaklah layak aku mengharap dia meminta maaf. Kenapa? Kenapa?

Maka, aku tak percaya lagi. Karena pengorbananku tak pernah dianggap ada. Dan rasa sakit itu sudah terlalu dalam untuk bisa terus dirasakan. Karena...hatiku perlahan kehilangan detaknya, kehilangan rasanya... Dia terlalu lelah dalam penantian, dan ditikam mati oleh tuduhan.

Tuhanlah tempatku berpegang satu-satunya kini. Ke hadapanNya lah wajahku yang penuh air mata kini terus aku hadapkan. Meskipun aku tak menyangkal, bahwa aku sering kali masih bertanya padaNya: ”Terlalu banyakkah yang aku minta?”.

Seberapa derasnya doa yang aku alirkan dalam kalimatku padanya... Maafkan aku Ya Tuhan...jika saat ini, aku hanya mengangkat sebelah alis pada kata-kata CINTA. Karena atas dasar cinta aku pernah begitu lama membiarkan diriku dibelenggu oleh ucapannya, yang kemudian membunuh ku dengan tidak pernah menjadi nyata...

1 komentar:

  1. Mbak Amiiii...story-mu kog sedih banget sih...hiks sampe aku nangis..hiks..hiks. Dah mbak, sy pernah mengalami pengkhianatan cinta yang meyakitkan hati, tapi aku nggak dendam tuh sama cinta dan wanita, malah takut banget menyakiti hati wanita (makhluk terindah di muka bumi). Mungkin lain kali ya kalo yang sakit hati wanita, so long traumatic gitu kalee.
    Sometime dapet pengganti yg bener2 dapat diandalkan "kepastiannya". Sebagai kaum Adam kadang sy juga ngeh sama sikap keegoisan kaum saya..he..he. (I still learn not to be a selfish person). Saya percaya mbak Ami orangnya baek kog, pasti dapet orang baek juga. Posting cerita yg lucu2 lagi aja mbak, i miss funny stories frum u.

    BalasHapus