Adekku satu-satunya masih single. Tapi aku udah punya ponakan. Heran? Jadi gini, ortu aku punya anak angkat, yang setahun lebih muda daripada aku. Gimana ceritanya sampai bisa begitu, waduh, mending aku bikin skrip sinetron aja deh, saking rumitnya. Eeeeniwei... si anak angkat ortuku itu udah punya anak cewek, lahir tanggal 22 Mei 2003, jadi tahun ini baru genap 4 tahun. Namanya Diana Nadia Maulida, dan di rumah lebih dikenal dengan sapaan : ”keponakan tante Ami yang paling cantik dan paling pintar di seluruh dunia”. Hm. Ga heran dalam usianya yang sangat muda dan belum mengenal kejamnya hidup, dia udah narsis abis. Tapi aku ga melebih-lebihkan kalo bilang dia memang cantik. Sejak kecil udah keliatan gitu lho, bakal jadi anak manis. Matanya bulet dengan bulu mata yang panjang dan melingkar dengan cantiknya di ujung. Chubby imut gitu, senyumnya manis banget. Dan, putiiiihhhh banget. Sadar dengan berbagai kelebihan fisik yang dia punya, dia juga banci foto banget. Hobi sekali masuk booth photo-box, dan seneng ngoprek handphone gua untuk minta difoto.
Sebagai tante yang paling disayangi di seluruh dunia, aku dengan rela seringkali menghabiskan waktu liburku untuk menemani dia melihat-lihat peradaban di luar sekolahnya dan daerah Kayutangi. Tapiii.... ada beberapa hal yang suka bikin aku ilfil buat jalan sama dia. Pertama, kalo ada orang yang kenal aku dan liat aku jalan-jalan berdua aja sama dia, seperti biasa muncul dugaan-dugaan bahwa Ami sekarang udah punya anak usia balita. Halah. Pleaseee deeehhh.... Tapi sebenernya, ada dua kejadian yang lebih bikin aku ilfil banget buat jalan cuma berdua saja sama Dian. Kejadian pertama melibatkan adegan antara aku, Dian dan sopir bajaj. Demi memperkenalkan Dian dengan sebanyak mungkin sarana transportasi, aku mengajaknya pulang dari Metro City Plaza naik bajaj. Setelah negosiasi singkat dengan sopir bajaj (semua negosiasi berlangsung singkat kalo aku jadi pelaku, karena aku memang ga bisa nawar, suka ga tega!!), tercapailah kesepakatan soal tarif. Waktu si sopir bajaj membukakan pintu bajajnya untuk kami, dia ngeliatin aku dan Dian berganti-ganti, geleng-geleng kepala. Sesaat setelah geleng-geleng kepala itu, gesturnya langsung berubah jadi manggut-manggut dengan ekspresi baru saja berhasil memecahkan misteri hidup terbesar. Sebenernya sih, bukan perubahan ekspresi dan gestur itu yang penting, tapi yang bikin bete adalah ucapan si sopir bajaj waktu manggut-manggut itu : ”Kayaknya yang putih Bapaknya ya...”. Aku langsung manyun sepanjang jalan. Enak aja. Udah dikira jadi ibunya Dian, dianggap ga punya kontribusi pula terhadap kode genetik yang bertanggung jawab terhadap kadar pigmen si Dian. Tapi yang lebih mengenaskan adalah kejadian kedua. Waktu itu aku sama Dian baru aja naik ke angkot. Seorang ibu-ibu dengan baik hatinya membantu Dian untuk naik dan duduk, tentu saja sambil berkomentar: ”Aduh...lucunya..., cantik sekali sih kamu Nak”. Dian tersenyum manis sama Ibu itu, gila ya...dia udah terbiasa banget menanggapi pujian semacam itu saking seringnya. Bakat jadi selebritis banget. Terus Ibu itu nanya gini ke aku : ”Anakmu ya?” (pake bahasa Banjar sih sebenernya, tapi masalah Bahasa tidak signifikan dalam posting kali ini). Sambil merangkul Dian dengan penuh rasa sayang dan tersenyum sama si Ibu, aku ngomong gini : ”Bukan Bu. Ini keponakan saya”. Tanggapan si Ibu betul-betul membuatku terhenyak. Si Ibu itu langsung ngomong gini: ”Oalaaaahh...pantesan cantik banget!!”. Aku perlu waktu dua detik untuk mencernakan makna kalimatnya, dan senyumku langsung berubah180°. Sementara Dian dengan polosnya tersenyum lagi padaku... Kayaknya dia tidak sadar deh, bahwa tantenya yang satu ini baru saja mengalami pukulan telak atas kenarsis-an yang selama ini selalu dibangga-banggakan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar