Selasa, 14 Agustus 2007

Elit Nggak Elit teteup...Sakit

(Originally written : 13 Agustus)

Waktu di Jogja dulu, aku menghindari banget yang namanya ke dokter, rumah sakit, ataupun segala sesuatu yang berbau medis. Alasannya macem-macem, mulai dari alasan ekonomi (ga punya duit, alasan yang paling cocok untuk yangberstatus anak kost), alasan psikologi (takut disuntik, alasan klasik yang norak tapi tetep everlasting), alasan edukasi (ga sempet karena banyaknya tugas kuliah dan bikin laporan), sampai alasan sosial-kemasyarakatan (apa ya misalnya? Bentrok ma jadwal maen ke mal?). Nah, tapi akhirnya...pertama kali aku ke dokter di Jogja, adalah karena satu penyakit. Gatalan. Iya euy, bikin malu ya? Tapi sumpah, nyiksa banget. Kulit aku waktu itu merah-merah, dan selama 2 hari, bukannya dapat sapaan ”Apa kabar?”, setiap orang kalo bertemu sama aku malah langsung nanya: ”Tangan sama muka kamu kenapa sih Mi? Kok merah-merah ga jelas gitu?”. Begitu di hari ketiga Ratih dengan wajah tega menatapku sambil brkomentar: ”Gila Mi, muka kamu bengkak-bengkak gitu...”, aku menyerah. Dokteeeerrr.... sambutlah diriku ini! Aku waktu itu ke dokter umum di Poliklinik Panti Rapih. Setelah sedikit curhat sama si bapak dokter, giliran dokter yang balik nanya-nanya ke aku, walaupun bagi aku pertanyaan dokter agak membingungkan: ”Mandinya berapa kali sehari? Sering ganti seprai ga? Rajin nyapu ga? Di deket tempat tidurnya ada pohon bambu nggak? Atau semak-semak mungkin?”. Setelah ngambil obat berdasarkan resep si dokter, barulah maksud dibalik pertanyaan-pertanyaan (yang bagi aku tidak relevan dengan dunia medis) si dokter terjawab. Di kertas brosur obat itu ada keterangan, bahwa salep ini digunakan untuk infeksi akibat kutu, tungau, atau binatang-binatang sejenisnya. Aku langsung shock! Jadi maksudnya aku kutuan?

Kali kedua aku ke dokter, kalo ga salah karena maag, atau anemia ya? Aku lupa. Soalnya yang lebih aku ingat adalah kata-kata terakhir dari dokter setelah selesai pemeriksaan: ”Kamu kayaknya sangat kekurangan berat badan deh...Saya kasih obat cacing ya, minum dua kali dosis orang normal”. Dan seakan tidak peduli dengan mimik terpana wajahku, si dokter dengan penuh rasa kemenangan mengangsurkan resep obat, yang ketika aku ambil adalah...Combantrin. Hiks. Sampai saat-saat akhir kami tinggal seatap, Nanik, si burung gagak hitam itu masih dengan penuh rasa puas mencelaku: ”Kamu itu ga ada elit-elitnya ya...pertama kali ke dokter, kutuan. Kali kedua ke dokter, cacingan.”. Hmm...paling tidak kali ketiga aku ke dokter, alasannya agak sedikit lebih lumayan, gigiku berlubang dan sangat perlu untuk ditambal.

Nah, setelah sekarang bekerja di FMIPA, yang iklim kerjanya paling kondusif dibanding Fakultas lain di Unlam untuk bikin depresi, penyakit ga elitku muncul lagi. Gatalan. Aku udah mendatangi 3 dokter berbeda. Dokter pertama dokter Sany (enggak, bukan Sunny-nya si Bunga Citra Lestari), dokter yang ga bakalan ngomong apa sebenernya penyakit kita kalau bukan kita yang menginterogasi dia. Dokter yang kedua aku lupa siapa namanya, tapi dia terlambat datang ke prakteknya selama 2 jam, yang aku yakin lebih disebabkan karena kesibukan dia menata kembang-kembang dari pita yang menempel di kerudungnya. Selama konsultasi, aku ga bisa mengalihkan pandangan dari sekitar 15 kuntum bunga yang ada di kerudung si dokter. Hm, untung ga dilengkapi dengan ranting, daun dan durinya sekalian. Belum lagi gaya tante-tante si dokter yang menepukkan tangan setiap kali dia mendengar fakta-fakta yang dia anggap menarik tentang keluhanku. Dokter ketiga namanya dokter Vianna. Cantik, masih muda, dan ramaaah banget. Seneng deh, apalagi dia ga pake jas dokter, dan dia menjelaskan penyakitku dengan bahasa yang orang selemot aku pun bisa mengerti.

Aaanywaaay...dari ketiga dokter itu, semua punya kesimpulan yang sama, reaksi tubuhku setiap kali aku secara emosi merasa tertekan, stress, atau banyak pikiran adalah...Dermatitis. Sebenernya sih, dermatitis apaaa....gitu lho, tapi aku lupa. Pokoknya intinya, aku ga bisa stress dikit, yang ada aku langsung gatelan. Jadi, terpaksa aku menerima kenyataan pahit, bahwa aku memang ga pantes masuk golongan elit, karena yang nempel di aku adalah salah satu penyakit norak: gatelan. Tapi percaya deh, mau dibilang itu penyakit ga elit, tetap aja yang namanya gatelan tuh menyiksa, bikin resah gelisah, dan sangat mengganggu kenyamanan tidur. Plus satu lagi, entah kenapa, kayaknya setiap obat gatelan tuh punya efek samping yang sama terhadapku, bikin aku (yang pada dasarnya udah bolot) jadi tambah ga nyambung kalo diajak ngomong. Hmm....kira-kira, bisa ga ya aku menolak penambahan surat tugas dari Dekan dengan alasan gini: ”Sorri ya Bu, bukannya saya tidak mau ikut memberikan kontribusi terhadap kemajuan dan perkembangan Fakultas MIPA, tapi saya punya alasan medis yang membuat saya kesulitan untuk menanggung beban kerja berlebih”, atau apakah lebih acceptable kalo aku ngomong gini :’Sori nih Bu, tapi saya alergi stress, langsung gatelan. Ibu mau melihat saya menggaruk-garuk sepanjang waktu?”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Selasa, 14 Agustus 2007

Elit Nggak Elit teteup...Sakit

(Originally written : 13 Agustus)

Waktu di Jogja dulu, aku menghindari banget yang namanya ke dokter, rumah sakit, ataupun segala sesuatu yang berbau medis. Alasannya macem-macem, mulai dari alasan ekonomi (ga punya duit, alasan yang paling cocok untuk yangberstatus anak kost), alasan psikologi (takut disuntik, alasan klasik yang norak tapi tetep everlasting), alasan edukasi (ga sempet karena banyaknya tugas kuliah dan bikin laporan), sampai alasan sosial-kemasyarakatan (apa ya misalnya? Bentrok ma jadwal maen ke mal?). Nah, tapi akhirnya...pertama kali aku ke dokter di Jogja, adalah karena satu penyakit. Gatalan. Iya euy, bikin malu ya? Tapi sumpah, nyiksa banget. Kulit aku waktu itu merah-merah, dan selama 2 hari, bukannya dapat sapaan ”Apa kabar?”, setiap orang kalo bertemu sama aku malah langsung nanya: ”Tangan sama muka kamu kenapa sih Mi? Kok merah-merah ga jelas gitu?”. Begitu di hari ketiga Ratih dengan wajah tega menatapku sambil brkomentar: ”Gila Mi, muka kamu bengkak-bengkak gitu...”, aku menyerah. Dokteeeerrr.... sambutlah diriku ini! Aku waktu itu ke dokter umum di Poliklinik Panti Rapih. Setelah sedikit curhat sama si bapak dokter, giliran dokter yang balik nanya-nanya ke aku, walaupun bagi aku pertanyaan dokter agak membingungkan: ”Mandinya berapa kali sehari? Sering ganti seprai ga? Rajin nyapu ga? Di deket tempat tidurnya ada pohon bambu nggak? Atau semak-semak mungkin?”. Setelah ngambil obat berdasarkan resep si dokter, barulah maksud dibalik pertanyaan-pertanyaan (yang bagi aku tidak relevan dengan dunia medis) si dokter terjawab. Di kertas brosur obat itu ada keterangan, bahwa salep ini digunakan untuk infeksi akibat kutu, tungau, atau binatang-binatang sejenisnya. Aku langsung shock! Jadi maksudnya aku kutuan?

Kali kedua aku ke dokter, kalo ga salah karena maag, atau anemia ya? Aku lupa. Soalnya yang lebih aku ingat adalah kata-kata terakhir dari dokter setelah selesai pemeriksaan: ”Kamu kayaknya sangat kekurangan berat badan deh...Saya kasih obat cacing ya, minum dua kali dosis orang normal”. Dan seakan tidak peduli dengan mimik terpana wajahku, si dokter dengan penuh rasa kemenangan mengangsurkan resep obat, yang ketika aku ambil adalah...Combantrin. Hiks. Sampai saat-saat akhir kami tinggal seatap, Nanik, si burung gagak hitam itu masih dengan penuh rasa puas mencelaku: ”Kamu itu ga ada elit-elitnya ya...pertama kali ke dokter, kutuan. Kali kedua ke dokter, cacingan.”. Hmm...paling tidak kali ketiga aku ke dokter, alasannya agak sedikit lebih lumayan, gigiku berlubang dan sangat perlu untuk ditambal.

Nah, setelah sekarang bekerja di FMIPA, yang iklim kerjanya paling kondusif dibanding Fakultas lain di Unlam untuk bikin depresi, penyakit ga elitku muncul lagi. Gatalan. Aku udah mendatangi 3 dokter berbeda. Dokter pertama dokter Sany (enggak, bukan Sunny-nya si Bunga Citra Lestari), dokter yang ga bakalan ngomong apa sebenernya penyakit kita kalau bukan kita yang menginterogasi dia. Dokter yang kedua aku lupa siapa namanya, tapi dia terlambat datang ke prakteknya selama 2 jam, yang aku yakin lebih disebabkan karena kesibukan dia menata kembang-kembang dari pita yang menempel di kerudungnya. Selama konsultasi, aku ga bisa mengalihkan pandangan dari sekitar 15 kuntum bunga yang ada di kerudung si dokter. Hm, untung ga dilengkapi dengan ranting, daun dan durinya sekalian. Belum lagi gaya tante-tante si dokter yang menepukkan tangan setiap kali dia mendengar fakta-fakta yang dia anggap menarik tentang keluhanku. Dokter ketiga namanya dokter Vianna. Cantik, masih muda, dan ramaaah banget. Seneng deh, apalagi dia ga pake jas dokter, dan dia menjelaskan penyakitku dengan bahasa yang orang selemot aku pun bisa mengerti.

Aaanywaaay...dari ketiga dokter itu, semua punya kesimpulan yang sama, reaksi tubuhku setiap kali aku secara emosi merasa tertekan, stress, atau banyak pikiran adalah...Dermatitis. Sebenernya sih, dermatitis apaaa....gitu lho, tapi aku lupa. Pokoknya intinya, aku ga bisa stress dikit, yang ada aku langsung gatelan. Jadi, terpaksa aku menerima kenyataan pahit, bahwa aku memang ga pantes masuk golongan elit, karena yang nempel di aku adalah salah satu penyakit norak: gatelan. Tapi percaya deh, mau dibilang itu penyakit ga elit, tetap aja yang namanya gatelan tuh menyiksa, bikin resah gelisah, dan sangat mengganggu kenyamanan tidur. Plus satu lagi, entah kenapa, kayaknya setiap obat gatelan tuh punya efek samping yang sama terhadapku, bikin aku (yang pada dasarnya udah bolot) jadi tambah ga nyambung kalo diajak ngomong. Hmm....kira-kira, bisa ga ya aku menolak penambahan surat tugas dari Dekan dengan alasan gini: ”Sorri ya Bu, bukannya saya tidak mau ikut memberikan kontribusi terhadap kemajuan dan perkembangan Fakultas MIPA, tapi saya punya alasan medis yang membuat saya kesulitan untuk menanggung beban kerja berlebih”, atau apakah lebih acceptable kalo aku ngomong gini :’Sori nih Bu, tapi saya alergi stress, langsung gatelan. Ibu mau melihat saya menggaruk-garuk sepanjang waktu?”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar